bar-merah

Menikmati pendar cahaya lautan dari ujung Desa Budo

Desa Budo
Desa Budo kian menjadi ramai didatangi wisatawan dari berbagai daerah di Sulawesi Utara. (Foto: Ronny A. Buol)

ZONAUTARA.com – Semilir angin terasa lembut menyentuh wajah, memberi nuansa asri dan menenangkan. Walau berkelok, jalanan khas pelosok hampir semuanya sama, tampak sepi. Pengguna jalan bisa leluasa menikmati hijaunya nyiur melambai. Apalagi, deretan pohon seolah saksama menyambut setiap pengunjung menuju Desa Budo.

Inilah salah satu desa yang cukup tersohor di Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Desa yang menyita perhatian Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno sewaktu datang bertandang pada Juli 2022 lalu. Maklum, Budo menjadi satu dari 50 desa wisata terbaik di Nusantara dalam ajang Anugerah Desa Wisata 2022.

Daun woka

Saat memasuki desa, mata akan dimanjakan dengan pondok-pondok estetik yang dibangun di depan setiap rumah warga. Uniknya, pondok tersebut seragam beratapkan daun woka (Livistona altissima). Tumbuhan dari keluarga palem-paleman.

Bukan tanpa sebab, desa ini memang dianugerahi banyak tanaman woka. Warga desa memanfaatkannya untuk membungkus makanan hingga dijadikan atap. Tak sekedar sebagai bangunan peneduh para pejalan, pondok daun woka di Budo tersebut sarat makna.

Saat menyambut tim Zonautara.com mantan Hukum Tua (kepala desa) Desa Budo, Hani Lorens Singa dengan semangat mengatakan, bagi warga desa, pondok merupakan tempat yang sakral, digunakan untuk bertemu, berkumpul lalu menyampaikan nilai-nilai kebaikan seperti nasihat dan petuah. Dari pondok juga biasanya akan muncul solusi, dari diskusi panjang sebuah keluarga.

“Makna filosofinya adalah, tampa bakudapa (tempat berkumpul) memecahkan masalah, atau digunakan untuk merundingkan banyak hal,” kata Hani pada pertengahan April 2022.

Desa Budo
Pondok beratap daun woka di Desa Budo, Minahasa Utara. (Foto: Ronny A. Buol)

Meski seiring populernya wisata di desa ini, kadang membuat ketaksaan makna pondok. Banyak pengunjung yang menganggap pondok hanya sebatas penunjang dan pelengkap destinasi.

“Mungkin karena terlihat unik jadi banyak pengunjung yang datang berfoto, atau datang berteduh. Tidak apa-apa, kami bersyukur jika pondok-pondok itu turut menjadi daya tarik,” kata Hani.

Berawal dari dusun

Dikaruniai sumber daya alam yang indah, Desa Budo perlahan berkembang pesat dengan mengandalkan potensi desa. Terlebih, sebagai penyangga Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Likupang, Budo kini kian populer.

Desa ini berhasil menorehkan namanya sebagai desa berprestasi, setelah menjadi satu-satunya perwakilan Sulawesi Utara yang masuk 50 besar Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) yang digelar oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Meski demikian, tak banyak yang tahu, Budo dahulu adalah hutan belukar. Kemudian, datanglah sepasang suami istri suku Kaili asal Sulawesi Tengah. Mereka memutuskan menetap di hutan yang sekarang sudah dikenal sebagai Desa Budo.

Hani Lorens mengisahkan, lewat pasangan ini kemudian lahirlah seorang anak berambut pirang, berkulit putih. Oleh kedua orangtuanya, anak ini dinamakan budo yang dalam bahasa Manado berarti putih.

Lahan yang ditinggalkan keluarga ini lambat laun jadi perkebunan dan beralih-fungsi menjadi perkampungan.

“Awalnya masih dikenal dengan nama Dusun Budo,” kata Hani.

Dusun Budo sebelumnya merupakan bagian dari Desa Darunu yang sekarang sudah menjadi desa tetangga. Hingga, pada tahun 1950 bersama beberapa warga dusun yang lain, Yohanis Pinamangung mulai berinisiatif dan mengagas agar Dusun Budo bisa berdiri menjadi desa sendiri. Dengan dua dusun bentukan, pada tahun 1965 terbentuklah Budo sebagai desa baru.

Secara administrasi, Budo sebelah utara berbatasan dengan laut Sulawesi, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Talawaan Atas dan Desa Talawaan Bantik, serta sebelah barat berbatasan dengan laut Sulawesi dan Desa Minaesa.

Rintisan memekarkan diri menjadi sebuah desa akhirnya berhasil memunculkan pemimpin-pemimpin yang membawa Desa Budo kian berkembang dari masa ke masa.

Mereka adalah Yohanis Salaeng, (merupakan hukum tua pertama), Aser Kagiling, Yunus Kandung, Erens Pianaung, Welly Taidi, Wem Kagiling, Zet Lintogareng, Bertji Salindeho, Hani Lorens Singa, dan sekarang dipimpin oleh Lisbet Lintogareng.

Desa Budo
Pengunjung menyusur mangorve di jembatan wisata Desa Budo, Minahasa Utara. (Foto: Ronny A. Buol)

Surga yang tersembunyi

Saban sore, menghabiskan waktu di depan halaman rumah telah menjadi kebiasaan warga Budo. Sesama mereka terlihat saling bercengrama dan tak segan melempar senyum pada setiap pengunjung yang datang.

