Penulis: Muhammad Ammar Hidayahtulloh, The University of Queensland
Pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo meninggalkan sejumlah pekerjaan untuk Presiden Prabowo Subianto dalam mengentaskan kesenjangan gender. Berdasarkan Indeks Global Gender Gap yang dikeluarkan oleh World Economic Forum, skor kesenjangan gender di Indonesia hanya berkurang 0,013 sejak 10 tahun yang lalu. Indonesia tahun ini berada di posisi ke-100 dari 146 negara, turun dari posisi ke-97 dari 142 negara pada 2014.
Sulitnya menutup kesenjangan gender di Indonesia merefleksikan ketidakseriusan negara dalam menyusun dan mengimplementasikan kebijakan yang adil gender.
Prabowo telah menetapkan penguatan kesetaraan gender dan perlindungan hak perempuan menjadi 1 dari 17 program prioritas pemerintahannya. Namun, tampaknya agenda kebijakan kesetaraan gender tidak akan banyak berubah, bahkan ada indikasi semakin memburuk.
Ini dapat dilihat dari kebijakan yang berlaku, ketimpangan porsi laki-laki dan perempuan dalam jabatan penting di pemerintahan, kesenjangan anggaran, bahkan isu seksisme yang makin merebak dan pelakunya adalah para pemegang kekuasaan.
Kebijakan dan program pembangunan tidak sensitif gender
Sebenarnya, saat Jokowi berkuasa, disahkannya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) memberi harapan bagi proses penegakan hukum yang berperspektif dan berpihak pada korban. Namun, pemerintah hingga hari ini baru mengeluarkan 3 dari 7 peraturan pelaksana. Padahal dikeluarkannya peraturan pelaksana menjadi kunci keseriusan negara dalam melindungi dan menjamin hak-hak korban kekerasan seksual.
Peraturan pelaksana yang sudah dikeluarkan adalah Peraturan Presiden (Perpres) 9/2024 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Dan Pelatihan Pencegahan Dan Penanganan TPKS, Perpres 55/2024 tentang Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak, dan Peraturan Pemerintah (PP) 27/2024 tentang Koordinasi dan Pemantauan Pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Korban TPKS.
Ada satu peraturan pelaksana yang hingga saat ini masih belum dikeluarkan, yakni PP tentang Dana Bantuan Korban. Peraturan ini akan berdampak positif dalam implementasi UU TPKS yang berpihak pada korban.
Selain itu, kebijakan yang perlu diperhatikan dan diberlakukan secara hati-hati adalah Undang-Undang (UU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) yang disahkan Juni lalu.
Legislasi ini menjadi bagian integral dalam pembangunan sumber daya manusia dan merupakan terobosan baru untuk perlindungan hak-hak pekerja perempuan, salah satunya melalui aturan cuti hamil dan melahirkan. Ada empat peraturan pelaksana yang pemerintah janjikan untuk mengimplementasikan UU ini.
Namun, UU KIA ini seolah-olah membakukan peran domestik perempuan dengan mengkonstruksikan upaya menyejahterakan anak sebagai peran Ibu.
UU ini berpotensi meningkatkan ketimpangan gender dalam partisipasi dan kesempatan ekonomi bagi perempuan jika perusahaan dan pemberi kerja memandang aturan ini sebagai beban.
Negara juga masih belum mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). Padahal pembahasannya di DPR sudah lebih dari dua dekade. Keseriusan pemerintah dalam memperbaiki kesenjangan gender makin dipertanyakan.
Selain tiga kebijakan di atas, ada rentetan peraturan daerah (perda) yang diskriminatif gender, maupun terhadap kelompok minoritas. Contohnya aturan yang mewajibkan perempuan bergaya busana tertentu, seperti melarang atau mewajibkan penggunaan jilbab di sekolah.
Ada pula proyek pembangunan nasional yang justru mewariskan sejumlah masalah bagi masyarakat kecil, khususnya perempuan. Misalnya, Proyek Pembangunan Sirkuit Mandalika yang berujung pada pemiskinan struktural bagi perempuan suku Sasak.
Minimnya representasi perempuan
Di era Prabowo, ideologi “pembangunanisme” diperkuat dengan apa yang ia sebut sebagai “the Military Way”. Slogan ini sayangnya bukan sebatas leadership style Prabowo—mengingat latar belakangnya sebagai purnawirawan TNI.
Setidaknya ada 10 purnawirawan TNI yang menduduki posisi menteri, wakil menteri, dan kepala badan—semuanya laki-laki.
Susunan Kabinet Merah Putih Prabowo juga gagal mencerminkan janji politiknya untuk mendorong peran politik perempuan. Dari 109 posisi menteri dan wakil menteri, perempuan hanya menempati 14 jabatan, atau sekitar 12,8%. Kabinet Prabowo terkesan sangat maskulin.
Alih-alih mewujudkan kesetaraan gender, timpangnya komposisi gender dalam kabinet berpotensi melahirkan kebijakan-kebijakan yang tidak inklusif dan tidak mempertimbangkan perspektif dan kebutuhan perempuan.
Di lembaga legislatif, representasi perempuan memang mengalami sedikit peningkatan, dari 20,5% di periode sebelumnya menjadi 22,06% atau sekitar 128 kursi dari total 580 di periode ini.
