bar-merah

Perludem keluarkan sikap tanggapi pernyataan Jokowi soal Presiden dan Menteri dapat berpihak saat Pilpres

jokowi
Tangkapan layar kanal YouTube Sekretariat Presiden

ZONAUTARA.com – Presiden Joko Widodo atau Jokowi melontarkan pernyataan bahwa Presiden dan Menteri boleh berpihak di dalam Pemilihan Presiden (Pilpres). Penegasan itu dikeluarkan Jokowi pada Rabu, 24 Januari 2024 kepada wartawan di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta.

Jokowi menjawab pertanyaan wartawan yang mempertanyakan menteri bisa menjadi tim sukses salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.

“Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja. Presiden itu boleh lho kampanye, boleh lho memihak,” katanya.

“Tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara. Boleh. Kita ini pejabat publik sekaligus pejabat politik, boleh menteri juga boleh,” lanjutnya.

Menurut Jokowi Presiden dan Menteri dapat berpihak kepada pasangan calon sepanjang tidak menggunakan fasilitas negara. Menurut Jokowi, hal itu terkait dengan hak politik warga negara dan jabatan politik yang dipegang oleh masing-masing pejabat negara.

Menanggapi pernyataan Jokowi tersebut, Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengeluarkan pernyataan sikap. Adapun sikap Perludem sebagaimana yang diterima Zonautara.com, adalah sebagai berikut:

  1. Pernyatan Presiden sangat dangkal, dan berpotensi akan menjadi pembenar bagi Presiden sendiri, Menteri, dan seluruh pejabat yang ada di bawahnya, untuk aktif berkampanye dan menunjukkan keberpihakan di dalam Pemilu 2024. Apalagi Presiden Jokowi jelas punya konflik kepentingan langsung dengan pemenangan Pemilu 2024, sebab anak kandungnya, Gibran Rakabuming Raka adalah Calon Wakil Presiden Nomor Urut 2, mendampingi Prabowo Subianto. Padahal, netralitas aparatur negara, adalah salah satu kunci mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang jujur, fair, dan demokratis;
  2. Pernyataan Presiden Jokowi dipastikan hanya merujuk pada ketentuan Pasal 281 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 yang berbunyi:
    “Kampanye Pemilu yang mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota harus memenuhi ketentuan:
    a. Tidak menggunakan failitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan
    bagi pejabat negara ebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan; dan
    b. Menjalani cuti di luar tanggungan negara.
  3. Padahal, di dalam UU No. 7 Tahun 2017, khsusnya di dalam Pasal 282 UU No. 7 Tahun 2017 terdapat larangan kepada “pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye”. Dalam konteks ini, Presiden Jokowi dan seluruh menterinya jelas adalah pejabat negara. Sehingga ada batasan bagi Presiden
    dan Pejabat Negara lain, termasuk Menteri untuk tidak melakukan tindakan atau membuat keputusan yang menguntungkan peserta pemilu tertentu, apalagi dilakukan di dalam masa kampanye. Dalam konteks ini, jika ada tindakan presiden, apapun itu bentuknya, jika dilakukan tidak dalam keadaan cuti di luar tanggungan negara, tetapi menguntungkan peserta pemilu tertentu, itu jelas adalah pelanggaran pemilu. Termasuk juga tindakan Menteri, yang melakukan tindakan tertentu, yang menguntungkan peserta pemilu tertentu, itu adalah pelanggaran kampanye pemilu. Apalagi tindakan itu dilakukan tidak dalam cuti di luar tanggungan negara;
  4. Di dalam Pasal 283 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 juga terdapat ketentuan yang mengatur soal pejabat negara yang serta aparatur sipil negara yang dilarang melakukan kegiatan yang mengarah kepada keperbihakan kepada peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah kampanye. Ketentuan itu berbuyi “Pejabat negara, pejabat structural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye”. Ketentun ini jelas ingin memastikan, pejabat negara, apalagi selevel Presiden dan Menteri untuk tidak melakukan kegiatan yang mengarah pada keberpiakan pada peserta pemilu tertentu. Bahkan larangan itu diberikan untuk ruang lingkup waktu yang lebih luas, sebelum, selama, dan sesudah kampanye. Kerangka hukum di dalam UU Pemilu dapat disimpulkan ingin memastikan semua pejabat negara yang punya akses terhadap program, anggaran, dan fasilitas negara untuk tidak menyalahgunakan jabatannya dengan menguntungkan peserta pemilu tertentu.

Selanjutnya Perludem mendesak beberapa hal berikut:

  1. Presiden Jokowi menarik pernyataan bahwa Presiden dan Menteri boleh berpihak, karena ini akan berpotensi menjadi alasan pembenar untuk pejabat negara dan seluruh aparatur negara untuk menunjukkan keberpihakan politik di dalam penyelenggaraan pemilu, dan berpotensi membuat proses penyelenggaraan pemilu dipenuhi dengan kecurangan, dan menimbulkan penyelenggaraan pemilu yang tidak fair dan tidak demokratis;
  2. Mendesak Bawaslu untuk secara tegas dan bertanggungjawab menyelesaikan dan menindak seluruh bentuk ketidaknetralan dan keberpihakan aparatur negara dan pejabat negara, yang secara terbuka menguntungkan peserta pemilu tertentu, dan menindak seluruh tindakan yang diduga memanfaatkan program dan tindakan pemerintah yang menguntungkan peserta pemilu tertentu;
  3. Mendesak kepada seluruh pejabat negara, seluruh apartur negara untuk menghentikan aktifitas yang mengarah pada keberpihakan, menyalahgunakan program pemerintah yang mengarah kepada dukungan pada peserta pemilu tertentu.


Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com