bar-merah

Kelapa sawit bakal jadi bahan baku biodiesel, IRT di Sitaro punya alternatif untuk minyak goreng

Fandri Pangandaeng di tengah, di apit petugas dari Kementrian Agama untuk sertifikasi label halal.

SITARO, ZONAUTARA.COM-Fandri Pandaeng seorang pemuda asal Kampung Lai, Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (Sitaro) membangun produk industri rumah tangga (IRT) minyak kelapa tradisional dengan merek dagang ‘minyak goreng torang’.

Ide Fandri berangkat dari kebiasaan lama warga di Kabupaten Kepulauan Sitaro yang gemar mengkonsumsi minyak goreng yang diolah dari buah kelapa. Umumnya hasil olahan minyak goreng tradisional akan berwarna kuning atau putih memudar, tapi ditangannya berubah menjadi kekuningan dan jernih mirip minyak goreng umumnya dari olahan kelapa sawit.

Untuk rasanya juga tidak kalah dari yang lain, serta aromanya tidak menyengat dan sangat mirip dengan minyak goreng umumnya.

Upayanya untuk memanfaatkan hasil kebun berhasil. Produk yang dulunya hanya dijual di Kepulauan Sitaro, kini sudah dijual di Kota Manado. Perbulannya dari 25 botol ukuran 600 ML kini naik sampai 60 botol.

“Saya kirim beberapa minggu sekali dan sebulan sampai 60 botol, nantinya di Jumbo di Kota Manado ada petugas saya yang mencek di rak, dia juga sudah saya buatkan kaos dan ada honor,” tutur Fandri yang juga bekerja sebagai perangakt desa.

Ia bercerita, saat ini bahan baku utama menjadi kendala yang harus dihadapi. Kurangnya pasokan kelapa apalagi saat harga kopra naik membuat dia geleng-geleng kepala. Beruntung, masih memiliki stok kelapa warisan dari orang tua yang bisa dimanfaatkan.

“Saat ini bergantung ke kelapa milik pribadi,” sebutnya.

Untuk mengurangi kendala bahan baku, Fandri kini menerima warga menjual buah kelapa, selain itu dia juga menerima warga yang menjual olahan minyak goreng setengah jadi.

“Nantinya dengan resep yang ada. Saya olah lagi sesuai standar penjualan Minyak Goreng Torang,” ucap Fandri.

Sedangkan, untuk memasak dan mengemas produk saat ini IRT Pemuda Sakti dibantu kerabat dan orang terdekat. Ia mengaku belum mampu menerima karyawan dengan gaji perbulan karena omset masih kecil. Produk Minyak Goreng Torang juga di Sitaro dijual murah Rp. 16.000 perbotolnya.

“Saat ini pekerja saya itu keluarga di rumah, belum bisa menerima banyak orang,” jelas dia.

Sebenarnya, upaya yang dilakukan Fandri Pangandaeng pemilik IRT Pemuda Sakti di Kepulauan Sitaro dengan memanfaatkan minyak kelapa tradisional patut diapresiasi. Ini menjadi salah satu terobosan di saat harga minyak goreng tidak stabil di pasaran, bahkan cenderung terus naik. Apalagi dengan rencana pemerintah pusat untuk pemanfaatkan kelapa sawit tidak hanya untuk minyak goreng.

Masa Depan Kelapa Sawit

Ahmad Juang Setiawan, Climate Researcher dari Traction Energy Asia mengungkapkan permasalahan iklim juga menjadi ancaman atas produktivitas kelapa sawit sebagai bahan baku minyak goreng. 

Ia mengatakan dampak krisis iklim seperti banjir, kekeringan, asap kebakaran hutan dan lahan, mempengaruhi produktivitas kelapa sawit melalui beberapa hal seperti pergeseran musim panen, menurunnya kualitas, rusaknya tanaman, hingga potensi kematian tanaman. 

Hal lainnya yang berpotensi mengganggu ketersediaan minyak goreng adalah penggunaan kelapa sawit untuk biodiesel. Semakin tinggi tingkat pencampuran biodiesel, ketersediaan minyak goreng berpotensi akan menurun. 

Secara umum stok minyak goreng terancam oleh dua hal, yaitu krisis iklim yang mempengaruhi produktivitas kelapa sawit, dan biodiesel yang mempengaruhi jatah minyak sawit untuk diolah menjadi minyak goreng. Juang mengatakan dalam 4 tahun terakhir, terjadi peningkatan konsumsi minyak goreng saat menjelang bulan Ramadhan dan Idul Fitri sebesar rata-rata 38%. 

Namun, jika ditelusuri lebih lanjut, kebutuhan akan energi lambat namun mengalami peningkatan. Pada bulan Agustus 2023, alokasi CPO untuk energi sudah melebihi alokasi untuk pangan, yaitu melebihi 1 juta ton sementara pangan dibawah 1 juta ton. 

Hal ini seiringan dengan regulasi pemerintah untuk meningkatkan produksi biosolar, yang juga dikenal sebagai program pencampuran Bahan Bakar Nabati (B35).

Juang juga menambahkan salah satu caranya untuk menuju pangan yang berkelanjutan adalah dengan melihat kembali kearifan lokal yang telah dikembangkan oleh petani-petani kecil di daerah yang sudah mempunyai mekanisme adaptasi perubahan iklim.  

Menurutnya hal ini penting untuk memberikan masukan yang berharga bagi pemerintah. Ia juga menekankan pentingnya diversifikasi sistem pertanian dibanding menggunakan menggunakan satu sistem yang sama untuk semua daerah. 

“Pada kenyataannya, setiap daerah memiliki keunikan dan kebutuhan tersendiri yang harus dipertimbangkan,” tambahnya. 

Apa yang dilakukan Fandri lewat IRTnya seharusnya disambut pemerintah sebagai sebuah terobosan untuk menekan kenaikan harga minyak goreng secara nasional. Dengan memanfaatkan hasil kebun kelapa yang masih mendominasi di Kepulauan Sitaro, seharusnya cukup untuk membuat Sitaro bisa sedikit mandiri pangan khususnya dalam kebutuhan minyak goreng.



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com