Delegasi sepuluh negara bertemu di Yogyakarta, 1-4 Agustus 2023 dalam kerangka ASEAN Regional Disaster Emergency Response Simulation Exercise (ARDEX). Sebagai wilayah yang tergolong memiliki tingkat rawan bencana yang tinggi, ASEAN membutuhkan koordinasi lebih baik dalam penanganan kebencanaan.
Yogyakarta dipilih oleh ASEAN sebagai lokasi latihan simulasi kebencanaan karena sejarahnya yang unik. Wilayah ini memiliki ancaman bencana gunung Merapi di sisi utara, dan gempa yang sering terjadi di sisi selatan. Begitu pula ancaman tsunami karena posisinya di tepi Samudera Hindia.
ARDEX, menurut Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Profesor Muhadjir Effendy, adalah gelar latihan penanganan bencana. Selain sesar Opak, patahan darat yang menyebabkan gempa besar Yogyakarta 2006 lalu, fokus pelatihan juga pada potensi bencana lain di kawasan ini.
“Karena Yogya ini tidak hanya sesar Opak saja yang jadi masalah, tapi juga ada Gunung Merapi yang sangat aktif dan ada juga kemungkinan terjadi tsunami, terkait keberadaannya di tepi Samudera Hindia. Maka kami putuskan untuk memilih Yogya, karena sangat ideal untuk menunjukkan simulasi kebencanaan,” ujar Muhadjir di Yogyakarta, Selasa (1/8) petang.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Profesor Dwikorita Karnawati menyebut Yogyakarta belajar banyak dari gempa besar 2006.
“Gempa terakhir yang berada di selatan Bantul, magnitudonya cukup tinggi, yaitu 6 SR. Kalau di provinsi lain, kekuatan sekian dan kedalaman kurang lebih sama, itu rusaknya masif. Namun kemarin tidak ada, hanya ringan dan sangat ringan,” kata Dwirkorita yang mendampingi Muhadjir.
Gempa yang disebut Dwikorita adalah gempa 6,4 skala richter yang terjadi pada 30 Juni 2023 malam. Meski skalanya cukup tinggi, korban meninggal tercatat hanya satu orang, dan bangunan rusak tidak terlalu banyak. Salah satunya adalah karena penerapan standar bangunan tahan gempa, yang diberlakukan sejak 2006 untuk mengantisipasi bangunan roboh.
Selain itu, Yogyakarta juga menjadi contoh karena upayanya untuk hidup berdampingan dengan bencana. Salah satunya melalui pembangunan bandara baru di tepi laut yang diproyeksikan mampu berfungsi sebagai ruang penyelamat saat tsunami.
“Bandara Internasional Yogyakarta yang ada di Kulonprogo itu merupakan satu-satunya bandara di ASEAN yang telah disiapkan. In syaa Allah ini semoga bukan takabur ya, disiapkan untuk tahan gempa kekuatan 8,5 dan tsunami sampai ketinggian 10 meter,” papar Dwikorita.
Bandara baru tersebut mampu menampung hingga 10 ribu orang ketika tsunami terjadi. Bukan hanya pemakai jasa bandara, masyarakat sekitar juga dapat berlindung dari tsunami di kompleks bandara.
“Sebagai negara ASEAN, Indonesia juga ditunjuk sebagai ASEAN Earthquick Information Center dan bertanggung jawab untuk menyampaikan informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami ke sepuluh negara ASEAN, dan ke 25 negara di sepanjang Samudra Hindia,” tambah Dwikorita terkiat peran penting Indonesia di kawasan ini dalam kebencanaan.
Komitmen Indonesia Tinggi
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto memastikan komitmen Indonesia dalam penanganan kebencanan di ASEAN. Bahkan, kantor ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on disaster management (AHA Centre) berada di gedung yang sama dengan BNPB.
“Artinya, selama ini dalam memelihara dan meningkatkan kerjasama terkait penanggulangan bencana yang diderita di negara-negara lain, terutama dari negara-negara ASEAN ini, kita sudah terjalin betul kerja samanya,” ujar dia.
Suharyanto menambahkan, “Yang paling terakhir adalah saat Myanmar mengalami bencana siklon tropis. Kita memberikan bantuan ke sana dalam bendera AHA Center.”
Peran yang sama juga diberikan dalam penanganan dampak gempa di Turki dan Suriah, di mana AHA Center mengoordinasikan pengiriman pasukan SAR dan kesehatan.
ARDEX, kata Suharyanto, adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kerja sama ASEAN dalam penanganan kebencanaan. Ada sekitar 960 peserta dari Indonesia dan 180 peserta mewakili negara-negara ASEAN yang hadir. Mereka akan belajar bersama, mulai dari gladi ruang atau koordinasi sebelum pengerahan personil dan perlengkapan.
Pembelajaran tersebut dilanjukan dengan gladi posko di mana prosedur pengambilan keputusan dari para pejabat yang bertanggung jawab dalam penanggulangan bencana disepakati. Setelah itu, ada gladi lapangan.
“Di situ sudah jelas, ada peragaan secara terbatas, terkait dengan pengerahan personil dan perlengkapan yang dibutuhkan ketika terjadi penanggulangan bencana. Bagaimana posko komandonya, di mana prosedur komunikasinya, bahkan juga pengerahan alat peralatan khusus,” tambah Suharyanto.
Penting Bagi ASEAN
Deputi Sekretaris Jenderal ASEAN, Ekkaphab Phanthavong, yang juga hadir di Yogyakarta mengakui nilai penting ARDEX.
“Inisiatif seperti ARDEX penting untuk memastikan bahwa ASEAN mampu beroperasi secara efektif dan kolektif sebagai satu kesatuan dalam penanganan bencana,” ujar Phanthavong.
Dia juga mengatakan, pelatihan ini penting tidak hanya bagi para petugas atau relawan bencana, tetapi juga bagi badan kebencanaan di setiap negara anggota ASEAN. ARDEX akan mampu melakukan tes, terjadap relevansi komponen stander prosedur operasi ASEAN dalam penanganan kebencanaan. [ns/ah]
Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat
Artikel ini terbit atas kerjasama afiliasi Zonautara.com dengan Voice of America (VOA) Indonesia