Sehari-hari, kita sering menjumpai berbagai upaya penggalangan dana, baik online maupun offline. Berbagai permohonan atau ajakan untuk mendonasikan uang sering kita terima via surat, email, media sosial, hingga SMS. Banyak penjaga kasir di toko retail dan supermarket menanyakan apakah kita ingin menyumbang untuk tujuan sosial. Beberapa dari kita yang hidup di Amerika Serikat (AS) bisa juga mendapat rentetan SMS yang mengajak berdonasi untuk kampanye politik.
Dalam buku saya, “How We Give Now”, saya mengeksplor bagaimana tindakan berbagi bisa melampaui sekadar aksi donasi finansial ke organisasi nirlaba. Salah satunya adalah melalui tren menarik yang saya sebut “dataraising” (penggalangan data). Istilah ini saya coba perkenalkan dalam buku saya, untuk menjelaskan upaya para organisasi nirlaba atau bahkan peneliti untuk mencari sumbangan data.
Yang mengejutkan, dataraising bukanlah hal baru. Penelitian medis, misalnya, sudah lama mengandalkan relawan untuk berpartisipasi dalam uji klinis demi memenuhi kecukupan data saat meneliti suatu penyakit.
Langkah-langkah untuk berpartisipasi dalam uji klinis – mendaftar, mempelajari protokol, memberikan persetujuan untuk menyumbangkan data – dikembangkan untuk membatasi potensi kerugian yang bisa timbul jika peneliti asal-asalan mengambil data orang.
Meski tentu tidak sempurna, protokol-protokol inilah yang membedakan antara donasi data yang etis dengan upaya-upaya penyerahan data yang sering kita temui dalam aktivitas online. Persyaratan penggunaan (terms of service) milik banyak perusahaan, misalnya, membuat mereka sangat mudah mengambil data dan tak menyisakan banyak pilihan maupun cara penuntutan balik bagi para penggunanya.
Sudah banyak aplikasi yang memfasilitasi dataraising
Salah satu hal yang mendorong pertumbuhan praktik dataraising adalah kemudahan teknologi.
Sebagai contoh, pada tahun 2015, Apple meluncurkan ResearchKit – seperangkat protokol perangkat lunak yang mengizinkan peneliti kesehatan untuk merancang penelitian dengan memakai data langsung dari iPhone seseorang.
Untuk berpartisipasi dalam riset berbasis data smartphone, orang-orang bisa mengunduh aplikasi tertentu.
Studi yang baik memakai proses permohonan persetujuan yang tidak hanya sekadar lembar penjelasan legal lalu diakhiri tombol “saya setuju”. Lebih dari itu, proses yang baik akan meminta pengguna untuk memakai smartphone mereka sedemikian sehingga hanya menyerahkan data-data spesifik yang dibutuhkan peneliti – tidak lebih.
Misalnya, proses persetujuan untuk penelitian penyakit Parkinson bisa jadi cukup meminta kita untuk menggeserkan jari pada layar, lalu menaruh smartphone di kantong kita dan berjalan melintasi ruangan. Aksi ini menghasilkan data yang menunjukkan tanda-tanda tremor pada tangan maupun gaya berjalan kita.
Suatu kajian tahun 2021 terkait industri aplikasi kesehatan di smartphone menemukan ada lebih dari 1.500 proyek riset berbasis data kesehatan digital yang memakai ResearchKit.
Pengguna Android bisa juga berpartisipasi dalam penelitian serupa melalui aplikasi Google Health Studies yang diluncurkan pada 2020.
Ada juga aplikasi penghimpun data alam
Tapi, manfaat donasi data melalui platform teknologi tak hanya untuk mendukung penelitian kesehatan.
Aplikasi seperti eBird, yang dioperasikan oleh Laboratorium Ornitologi milik Cornell University, dan iNaturalist, kolaborasi antara National Geographic dan California Academy of Sciences, bergantung pada donasi foto smartphone untuk memperkuat basis data keanekaragaman hayati mereka.
Berbagai inisiatif sains yang berbasis partisipasi warga (civic science atau citizen science), berkontribusi terhadap banyak hal, dari pemantauan kualitas air hingga penghitungan kupu-kupu. Inisiatif-inisiatif ini, beserta baragam situs terkait genealogi (garis keturunan), mengandalkan urunan data dari masyarakat.
Dataraising juga membuat pendokumentasian sejarah komunitas tertentu menjadi lebih mudah.
Misalnya, Densho Archive, repositori daring berisi artefak sejarah terkait peristiwa penahanan orang-orang Jepang-Amerika oleh militer AS selama Perang Dunia II, memuat foto-foto, surat, dan artikel koran yang disumbangkan oleh banyak orang.
Hal lain yang mendorong tren ini
Perubahan hukum, inovasi organisasi, gerakan sosial, serta meningkatnya kesadaran terkait bahaya pemusatan data, juga berperan dalam menyebarnya praktik ini.
