Oleh: Adrianus Eryan, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)
Dalam acara Global Food Security Forum – bagian dari rangkaian acara Konferensi Tingkat Tinggi negara-negara G20 – pertengahan November lalu, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto membangga-banggakan rencana Indonesia memenuhi suplai pangan 8 miliar penduduk melalui program lumbung pangan atau food estate.
Salah satu langkahnya adalah mengubah sekitar delapan juta hektare hutan yang terdegradasi untuk menjadi lahan produksi komoditas pangan, misalnya singkong.
Sejumlah aktivis lingkungan mengkritik pidato Prabowo yang berlangsung di Bali itu. Mereka, sembari mengunggah foto hamparan kebun singkong yang layu, menganggap program produksi pangan massal versi pemerintah di provinsi Kalimantan Tengah justru gagal.
Namun, tulisan ini tak memperdebatkan “kegagalan” tersebut. Saya mencoba mengulasnya dengan sudut pandang berbeda: jika memang proyek lumbung pangan dianggap gagal, maka siapa yang harus bertanggung jawab memulihkan hutan dan lahannya?
Pertanyaan ini penting untuk mengantisipasi kegagalan proyek pertanian skala besar seperti yang terjadi dalam Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektare di era Orde Baru. Proyek ini mengakibatkan degradasi rawa gambut besar-besaran. Gambut yang kering memicu kebakaran hebat pada akhir dekade 1990-an. Kawasan gambut tersebut akhirnya tak pernah pulih seperti sedia kala.
Nah, berdasarkan aturan yang ada saat ini, belum ada kejelasan tentang siapa yang akan bertanggung jawab jika proyek lumbung pangan gagal.
Dasar hukum yang tidak memadai dan kontradiktif
Berdasarkan informasi yang tersedia di publik, ada dua dasar hukum penggunaan kawasan hutan yang untuk proyek food estate: Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dan Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHKP).
IPPKH digunakan dalam pelaksanaan proyek lumbung pangan oleh Kementerian Pertahanan di Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Saat itu, ketentuan izin termuat dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. 27 Tahun 2018 juncto Permen LHK No. 7 Tahun 2019 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.
Aturan tersebut membolehkan lembaga pemerintahan mengajukan izin pakai kawasan hutan untuk sektor pangan dengan masa berlaku maksimal 20 tahun.
Aturan ini mewajibkan pemegang izin melakukan penanaman pohon dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai, melaksanakan pencegahan dan perlindungan kebakaran hutan dan lahan, hingga melakukan pemberdayaan masyarakat sekitar areal. Setiap enam bulan, pemegang izin juga wajib membuat laporan mengenai penggunaan kawasan hutan yang dipinjam.
Selain itu, ada pula mekanisme pemantauan dan evaluasi oleh Menteri Lingkungan yang pelaksanaannya dilimpahkan kepada gubernur setempat. Apabila pemegang izin tak melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut, atau ditemukan dugaan pelanggaran seperti tindak pidana, maka pelaksana dapat diberikan sanksi peringatan hingga pencabutan izin.
Sayangnya, meski mengatur mekanisme pemantauan dan evaluasi, ketentuan tersebut tidak menyebutkan secara jelas seputar pihak yang wajib memulihkan kawasan hutan.
Sedangkan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHKP) berdasarkan permohonan yang diajukan oleh menteri, kepala lembaga, gubernur, bupati/wali kota, atau kepala badan otorita. Saat ini, kebijakan KHKP termaktub dalam Permen LHK No. 7 Tahun 2021.
Kementerian mewajibkan pemegang izin kawasan hutan ini untuk menyusun rencana pengembangan kawasan, serta mendapatkan persetujuan dan melibatkan masyarakat. Mereka juga wajib melindungi dan melakukan pemeliharaan hutan.