Sebuah potret kehidupan desa yang istimewa. Seistimewa pegelaran senja yang terlihat mewah dari ujung pantai desa ini.

Sebelum matahari benar-benar pergi, Hani Lorens mengatakan sunset adalah salah satu yang tidak bisa dilewatkan di desa ini. Momen matahari terbenam selalu sukses membuat orang-orang berdecak kagum, bahkan dirinya sendiri.

“Dari sini matahari yang terbenam bisa disaksikan secara sempurna, sehingga tidaklah berlebihan jika spot menikmati sunset adalah salah satu unggulan desa kami,” kata Hani.

Titik ini berada di ujung jalur susur mangrove. Desa Budo memiliki hutan mangrove yang ditumbuhi sembilan jenis mangrove seluas 3.000 meter persegi.

Sembilan jenis mangrove itu adalah, mangrove Merah, mangrobe Api-pi hitam, Bakau Kurap, Avicennia lanata, Avicennia marina, Acrostichum aureum, Candelia candel, Candelia obevata dan Rhizhopora lamarckii.

Tak heran, dengan kekayaan alam itu, desa membangun wahana susur manggrove. Tembusannya hingga ke bekas sebuah dermaga tua yang saat ini disulap menjadi destinasi outdoor yang indah.

Keindahannya memungkinkan pengunjung menikmati bentang alam yang istimewa. Mengenali hijau mangrove, menikmati sunset, dan juga merasakan kuliner khas desa seperti pisang goreng dan bubur Manado sekaligus.

Seperti surga yang tersembunyi, keindahan tidak hanya berakhir sampai di situ. Desa Budo juga memiliki spot diving bagi pencinta kehidupan bawah laut.

Bukan sembarang titik, di desa ini ada taman laut yang tak kalah indahnya. Keindahan taman lautnya juga menawarkan keistimewaan Pygmi seahorse atau kuda laut yang merupakan veterbrata terkecil.

Melengkapi keindahan kehidupan laut ini, terdapat Nudebranchia atau siput air, orang utan crab, frog fish, lion fish, octopus, crocodile fish, squid, crab, stargeizer fish, blue ring octopus, mandarin fish, yellow crab, nudebrachia dan green sheahorse.

Desa Budo juga memiliki jarak yang cukup dekat dengan destinasi pulau tersohor yang lainnya di Sulut yang layak disambangi wisatawan, seperti Pulau Bunaken, Pulau Siladen, Pulau Mantehage, dan Pulau Nain.

“Untuk ke sana, butuh kurang lebih 30 menit dengan perahu motor,” kata Hani.

Desa Budo
Salah satu sudut jembatan wisata di Desa Budo, Minahasa Utara. (Foto: Ronny A. Buol)

Membuat kenangan

Suara angin bercampur deru ombak membuat Hani Lorens harus menguatkan suaranya. Hani bercerita bagaimana suka duka membangun Desa Budo.

Sebagai mantan Hukum Tua yang sekarang menjadi Ketua Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Hani menjelaskan, bahwa strategi sangat penting bagi kelangsungan wisata di desanya. Termasuk menyiapkan fasilitas yang memadai untuk pengunjung.

Untuk bisa menikmati semua kemewahan alam di desa ini, pengunjung tidak perlu khawatir, sebab di sini sudah tersedia homestay dengan harga yang terjangkau. Harga sewa dipatok Rp350 ribu semalam, lengkap dengan paket makan.

Desa Budo
Ketua Bumdes Wisata Desa Budo, Hani Lorens Singa. (Foto: Ronny A. Buol)

Saat Zonautara.com berkunjung, dari puluhan homestay yang bakal disiapkan, sudah ada tujuh homestay yang aktif, sisanya sedang dalam pembangunan.

Sepoi angin membawa aroma makanan sampai ke hidung, membuat perut menjadi lapar. Untuk membuat kenangan dan kesan bagi para tamu, pengunjung bisa berkesempatan menikmati hidangan makanan sekaligus pertunjukan musik lengkap dengan tarian warga.

Tarian khas Nusa Utara seperti masamper, pato-pato, yang diiringi dengan petikan gitar atau kelompok orkes keroncong mama bisa menghangatkan suasana dan meninggalkan kesan di hati. Apalagi jika warga desa sudah larut dalam berbalas nyanyian secara berkelompok.

Bukan tanpa tantangan, karena berbatasan langsung dengan laut Sulawesi, Hani menyadari jikalau amukan angin bisa menjadi ancaman bagi bangunan penunjang wisata yang sudah dibangun. Meski hal tersebut belum pernah terjadi.

Selain itu, belum adanya bank sampah di desa ini menyulitkan penanganan sampah yang dibawa arus dari laut.

Tapi keindahan desanya yang terpampang nyata, harus tetap dibagikan, agar dunia tahu bahwa di desa ini, ada surga tersembunyi yang bisa meninggalkan kenangan indah bagi yang mengunjunginya.

Seperti pendar cahaya yang muncul di lautan seusai pagelaran senja yang tampak dari desa ujung dermaga Desa Budo.



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com