Di Inggris Raya, pengemudi daring (ride-share) bisa menyumbangkan data mereka ke layanan Pertukaran Info Pekerja (Workers’ Info Exchange atau WIX). Layanan ini mengumpulkan dan menganalisis informasi untuk melindungi hak-hak pekerja dan melawan balik “robo-firing” – ketika perusahaan merancang algoritma yang bisa secara otomatis memecat pekerja tanpa keterlibatan manusia.
Organisasi seperti WIX bergantung pada kemampuan individu untuk bisa mengakses data mereka. Ini adalah hak yang dijamin oleh Uni Eropa dan di California, AS, melalui Undang-Undang Privasi Konsumen California.
Membantu memecahkan masalah menantang
Seiring sistem digital menjadi hal yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, data yang disumbangkan bisa membantu kita menjawab berbagai macam pertanyaan.
Organisasi advokasi hak konsumen, Consumer Reports menggalang data dengan mengoleksi berbagai macam tagihan TV kabel milik orang-orang. Data ini akan membantu para penyelidik organisasi tersebut untuk mengevaluasi klaim perusahaan terkait kecepatan, akses, dan harga internet.
Mozilla, organisasi nirlaba yang membuat browser Firefox, telah meluncurkan fitur plug-in bernama Rally. Fitur ini memudahkan pengguna untuk membagikan data mereka dengan peneliti lewat internet.
Sementara itu, Kaiser Health News (KHN) dan National Public Radio (NPR) dari AS telah berkolaborasi untuk melakukan investigasi “Bill of the Month” (Tagihan Bulan Ini). Melalui kolaborasi ini, jurnalis mereka menganalisis dan melaporkan berbagai macam biaya tersembunyi dan biaya misterius yang marak dalam sistem layanan kesehatan AS.
Sejauh mana dataraising itu efektif?
Semakin mudah mengumpulkan data dari orang-orang, semakin penting pula untuk mengantisipasi ulah para oknum, menyediakan cara bagi orang untuk mengendalikan informasi mereka, serta memastikan para partisipan memperlakukan satu sama lain dengan hormat.
Aplikasi iNaturalist, misalnya, digunakan di banyak ruang kelas. Para siswa suka membuat lelucon, misalnya menandai teman sekelas mereka sebagai serangga atau ular. Karena layanan semacam ini digunakan secara global, sensitivitas budaya dan bahasa menjadi kunci. Apa yang tampak biasa saja dalam satu konteks, bisa saja sangat menghina di tempat lain.
Data digital yang dibagikan orang secara online – terutama yang diberikan demi memajukan layanan publik – butuh perhatian khusus agar keamanan mereka terjaga.
Misalnya, orang bisa jadi berkenan menyumbangkan data tentang seberapa jauh mereka berjalan dalam sehari tapi tidak ke mana mereka pergi. Meski lewat pengaturan dasar smartphone sangat mudah untuk menyiarkan data lokasi, sehingga peneliti tinggal menghitung saja jarak seseorang berjalan, aplikasi sebaiknya menghitung jarak via smartphone tanpa menyiarkan lokasi pengguna demi memprioritaskan keamanan pengguna.
Penting juga agar para penggalang data berupaya menjamin akses yang merata bagi setiap orang yang ingin mendonasikan data mereka untuk tujuan semacam ini – hal yang tak mudah mengingat tak semua orang punya smartphone.
Saya pun percaya bahwa mereka yang terlibat penelitian, berhak untuk mencabut izin akses data yang sebelumnya sudah mereka berikan.
Seiring tahun, para advokat citizen science telah membuat berbagai macam sumber daya dan manual untuk mempromosikan praktik pengelolaan data yang baik, serta mencegah perundungan terhadap mereka yang memilih berpartisipasi dalam upaya-upaya ini. Tujuan mereka adalah mendorong partisipasi yang setara, membuat keamanan data menjadi prioritas, dan mengizinkan orang-orang untuk mengendalikan data mereka sendiri. Dalam beberapa kasus, melindungi identitas donatur data adalah urusan hidup mati.
Memang, saat ini ada banyak pengelola komunitas dan pelatihan yang tersedia bagi para pengguna aplikasi seperti iNaturalist, beserta aturan-aturan bagi para kurator yang mengelola situs tersebut.
Praktik sukarela semacam itu sangat bermanfaat. Tapi, dalam pandangan saya, donasi data harus diregulasi. Ada banyak ahli yang punya pengalaman profesional maupun pengalaman hidup terkait hak data, dampak buruk aktivitas online, pembangunan komunitas, hingga filantropi yang bisa menjadi rujukan penyusunan regulasi tersebut.
Megan Price dari Human Rights Data Analyst Group berkontribusi pada ide-ide yang dibahas dalam artikel ini.
Lucy Bernholz, Senior Research Scholar of Philanthropy and Civil Society, Stanford University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.