Aturan ini juga memuat ketentuan pemantauan dan evaluasi, termasuk sanksi administratif sampai pencabutan izin. Sanksi dapat dijatuhkan apabila pemegang KHKP menerabas aturan tertentu, misalnya melakukan tindak pidana bidang lingkungan hidup dan kehutanan, ataupun menjaminkan izin kepada pihak lain.
Berbeda dengan IPPKH, ketentuan KHKP setidaknya masih memuat kewajiban pengelola untuk melakukan rehabilitasi hutan selama 3 tahun setelah periode izinnya berakhir. KHKP juga berlaku selama 20 tahun dan dapat diperpanjang.
Namun, meski kebijakan ini dikhususkan bagi sektor ketahanan pangan, tak ada mekanisme untuk memastikan keberhasilan ataupun kegagalan proyek. Risikonya, pengelola KHKP yang “gagal” mengelola kawasan produksi pangan tidak bisa dimintai pertanggungjawaban.
Permasalahan semacam ini juga jamak ditemui di sektor pertambangan. Bahkan sebelum izin berakhir, pengelola yang tidak bertanggung jawab dapat meninggalkan konsesinya yang dipenuhi lubang-lubang tambang sekalipun sudah ada kewajiban reklamasi dan pascatambang.
Aturan KHKP juga memuat pasal yang bertolak belakang. Misalnya, meski mengatur kewajiban rehabilitasi, pemerintah justru membolehkan pengelola KHKP menebang seluruh pohon dalam konsesinya dengan dalih pemanfaatan lahan sesuai peruntukannya, yaitu food estate.
Bagaimana pertanggungjawabannya?
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa Indonesia sampai saat ini belum memiliki pengaturan yang jelas seputar pihak mana yang bertanggung jawab atas pemulihan hutan bekas proyek food estate apabila terjadi kegagalan.
Kendati begitu, bukan berarti para pemegang izin bisa lolos dari kewajiban. Keduanya masih harus mengikuti aturan di sektor perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan seperti UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Dalam mendorong tanggung jawab tersebut, diperlukan mekanisme bertahap sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pertama, melalui proses pemantauan dan evaluasi oleh Kementerian Lingkungan maupun gubernur terhadap food estate di dalam kawasan hutan. Tanpa adanya pengawasan dan evaluasi, maka akan sulit ditemukan adanya penyelewengan hingga dugaan pelanggaran. Hal ini penting mengingat izin yang diberikan tidak mengubah fungsi kawasan hutan yang diusahakan. Jika areal tersebut tercemar ataupun rusak, maka pemegang izin harus memulihkannya seperti sedia kala.
Kedua, jika pengawasan dan evaluasi tidak berjalan dengan baik, maka masyarakat dapat melakukan pengawasan sosial melalui kanal pengaduan yang disediakan pemerintah, misalnya melalui situs lapor.go.id atau situs pengaduan.menlhk.go.id milik Kementerian Lingkungan. Jika pengaduan tidak diproses hingga melebihi jangka waktu, maka Ombudsman juga dapat dilibatkan untuk mengawasi dugaan maladministrasi penanganan pengaduan.
Ketiga, Jika kegagalan panen akibat food estate menimbulkan kerusakan lingkungan, maka penegak hukum perlu membuktikannya untuk mengetahui apakah kerusakan terjadi secara sengaja atau karena kelalaian. Proses penyidikan pidana ini kerap memakan waktu yang panjang, dimulai dengan penyidikan, pemeriksaan laboratorium, dan berbagai proses lainnya.
Keempat, pemanfaatan yang berkelanjutan dan berkeadilan. Jika lahan food estate tidak menuai hasil yang maksimal -— bahkan dicap gagal melalui berbagai parameter -— maka sudah selayaknya proyek ini dievaluasi ulang. Pemegang izin, dengan diawasi oleh negara melalui instansi terkait, harus memulihkan lahan gagal panen tersebut menjadi hutan lebih bermanfaat secara ekologis. Warga sekitar dapat mengelola lahan yang terlantar untuk menopang penghidupan sehari-hari.
Adrianus Eryan, Researcher, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.