BOLMONG, ZONAUTARA.com – Tahun 1980-an menjadi periode di mana bahasa Mongondow mulai memudar di kalangan anak muda, terlebih anak-anak kecil. Di tengah fenomena tersebut, seorang pria kecil bernama Yusra Alhabsy menghadapi tantangan besar untuk bisa bergaul dan beradaptasi di lingkungan barunya di Kelurahan Motoboi Kecil, Kotamobagu.
Yusra yang saat itu baru saja pindah ke Madrasah Tsanawiyah (MTS) Darul Ulum, Kotamobagu, mengalami kesulitan berkomunikasi dengan teman-teman sebayanya. Bahasa Mongondow yang menjadi bahasa sehari-hari masyarakat setempat adalah hal yang asing baginya.
“Saya merasa agak sulit berkomunikasi dengan teman-teman sebayanya,” kenang Yusra.
Namun, tantangan itu justru menjadi pintu gerbang untuk mengenal lebih dekat akar budayanya. Sang paman yang berprofesi sebagai guru, tidak ingin melihat keponakannya terus terasing dari lingkungan sekitar. Ia kemudian mengambil inisiatif untuk mewajibkan Yusra belajar bahasa Mongondow. Caranya unik, tapi efektif.
“Sepulang sekolah, saya diwajibkan menghafal dua sampai tiga kosakata bahasa Mongondow sebelum bisa masuk ke rumah,” cerita Yusra dengan senyum.
Metode tersebut tidak hanya menanamkan kedisiplinan, tetapi juga menumbuhkan rasa ingin tahu dan kesadaran akan pentingnya bahasa lokal.
Yusra kecil harus berusaha keras. Ketika teman-temannya asyik bermain, ia sering kali pergi dari rumah ke rumah, bertanya kepada tetangga tentang kata-kata dalam bahasa Mongondow yang belum ia mengerti.
“Setiap hari adalah proses belajar. Jika tidak di sekolah, saya harus mencari tahu sendiri dengan bertanya kepada orang sekitar,” ujarnya.
Meski tak serta-merta menjadi fasih, Yusra kini bisa memahami dan berbicara dalam bahasa Mongondow dengan cukup baik. Baginya, pengalaman itu adalah pelajaran yang berharga.
“Alhamdulillah, berkat disiplin dari paman saya dan upaya yang saya lakukan, meskipun tidak sefasih orang lain, saya bisa mengerti dan memahami bahasa Mongondow,” ungkapnya.
Pengalaman Yusra menunjukkan betapa pentingnya menjaga dan mewariskan bahasa daerah sebagai bagian dari identitas budaya. Di tengah gempuran bahasa Indonesia dan bahasa asing, bahasa Mongondow tetap harus dipelihara agar tidak hilang ditelan zaman.
Kini, Yusra tak hanya bangga karena bisa memahami bahasa Mongondow, tetapi juga merasa beruntung telah diajari oleh keluarganya untuk mencintai budaya lokal.
“Bahasa Mongondow bukan sekadar alat komunikasi, tapi cerminan jati diri kita,” katanya menutup kisah.
Kisah Yusra Alhabsy adalah contoh nyata bagaimana semangat belajar dan dukungan keluarga bisa menjadi jalan untuk menjaga kekayaan budaya daerah. Di masa kini, ketika globalisasi semakin mempengaruhi segala aspek kehidupan, pelajaran dari masa kecil Yusra menjadi pengingat bahwa bahasa daerah adalah bagian dari kekayaan tak ternilai yang harus dijaga dan diwariskan.