ZONAUTARA.com – Besok, Rabu 27 November 2024, Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (Sitaro), sama halnya dengan seluruh wilayah lain di Indonesia, akan menentukan arah lima tahun ke depan. Di antara retorika janji dan hingar-bingar selama kampanye yang telah selesai, ada sebuah pertanyaan mendasar yang patut direnungkan: apakah kita memilih pemimpin yang akan membawa perubahan nyata, atau sekadar melanggengkan warisan kekuasaan lama?
Politik dinasti telah lama menjadi wajah yang akrab di panggung demokrasi Indonesia. Sebuah fenomena yang tidak sekadar mengulang nama-nama besar tetapi seringkali mengulang pula pola yang sama: anti-kritik, stagnasi, dan penundaan atas kepentingan publik. Di Sitaro, realitas ini tak jauh berbeda.
Ketika potensi tersendat oleh kepentingan kekuasaan
Bayangkan kabupaten kecil ini dengan kekayaan alamnya yang luar biasa: pala yang harum hingga mancanegara, ikan-ikan segar yang berenang di perairan kaya, dan lanskap alam yang memukau. Namun, betapa sering potensi ini terhambat oleh kebijakan yang tak pernah benar-benar berpihak pada masyarakat kecil.
ASN di Sitaro, seperti di banyak daerah lain, kerap terjebak dalam intimidasi dan tekanan birokrasi yang membuat inovasi berhenti di tengah jalan. Pemerintah lebih nyaman dengan stabilitas kuasa daripada membuka ruang untuk kritik yang membangun. Warga, yang seharusnya menikmati hasil dari kekayaan daerah, malah sering merasa terpinggirkan oleh kebijakan yang hanya fokus pada lingkaran kekuasaan itu sendiri.
Pilkada 2024 menjadi peluang untuk memutus siklus ini. Namun, data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa politik dinasti masih mencengkeram sistem demokrasi kita. Sebanyak 26,8% dari total kandidat di Pilkada 2024 terafiliasi dengan dinasti politik, baik melalui hubungan orang tua-anak, suami-istri, maupun saudara kandung. Ironisnya, lima provinsi dengan kandidat dinasti terbanyak justru berasal dari wilayah yang masih juga berkutata dengan angka kemiskinan, seperti Sulawesi Utara yang meliputi Sitaro.
Risiko politik dinasti
Politik dinasti bukan sekadar tentang mewarisi kekuasaan. Ia menciptakan sistem yang menutup akses bagi individu berbakat di luar lingkaran kekuasaan. Ketika dinasti politik mendominasi, meritokrasi sebagai prinsip utama demokrasi tergerus. Bukankah Pilkada seharusnya menjadi panggung kompetisi ide dan kebijakan? Namun, data ICW juga menunjukkan bahwa di 12 daerah dengan calon yang hanya melawan kotak kosong, kandidat tersebut justru berasal dari lingkaran dinasti politik.
Lebih dari sekadar monopoli kekuasaan, dinasti politik sering menjadi ladang subur bagi korupsi. Bukti nyata terlihat dari kasus-kasus besar seperti dinasti Ratu Atut Chosiyah di Banten, atau keluarga Syaukani di Kutai Kartanegara. Jika kekuasaan hanya berputar di antara keluarga, risiko lemahnya pengawasan menjadi semakin tinggi. Di Sitaro, kondisi ini tak boleh terjadi.
Ambil bagian dari gerakan perubahan
Namun, janganlah kita berputus asa. Kita masih memiliki kekuatan untuk membawa perubahan. Suara kita di tempat pemungutan suara (TPS) adalah bentuk nyata dari kedaulatan rakyat. Pilihan yang kita buat besok bukan hanya tentang siapa yang akan memimpin, tetapi juga tentang apa yang kita inginkan untuk Sitaro.
Gunakan hati nurani Anda. Pilihlah pemimpin yang mampu membawa harapan, bukan sekadar janji. Pilihlah mereka yang berani memutus rantai lama demi melangkah ke masa depan yang lebih baik.
Datanglah ke TPS
Tanggal 27 November 2024 bukan hanya hari Pilkada, tetapi sebuah momentum. Datanglah ke TPS, pilihlah dengan kesadaran penuh, dan jadilah bagian dari perubahan yang kita dambakan. Di Sitaro, masa depan bukan ditentukan oleh mereka yang berkuasa, tetapi oleh kita yang memilih. Karena suara kita bukan hanya suara rakyat, tetapi gema dari harapan dan tanggung jawab bersama.
Vox populi, vox Dei — suara rakyat adalah suara Tuhan. Jangan biarkan ia menjadi tangisan rakyat yang dikhianati.