Oleh: Sheherazade, University of California, Berkeley
Beberapa dekade silam, mayoritas topik konservasi atau pelestarian spesies satwa Indonesia berfokus pada harimau, gajah, badak, dan orangutan (dijuluki The Big Four).
Keempat satwa ini memang penting lantaran keberadaan mereka sebagai spesies payung (umbrella species) dapat melindungi ekosistem dan spesies-spesies lain. Keempatnya juga menjadi spesies unggulan (flagship species) yang berhasil meningkatkan kesadaran khalayak tentang keanekaragaman hayati dan menggalang dukungan untuk konservasi.
Namun, ketimpangan perhatian konservasi dapat mengabaikan keberadaan spesies lainnya yang berada dalam tingkat keterancaman serupa. Beberapa di antaranya adalah kelelawar sulawesi, ikan rono di Poso, hingga hiu tikus di Nusa Tenggara Timur.
Di antara ‘spesies terlupakan’ ini, banyak pula spesies endemik Indonesia yang tidak dapat ditemukan di tempat lain di dunia. Mereka juga berperan penting untuk ekosistem dan perekonomian masyarakat. Contohnya adalah kelelawar yang menyerbuki durian–buah bernilai ekonomi tinggi.
Minimnya riset, keterbatasan pendanaan, dan program perlindungan menjadi tantangan. Jika tidak diatasi, spesies terlupakan berisiko punah bahkan tanpa kita sadari.
Untungnya, tantangan ini berbalas angin segar. Beberapa tahun belakangan, berkat kerja sama masyarakat dengan ilmuwan, gerakan-gerakan konservasi spesies terlupakan berbasis akar rumput mulai bermunculan.
Gerakan ini dipimpin oleh kalangan ilmuwan dan praktisi konservasi muda Indonesia. Kini, aksi pelestarian spesies-spesies yang dahulu dianggap ‘tak seksi’ satu per satu muncul di publik.
Gerakan konservasi spesies terlupakan
Pada 2019, saya bersama kolega pegiat konservasi, Asnim Alyoihana Lanusi, membentuk PROGRES (Prakarsa Konservasi Ekologi Regional Sulawesi,). Melalui PROGRES, kami berusaha menganyam pendekatan sains dan masyarakat untuk konservasi di Sulawesi.
PROGRES merupakan lanjutan dari penelitian kelelawar (dalam bahasa lokal disebut poniki) yang kami rintis dua tahun sebelumnya di Pulau Mantawalu Daka, Kabupaten Banggai. Dalam gerakan ini, kami bersama nelayan dan pemuda setempat memantau dan mengupayakan pelestarian poniki.
Kami juga melakukan gerakan edukasi masyarakat seputar pentingnya poniki dan pencegahan perburuan. Poniki berukuran besar seperti poniki itam (Pteropus alecto), poniki abu (Pteropus griseus), dan poniki sulawesi (Acerodon celebensis) yang bersarang di pulau sudah lama terancam karena perburuan intens.
Di PROGRES, saya sebagai ilmuwan bertanggung jawab pada pendekatan berbasis sains. Pendekatan ini memungkinkan pelaksanaan riset yang bisa mengisi celah pengetahuan tentang spesies terlupakan (seperti jasa ekosistem, status populasi dan level keterancaman).
Saya juga bertanggung jawab atas desain program konservasi yang tepat, meningkatkan kapasitas riset pemuda setempat, hingga mengetahui capaian kesuksesan konservasi.
Sementara itu, sebagai praktisi konservasi berpengalaman, Asnim (akrab disapa Anim) memastikan keberlangsungan program konservasi di lapangan dan peningkatan kapasitas kepemimpinan masyarakat. Anim juga piawai melakukan kampanye, termasuk membuat materi buku cerita anak dan poster.
Selama hampir enam tahun, upaya kami bersama warga membuahkan hasil. Masyarakat di desa sudah tidak membiarkan pemburu kelelawar datang. Jumlah kelelawar pun jauh meningkat, dari hanya 300 individu pada 2018, saat ini menjadi sekitar 48 ribu individu.
Peningkatan populasi membawa berkah. Nelayan melaporkan bahwa ikan semakin banyak dan mudah ditemui. Dugaan kami kotoran kelelawar yang mengandung mineral yang terbukti memupuk tanaman tersapu ke laut di sekitar pulau dan lambat laun menyuburkan ekosistem lamun. Kawasan lamun adalah ‘taman berkembang’ (nursery ground) ikan-ikan kecil yang menjadi tulang punggung aktivitas perikanan setempat.