Namun, menurut temuan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), hampir setengahnya—atau sekitar 58—legislator perempuan terindikasi memiliki ikatan dinasti politik. Jumlah tersebut terus meningkat dalam dua periode DPR terakhir, yakni 33 orang (2014-2019) dan 53 (2019-2024).
Alih-alih secara substantif mewakilkan kepentingan perempuan, tren ini menunjukkan bahwa politik elektoral di Indonesia telah menjadi “pesta oligarki”.
Kepemimpinan perempuan di 13 komisi DPR juga memprihatinkan. Hanya empat komisi yang dipimpin oleh perempuan–Komisi IV, VI, IX dan X. Hal yang cukup disayangkan adalah bahwa Komisi VIII—yang mengurus isu pemberdayaan perempuan—tidak menempatkan satu pun perempuan di jajaran pimpinan komisi.
Berdasarkan pengalaman perjuangan UU TPKS di dua periode parlemen sebelumnya, tidak adanya kepemimpinan perempuan di Komisi VIII dapat semakin mempersulit reformasi hukum yang sensitif gender.
Entah akan seperti apa kebijakan tentang perempuan yang akan dikeluarkan ketika perempuan sendiri tidak menempati posisi strategis.
Ketimpangan anggaran
Minimnya kepemimpinan perempuan di kementerian/lembaga (K/L) dan di lembaga legislatif berpotensi meminggirkan perspektif perempuan dalam kebijakan serta program pembangunan, termasuk dalam penyusunan Anggaran Responsif Gender (ARG).
Pagu anggaran indikatif 2025 untuk dua lembaga penting kesetaran gender, yakni Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dan Komnas Perempuan, masing-masing hanya mendapatkan Rp300,65 miliar dan Rp30,95 miliar.
Nominal tersebut jauh di bawah pagu, misalnya, Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dan TNI yang mencapai Rp165,16 triliun.
Ketimpangan anggaran yang parah ini berdampak langsung terhadap keseriusan pemerintah dalam mewujudkan kesetaraan gender, termasuk dalam melaksanakan UU TPKS yang dibebankan kepada KemenPPPA, Komnas Perempuan, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Seksime figur publik
Isu seksisme oleh pejabat publik juga makin merebak sejak awal pemerintahan Prabowo.
Dalam perhelatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, sejumlah calon kepala daerah laki-laki pernah melontarkan penyataan-pernyataan seksis yang anti terhadap kepemimpinan perempuan dalam debat politik maupun media kampanye mereka. Beberapa calon-calon tersebut diusung oleh Partai Gerindra yang dipimpin Prabowo.
Misalnya, salah satu pasangan calon gubenur dan wakil gubernur Jakarta, Ridwan Kamil dan Suswono, melontarkan pernyataan seksis dan merendahkan kelompok perempuan janda saat melakukan kampanye politiknya.
Selain itu, ada Achmad Dimyati Natakusumah, calon wakil gubernur provinsi Banten diketahui sempat terjerat tuduhan kekerasan seksual dengan seorang anak perempuan saat dia menjabat sebagai Bupati Pandeglang.
Terpilihnya pemimpin daerah yang seksis, bahkan misoginis, berpotensi untuk memperburuk peta peraturan daerah yang mayoritas sudah diskriminatif gender.
Berdasarkan data Jakarta Feminist, masih ada setidaknya 177 perda diskriminatif yang menjadi catatan bagi pemerintah pusat.
Masih ada harapan
Sejumlah catatan di atas mencerminkan bahwa perjuangan kesetaraan gender akan melalui jalan yang terjal, namun bukan jalan buntu.
Menteri PPPA yang baru telah berkomitmen untuk mendorong pengajuan RUU Kesetaraan Gender yang sempat gagal dibahas satu dekade lalu dan mempercepat upaya penghapusan kebijakan daerah yang diskriminatif gender.
Menteri Agama yang baru, Profesor Nasaruddin Umar, dikenal sebagai pemikir Islam yang mendukung kesetaraan gender. Harapannya, ia bisa mengambil peran strategis dalam mempercepat penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam institusi pendidikan keagamaan.
Willy Aditya yang kini menjabat sebagai Ketua Komisi XIII—dulunya ia Ketua Panita Kerja UU TPKS—sudah menyampaikan komitmennya untuk mendorong pembahasan RUU PPRT dalam 100 hari pertama pemerintahan yang baru.
Di ranah politik lokal, provinsi Jawa Timur dengan populasi terbanyak kedua di Indonesia menghadirkan tiga pasangan calon gubernur yang ketiganya perempuan.
Kendati demikian, di luar arena politik praktis, gerakan feminis dan kesetaraan gender semakin genting untuk membangun solidaritas bersama dengan pejuang keadilan sosial yang lain.
Agenda politik Prabowo yang kental dengan ideologi “pembangunanisme” dan “militerisme” tidak hanya akan berdampak buruk pada ketidakadilan gender, tetapi juga kemunduran demokrasi, pelanggaran HAM dan kerusakan alam.
Dengan kata lain, perjuangan kesetaraan gender adalah perjuangan akar rumput yang interseksional. Hanya dengan membangun solidaritas kita bisa menapaki jalan terjal perjuangan kesetaraan gender dalam beberapa tahun ke depan.
Muhammad Ammar Hidayahtulloh, PhD Candidate, The University of Queensland
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.