ZONAUTARA.com – Wallace Conservation Likupang (WCL) menjadi salah satu terobosan dalam upaya konservasi di Minahasa Utara (Minut), yang menggabungkan pelestarian alam dengan pengembangan pariwisata berkelanjutan. Kolaborasi antara Yayasan Indonesia Biru dan PT Minahasa Permai Resort Development (MPRD), WCL mengedepankan konsep regenerative tourism yang tidak hanya berfokus pada minimisasi dampak negatif, tetapi juga restorasi ekosistem, budaya, dan pemberdayaan masyarakat lokal.
Sebagai bagian dari Destinasi Pariwisata Super Prioritas Likupang, WCL diharapkan menjadi pusat konservasi sekaligus model pariwisata regeneratif di masa depan. Untuk menggali lebih dalam, Tim Zonautara.com berbincang dengan Ageng Afief, Kepala Program WCL, yang menjelaskan filosofi di balik nama program ini.
“Wallace itu kan peneliti Inggris yang dulu datang ke sini, dia buat teori evolusi yang sebenarnya jadi dasar teori Darwin. Kalau terkait keanekaragaman hayati di Sulut, Wallace salah satu yang paling berpengaruh, apalagi di Tangkoko kan ada patungnya juga. Makanya, kami namai program dengan namanya,” jelas Ageng, Minggu (15/12/2024), saat ditemui di The Pulisan.
Saat ini, WCL mengelola sekitar 167,4 hektare dari total 600 hektare lahan yang dikelola PT MPRD. Dengan dukungan 15 staff dan relawan, program ini fokus pada pelestarian satwa seperti yaki, tarsius, berbagai jenis burung, dan fauna khas lainnya, meskipun sebagian besar bukan spesies berukuran besar.
“Satwa kita emang banyak, tapi jenis yang besar-besar nggak ada. Biasanya yaki, tarsius, burung, dan beberapa lainnya,” tambah Ageng.
Ageng menjelaskan bahwa prinsip utama WCL adalah memastikan konservasi dapat berjalan secara berkelanjutan, baik dari segi lingkungan maupun ekonomi.
“Kalau kita mau buat program konservasi, kita juga harus memastikan ada dana berkelanjutan untuk mendukungnya. Misalnya, para ranger harus bisa dibayar. Kalau hanya mengandalkan dana yang habis begitu saja, konservasinya pun akan berhenti,” ujarnya.
Untuk mewujudkan itu, WCL memadukan upaya pelestarian alam dengan pariwisata dan produksi berbasis budaya lokal secara berkelanjutan. Salah satu contohnya adalah pengembangan pertunjukan budaya di amphiteater yang dibangun oleh PT MPRD, melibatkan sanggar seni lokal serta mahasiswa dari Universitas Negeri Manado (Unima). Kegiatan ini juga menarik perhatian dari pejabat negara dan duta besar, termasuk perwakilan Polandia.
Kerja sama erat dengan pemerintah daerah menjadi kunci keberhasilan program ini. Seperti pada upaya penghijauan. Pemerintah menyediakan bibit untuk proyek reboisasi dan mendukung promosi program konservasi.
PT MPRD juga memprioritaskan tenaga kerja lokal, di mana 80-90% karyawan berasal dari desa-desa sekitar, seperti Kinunang dan Pulisan. Para pekerja ini bahkan dilatih di hotel milik perusahaan di Manado untuk meningkatkan kualitas layanan mereka.
“Kita juga banyak berkolaborasi dengan akademisi, seperti profesor dari Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), untuk penelitian dan pelatihan. Mahasiswa yang datang praktik di sini kita bantu dengan logistik, makan, dan tempat tinggal,” kata Ageng.
Selain itu, WCL mengawasi pembangunan di wilayah ini agar tidak merusak lingkungan. “Kalau ada pembangunan, kita pastikan ada kajian dampaknya terlebih dahulu. Kalau aman, kita lanjutkan. Kalau belum, kita cari solusi agar tetap ramah lingkungan,” jelasnya.
Meski memiliki potensi biodiversitas yang besar, WCL menghadapi kendala dalam hal eksposur dan pendanaan.
“Keanekaragaman hayati di sini belum terlalu dikenal baik secara domestik maupun internasional. Selain itu, anggaran untuk penelitian juga terbatas. Namun, kita terus berusaha mendukung mahasiswa dengan fasilitas yang kita miliki,” ungkap Ageng.
Ia juga menyampaikan pentingnya membangun jaringan dengan berbagai organisasi konservasi di Sulawesi Utara untuk menciptakan dampak yang lebih besar. Salah satu impiannya adalah menyatukan organisasi-organisasi ini dalam satu program besar.
“Salah satu impian saya tuh pengen ngumpulin semua lembaga konservasi di Sulut, supaya konservasi kita di Sulut lebih dikenal dan lebih baik. Jadi pengen mengerjakan suatu program yang lebih besar gitu,” harapnya.
Rencana kedepan
Kedepan, WCL berencana membangun area penelitian yang lebih besar serta dormitori untuk mahasiswa. Upaya ini diharapkan dapat menarik lebih banyak akademisi dan peneliti untuk mendalami potensi biodiversitas di wilayah ini.
Ageng menutup wawancara dengan menyatakan pentingnya regeneratif tourism sebagai tren masa depan.
“Regeneratif tourism adalah cara kita untuk melestarikan alam sembari menciptakan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal. Dengan pendekatan ini, kita berharap WCL dapat menjadi model konservasi berkelanjutan yang menginspirasi banyak pihak,” pungkasnya.
Dengan sinergi antara konservasi, budaya, dan ekonomi, Wallace Conservation Likupang ingin menunjukkan bagaimana pelestarian alam tidak hanya soal menjaga lingkungan, tetapi juga memberdayakan masyarakat untuk masa depan yang lebih baik.