Oleh: Rebecca A. Drummond, University of Birmingham
Setiap pekan, jutaan orang menonton The Last of Us, serial hasil adaptasi dari video game. Serial ini menggambarkan peradaban dunia yang hancur karena wabah infeksi jamur (fungi) sehingga mengubah manusia menjadi buas dan kanibal seperti mayat hidup atau zombi.
Jamur yang menyebabkan pandemi ini memang berdasarkan realitas bahwa ada ‘jamur zombi’ dari jenis Cordyceps yang menginfeksi serangga. Ketika menginfeksi, jamur Cordyceps mengambil alih kendali tubuh serangga sebelum akhirnya bertumbuh keluar.
Bagi manusia, pandemi akibat penyebaran jamur yang sangat cepat sepertinya tidak ada. Namun, ini tak berarti kita bisa mengabaikan infeksi jamur begitu saja.
Kehebatan jamur
Dunia jamur begitu luar biasa. Ada sekitar 3 juta spesies jamur yang berbeda di seluruh dunia.
Kebanyakan jamur menyukai temperatur dingin di sekitar 10℃. Artinya, mereka biasanya tidak bisa bertumbuh dalam tubuh manusia yang bersuhu 37℃. Karena itu, infeksi jamur dalam tubuh manusia hanya bertahan di kulit yang lembab, seperti pada penyakit kutu air dan kurap. Kondisi ini juga menjadi alasan mengapa amat sedikit jenis jamur yang bisa menginfeksi manusia.
Kendati begitu, ada juga beberapa spesies jamur yang dapat bertahan dalam suhu hangat. Mereka jugalah yang dapat menyebabkan infeksi berbahaya.
Beberapa jenis jamur, seperti Candida yang dapat hidup bersama mikroba lainnya di perut kita. Jamur ini juga dapat terangkut dalam darah maupun organ lainnya ketika ketika kita sedang sakit dengan gejala yang serius seperti kanker.
Seperti yang dikatakan oleh seorang tokoh di serial The Last of Us, perubahan iklim bisa menambah persoalan baru. Temperatur bumi yang menghangat memaksa jamur untuk beradaptasi. Situasi ini dapat meningkatkan jumlah spesies yang menyebabkan infeksi serius bagi manusia. Bahkan, ada sejumlah bukti yang menandakan bahwa perubahan ini sudah terjadi.
Misalnya, jamur Candida auris amatlah mengkhawatirkan karena resisten terhadap hampir seluruh jenis obat antijamur. Jamur ini dapat menyebar dengan cepat di area rumah sakit ataupun panti wreda, dan menginfeksi orang-orang dengan kekebalan tubuh yang lemah.
Infeksi Candida auris bisa terjadi seperti penyakit sepsis, saat jamur masuk serta mengganggu kinerja dalam darah dan organ. Namun, yang mengkhawatirkan dari spesies ini adalah kemampuannya bertahan dalam suhu tinggi hingga di atas 42℃.
Kedaruratan yang terjadi hampir bersamaan akibat Candida auris di tiga benua membuat para peneliti berteori bahwa perubahan iklim dapat menjadi penyebabnya. Namun, kita masih perlu melihat apakah peningkatan suhu pada masa depan akan menambah jenis jamur yang berbahaya.
Ketika jamur menginfeksi
Meski dapat beradaptasi dan bertumbuh di suhu yang hangat, jamur sepertinya belum mampu seperti virus – menyebar secara cepat di tengah-tengah penduduk.
Kebanyakan infeksi jamur tidak terjadi seperti penyakit infeksius lainnya. Artinya, seseorang yang terinfeksi jamur belum tentu menulari banyak orang. Sebab, kebanyakan infeksi jamur hanya bermaksud menginfeksi seseorang dengan risiko kesehatan tertentu – seperti orang berkekebalan tubuh yang lemah.
Penularan penyakit jamur antarmanusia juga belum tentu separah infeksi awalnya. Banyak infeksi jamur serius yang berawal dari paru-paru, setelah seseorang menghirup spora jamur dari udara. Namun, kendati menghirup ratusan spora jamur setiap harinya, kita hampir mustahil sakit lantaran sistem kekebalan tubuh manusia amat efisien dalam mematikan jamur-jamur.
Jika sistem kekebalan tubuh kita kebobolan dan spora masuk ke paru-paru, maka jamur dapat membentuk beragam tipe sel yang menyebabkan infeksi. Namun begitu, kemungkinan penularan infeksi jamur dapat menular lewat udara relatif kecil. Sebab, amat sedikit bukti yang menandakan jamur yang berada di paru-paru kita bisa memproduksi spora airborne (lewat udara).
Penyakit serius hanya bisa terjadi apabila infeksi jamur menyebar dari paru-paru ke organ lainnya, termasuk ke otak. Nah, infeksi jamur di otak inilah yang dianggap paling mematikan. Infeksi ini disebabkan jamur _Cryptococcus neoformans_, yang menyebabkan meningitis kriptokokal. Setiap tahunnya, penyakit ini menyebabkan kematian 100 ribu orang mati. Angka ini merupakan yang tertinggi di antara infeksi jamur lainnya.
Meningitis kriptokokal terjadi ketika orang dengan sistem imun yang terganggu – biasanya karena AIDS – menghirup spora jamur. Jamur yang berhasil lolos ke paru-paru kemudian naik ke otak – meski proses sebenarnya belum bisa dipahami. Saat infeksi mencapai otak, orang tersebut akan merasakan gejala sakit kepala, demam, gangguan penglihatan, bahkan kejang.
Infeksi ini dapat diobati dengan obat antijamur, tapi harganya selangit. Artinya, obat ini belum tentu bisa diakses orang-orang yang membutuhkan. Jamur Cryptococcus juga bisa menjadi resisten dengan obat tersebut.
Meski ada infeksi jamur yang bisa menyebar ke otak, mungkin kita tak perlu mengkhawatirkan jamur zombi beradaptasi untuk mencelakai kita seperti di serial The Last of Us. Setidaknya bukan saat ini.
Jamur Cordyceps tidak beradaptasi untuk tumbuh di temperatur dalam tubuh kita. Jamur itu juga tak bisa bertahan dari respons sistem imun manusia yang jauh lebih maju dibandingkan serangga, apalagi menginfeksi otak ataupun sistem saraf secara bersamaan. Mungkin butuh waktu ribuan tahun evolusi bagi jamur Cordyceps untuk mencapai kemampuan tersebut.
Meski infeksi jamur nyaris mustahil menyebabkan pandemi ataupun zombie apocalypse, kita masih harus tetap waspada. Pasalnya, tren jumlah orang yang mengalami penyakit infeksi jamur serius terus naik dengan cepat sejak separuh abad belakangan.
Tren ini mencemaskan. Pasalnya, jumlah obat antijamur masih minim sehingga kemampuan kita mengobati infeksi jamur – dibandingkan infeksi lainnya – masih terbatas.
Pengembangan obat antijamur juga cukup rumit lantaran jamur memiliki biokimia yang serupa dengan tubuh kita. Maraknya jamur yang resisten terhadap obat juga tak kalah mengancam. Karena itulah kita mesti lebih memperhatikan potensi bahaya dari jamur sebelum terlambat.
Rebecca A. Drummond, Associate Professor, Immunology and Immunotherapy, University of Birmingham
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.