Koalisi Pemerintah Belanda bubar, Jumat (7/7), setelah gagal mencapai kesepakatan soal pembatasan imigran. Hal itu akan memicu pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) baru pada musim gugur nanti.
Krisis itu dipicu oleh dorongan partai konservatif, VVD, yang mengusung Perdana Menteri Mark Rutte. VVD ingin membatasi aliran para pencari suaka ke Belanda, namun keinginan VVD itu ditolak oleh dua dari empat partai koalisi pemerintah.
“Bukan rahasia lagi bahwa mitra-mitra koalisi punya pendapat yang berbeda mengenai kebijakan imigrasi. Hari ini, kita beruntung untuk mengakhiri perbedaan-perbedaan yang sudah tidak bisa diatasi. Oleh karena itu, saya mengajukan pengunduran diri seluruh kabinet kepada raja,” kata Rutte dalam keterangan pers yang disiarkan melalui televisi.
Ketegangan itu mencuat pekan ini ketika Rutte menuntut dukungan atas usulan untuk membatasi masuknya anak-anak pengungsi perang yang sudah berada di Belanda. Selain itu, dia mengusulkan agar keluarga-keluarga imigran menunggu setidaknya dua tahun sebelum mereka bisa dipersatukan kembali.
Usulan terbaru itu dianggap keterlaluan bagi Partai Kristen (Christian Union) dan partai liberal, D66. Penolakan itu memicu kebuntuan.
Koalisi Rutte akan membentuk pemerintahan sementara hingga pemerintahan baru terbentuk setelah pemilu. Proses pembentukan pemerintahan baru di lanskap politik Belanda yang terpecah-pecah bisa memakan waktu berbulan-bulan.
Kantor berita ANP, mengutip komite pemilu, mengatakan pemilu tidak akan digelar sebelum pertengahan November.
Pemerintahan sementara tidak bisa mengambil keputusan tentang kebijakan-kebijakan baru dan tidak akan mempengaruhi dukungan negara itu terhadap Ukraina.
Saat ini, Belanda adalah salah satu negara di Eropa yang memiliki kebijakan imigrasi paling ketat. Namun di bawah tekanan partai-partai sayap kanan, selama berbulan-bulan, Rutte sudah mencari cara mengurangi aliran pencari suaka.
Permohonan pencari suaka di Belanda melonjak sebesar sepertiga hingga mencapai lebih dari 46 ribu permohonan tahun lalu. Pemerintah Belanda memperkirakan angka itu masih bisa meningkat hingga mencapai lebih dari 70 ribu tahun ini, melebihi angka tertinggi yang dicapai pada 2015.
Peningkatan jumlah pencari suaka itu akan makin membebani fasilitas-fasilitas pencari suaka di negara itu. Tahun lalu, ratusan pengungsi terpaksa tidur dengan kondisi mengenaskan tanpa atau sedikit akses ke air minum, fasilitas kebersihan atau kesehatan. [ft/pp]
Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat
Artikel ini terbit atas kerjasama afiliasi Zonautara.com dengan Voice of America (VOA) Indonesia