Selain kelelawar, beberapa spesies yang kami jangkau misalnya use (kuskus talaud atau Ailurops melanotis yang berstatus Terancam Punah Kritis). Ada juga bantiluku (baning sulawesi atau Indotestudo forstenii berstatus Terancam Punah Kritis).
Kami berharap pendekatan sains dan masyarakat (sesuai konteks daerah masing-masing) bisa melengkapi berbagai program konservasi yang sudah ada.
PROGRES pun tidak sendirian. Gerakan konservasi hasil kolaborasi ilmuwan dan masyarakat bermunculan di berbagai wilayah di Indonesia. Tengok saja usaha konservasi hiu tikus pelagis (Alopias pelagicus) oleh lembaga Thresher Shark Indonesia di Alor; NTT.
Usaha konservasi landak ekidna moncong panjang Sir David (Zaglossus attenborough) juga dilakukan oleh kelompok KONKLUSI di Pegunungan Cycloop; Papua. Ada juga gerakan konservasi pohon magnolia endemik Sulawesi–-bernama bakankara–(Cryptocarya crassinerviopsis) oleh lembaga Celebica.
Mengubah tantangan menjadi peluang
Berdasarkan pengalaman saya, upaya memulai konservasi spesies terlupakan tidaklah mudah. Pasalnya, bukti saintifik mengenai status populasi, peran ekologi, hingga level keterancaman yang dialami masih kurang. Keterbatasan informasi membuat urgensi perlindungan spesiesnya tidak diketahui. Narasi pentingnya upaya konservasi spesies terlupakan pada akhirnya tidak mudah dibangun.
Untungnya, para ilmuwan muda melihat tantangan ini bukan sebagai faktor penghambat melainkan peluang untuk mengisi kekosongan pengetahuan.
Dalam gerakan akar rumput yang bermunculan, penelitian menjadi komponen kegiatan utama. Misalnya, Thresher Shark Indonesia meneliti habitat krisis dan tren populasi hiu tikus. Hasil studi ini menjadi informasi penting bagi pengelolaan ekosistem laut pemerintah Alor dan NTT.
Tantangan berikutnya: sebagian besar spesies terlupakan tidak termasuk ke dalam daftar dilindungi. Beberapa spesies pun memiliki wilayah sebaran di luar kawasan konservasi.
Namun, gerakan akar rumput mengubah tantangan ini sebagai peluang untuk mendesain program yang memungkinkan spesies hidup harmonis di wilayah milik masyarakat. Gerakan ini pun menjadi simpul gotong royong ilmuwan dan warga bersama pemerintah daerah atau instansi lainnya.
Misalnya, use atau kuskus talaud adalah hewan berkantung dilindungi tetapi populasinya tersebar di luar kawasan konservasi. Sejak 2020, PROGRES memfasilitasi kerja sama multipihak untuk mendukung pelestarian kuskus berbasis masyarakat di Pulau Salibabu di Kepulauan Talaud.
Berkat kerja sama multipihak, perburuan Kuskus Talaud berkurang drastis. Separuh dari 25 desa di Pulau Salibabu menyepakati komitmen pelestarian Kuskus Talaud.
Upaya ini tentu tidak dapat berhasil tanpa dukungan kontinu dari Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara dan juga Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Sulawesi Utara.
Harapan kedepan
Indonesia dapat mendukung gerakan konservasi di tingkat akar rumput dengan beberapa cara:
Pertama, program konservasi dapat diselaraskan dan dimasukkan ke dalam program pemerintah daerah, terutama dari komitmen daerah terhadap pelestarian lingkungan. Endemisitas atau ‘tingkat keaslian’ spesies terlupakan yang tinggi bisa menjadi simbol kebanggaan daerah dan potensi ekowisata.
Kedua, program konservasi spesies terlupakan dapat dimasukkan ke dalam kegiatan inventarisasi keanekaragaman hayati di luar kawasan konservasi oleh balai konservasi setempat. Kegiatan ini sebagai langkah awal agar pelestarian suatu spesies terlupakan dapat masuk dalam agenda konservasi utama.
Ketiga, lembaga donor konservasi bisa mengarahkan dukungannya ke beragam gerakan akar rumput di berbagai wilayah Indonesia.
Terakhir, para praktisi dan pemerhati konservasi dapat membantu menggemakan pentingnya gerakan akar rumput untuk konservasi biodiversitas ke berbagai spesies.
Harapannya, gerakan akar rumput spesies terlupakan dapat menunjukkan cerita harapan yang mengubah tantangan menjadi peluang.
Sheherazade, PhD student | Conservation scientist, University of California, Berkeley
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.