Oleh : DR. Agus Tony Poputra
Dengan mempertimbangkan masih banyak penduduk Indonesia yang tergolong miskin, maka lebih dari satu dasawarsa terakhir Pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan bantuan sosial (bansos) dalam berbagai bentuk, mulai dari Bantuan Tunai Langsung (BTL), Program Keluarga Harapan (PKH), dan sebagainya. Jumlahnya semakin masif akhir-akhir ini dan menjadi kebijakan yang dianggap populis. Pertanyaannya apakah kebijakan tersebut terutama mekanismenya yang ada akan terus dipertahankan ke depan?
Kebijakan ini sesungguhnya baik untuk menjadi jaring pengaman (safety net) pada kondisi-kondisi tertentu. Namun bila kebijakan menjadi rutin dan hanya sedikit yang keluar dari kelompok miskin secara permanen, maka besaran bansos akan menjadi indikator kegagalan pemerintah dalam menyejahterakan rakyat.
Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) bahwa “tujuan mendirikan negara adalah untuk mewujudkan kesejahteraan, bukan mewujudkan bantuan sosial.”
Sekali lagi bantuan sosial itu baik, namun jika tujuannya tidak terukur; sasarannya tidak tepat; mekanismenya yang buruk; dan momennya yang tidak pas akan menciptakan bom waktu ke depan, baik pada aspek anggaran maupun perilaku dan etos kerja masyarakat.
Pada aspek anggaran, bantuan sosial mengonsumsi dana yang sangat besar. Setelah Perang Dunia II, bantuan sosial dimulai oleh negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa. Namun dalam perjalanannya mereka kepayahan dalam membiayai bantuan sosial.
Tahun 1996, Amerika Serikat menerbitkan Undang-Undang Tanggung Jawab Pribadi dan Kesempatan Kerja (Personal Responsibility and Work Opportunity Act), sebagai langkah untuk mengurangi beban pemerintah untuk bansos.
Dalam undang-undang baru ini, dukungan pendapatan bagi masyarakat miskin sebagai sebuah program “hak” dihapuskan dan menekankan pada kepedulian masyarakat terhadap diri sendiri dengan bekerja, sementara pemerintah mendorong perluasan kerja kerja.
Pemerintah Indonesia sendiri pada tahun 2023 menganggarkan program perlindungan sosial sebesar Rp 476 triliun atau setara dengan 21,19% anggaran belanja Pemerintah Pusat. Anggaran ini secara riil lebih besar lagi jika ditambahkan dengan anggaran Pemerintah Daerah untuk program serupa.
Dalam praktiknya, bantuan sosial masih menimbulkan banyak masalah yang perlu diselesaikan, seperti data yang tidak sinkron antara Kementerian / Lembaga / Pemerintah Daerah tentang mereka yang layak menerima; salah sasaran; kecemburuan antar anggota masyarakat yang merasa diperlakukan tidak adil; tumpang tindih antar jenis bantuan sosial; dan berbagai masalah lainnya.
Mengacu pada besarnya belanja bantuan sosial dan masalah di lapangannya, maka ini akan menciptakan bom waktu ke depan saat pendapatan pemerintah mendapat tekanan seperti yang dihadapi Venezuela. Ini bisa berujung pada gangguan stabilitas politik dan keamanan.
Pada aspek perilaku dan etos kerja masyarakat, bantuan sosial yang bersifat gratisan dan dikelola secara kurang baik akan menciptakan perilaku “menadah tangan” dan menurunkan etos kerja di kalangan masyarakat.
Penelitian di Amerika Serikat, sebelum keluarnya undang-undang yang disebutkan di atas, menemukan bahwa bantuan sosial mengurangi insentif kerja dan mendorong ketergantungan pada bantuan sosial pemerintah sehingga menimbulkan “perangkap pendapatan (income trap).”
Situasi ini akan sangat berbahaya ke depan bagi Indonesia di tengah perkembangan teknologi yang mereduksi besar-besaran kebutuhan tenaga kerja berketerampilan rendah dan yang memiliki etos kerja rendah. Dengan keterampilan dan etos kerja yang semakin turun karena dininabobokan oleh bansos, maka rakyat Indonesia bisa tergilas dalam arus globalisasi.
Merujuk pada dampak negatif dari bansos yang dapat menimbulkan bencana masa depan bagi Indonesia, maka kebijakan tersebut perlu ditelaah kembali pengelolaannya untuk mengurangi dampak negatifnya.
Beberapa langkah yang perlu dilakukan pemerintah diantaranya sebagaimana berikut ini.
- Pendataan dan penyaluran bansos cukup satu pintu. Kementerian dan Lembaga lain tidak perlu membuat berbagai macam aplikasi untuk mengumpulkan data tentang masyarakat miskin karena dapat membuat data tidak sinkron, juga membuat pemerintah daerah kewalahan melayani berbagai permintaan data dari Pemerintah Pusat. Saat ini terlalu banyak aplikasi yang membuang banyak anggaran yang dibuat oleh pemerintah sehingga Indonesia pantas untuk dijuluki sebagai “negara aplikasi.” Dengan pendataan dan penyaluran “Satu Pintu” maka data lebih mudah direviu dari bulan ke bulan untuk mengetahui berapa banyak anggota masyarakat yang masih layak menerima bansos rutin.
- Bansos rutin seharusnya hanya diberikan pada lansia kurang mampu, anak yatim piyatu yang belum produktif, anggota masyarakat yang sakit permanen yang membuat mereka tidak mampu bekerja, serta kaum difabel tertentu yang karena jenis kecacatannya membuat mereka tidak bisa bekerja. Selanjutnya, bansos rutin tersebut seharusnya diberikan secara bulanan, bukan triwulanan.
- Sebagian dana bansos perlu dialihkan sebagai Cadangan Pemerintah untuk menghadapi kondisi ekonomi yang buruk seperti yang terjadi pada saat Covid-19 lalu. Dengan demikian, saat kondisi buruk terjadi, pemerintah tidak harus mencari pinjaman dalam jumlah besar untuk membantu masyarakat yang terdampak.
- Bagi masyarakat miskin pada kelompok usia produktif, bansos sebaiknya dialihkan menjadi program Padat Karya. Program ini bisa meningkatkan etos kerja dan hasil kerja mereka bisa mempercepat pembangunan di daerah. Secara psikologis, masyarakat akan lebih menghargai uang yang diterima lewat hasil jerih payah ketimbang diterima secara cuma-cuma.
- Pemerintah perlu menyediakan “Tempat Penitipan Anak” yang berkualitas serta terjaga keamanannya dari perlakuan buruk terhadap anak ataupun penculikan. Dengan demikian, para ibu tidak mengorbankan pekerjaannya untuk mengurus anak sepanjang hari.
Lewat langkah-langkah ini diharapkan kebijakan bansos akan lebih efektif dan efisien serta tidak mereduksi etos kerja dan tidak menciptakan perilaku “menadah tangan serta percepatan pembangunan lewat program padat karya.”
Selain itu, hasil efisiensi dana bansos dapat digunakan “Cadangan Bansos” untuk menghadapi masa sulit ke depan. Kesemuanya ini untuk menghindari bencana di masa mendatang karena mismanajemen kebijakan bansos.
Penulis adalah Staf Pengajar pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sam Ratulangi Manado