ZONAUTARA.com – Perkembangan teknologi dalam olahraga terus melahirkan inovasi baru, salah satunya adalah “sepatu super” (super shoes) yang kini menjadi sorotan di dunia atletik. Dirancang untuk meningkatkan performa pelari, sepatu ini dibekali teknologi canggih seperti pelat karbon dan midsole responsif. Namun, keberadaannya memicu kontroversi terkait keadilan kompetisi, hingga muncul istilah “doping sepatu.”
Awal mula sepatu super
Sepatu super pertama kali diperkenalkan oleh Nike pada tahun 2016 dengan produk Zoom Vaporfly 4%. Sepatu ini mengintegrasikan pelat karbon dan midsole berbahan foam ringan bernama ZoomX, yang diklaim mampu mengembalikan energi pelari secara signifikan. Sepatu ini membantu mencatatkan rekor baru dalam maraton dunia, membuatnya menjadi favorit pelari elite dari berbagai negara.
Kritik terhadap sepatu super
Meski terbukti meningkatkan performa, sepatu super menuai kritik tajam. Para pengamat olahraga menyebut penggunaannya sebagai bentuk “doping mekanis” yang tidak adil dalam kompetisi.
Istilah “doping sepatu” pun muncul, merujuk pada keuntungan teknologis yang ditawarkan sepatu ini. Kritikus berpendapat bahwa inovasi semacam ini melampaui batas etika olahraga, mengaburkan esensi kemampuan fisik alami atlet.
Aturan ketat dari World Athletics
World Athletics (WA), badan pengatur internasional untuk olahraga atletik, merespons kontroversi ini dengan menetapkan aturan penggunaan sepatu super. Salah satu regulasi utama adalah ketebalan maksimal sol sepatu, yakni 20 mm untuk lomba jarak pendek dan lari gawang, serta hingga 40 mm untuk lomba jalan raya seperti maraton.
Aturan ini dirangkum dalam buku Rule C2.1A-Athletic Shoe Regulations, yang disetujui pada 22 Desember 2021. Ketentuan baru ini memberikan waktu tiga tahun bagi produsen sepatu untuk menyesuaikan produk mereka sebelum aturan mulai berlaku pada 1 November 2024. Hingga saat itu, pelari masih diizinkan menggunakan sepatu dengan ketebalan sol hingga 25 mm untuk beberapa kategori lomba.
Selain itu, WA melarang penggunaan teknologi penginderaan atau kecerdasan dalam sepatu, kecuali untuk perangkat yang memonitor detak jantung, jarak, atau kecepatan. Tujuannya adalah menjaga keadilan kompetisi sekaligus melindungi kesehatan atlet dari potensi cedera.
Alat pemeriksaan sepatu
Guna mempermudah pengawasan, WA meluncurkan aplikasi berbasis web di certcheck.worldathletics.org. Aplikasi ini memungkinkan pelari, pelatih, dan ofisial untuk memeriksa apakah sepatu tertentu memenuhi kriteria WA. Dengan informasi dari lebih 700 model sepatu, aplikasi ini memberikan kepastian apakah sepatu telah disetujui atau berada dalam daftar “terlarang.”
Dampak pada kompetisi lokal dan global
Pengawasan terhadap sepatu super juga diterapkan dalam berbagai ajang internasional dan lokal, termasuk Bank Jateng Borobudur Marathon 2024. Ajang ini menerapkan aturan ketat dengan diskualifikasi bagi pelari yang menggunakan sepatu di daftar hitam, seperti Adidas Adizero Prime X 2 yang memiliki ketebalan sol 45 mm.
Kontroversi yang terus berlanjut
Meskipun aturan telah ditetapkan, perdebatan mengenai “doping sepatu” belum mereda. Pendukung inovasi berargumen bahwa teknologi ini adalah bagian dari evolusi olahraga, sementara kritikus tetap mempertanyakan integritas kompetisi. Diskusi ini menjadi refleksi penting bagi masa depan olahraga, memastikan keseimbangan antara inovasi dan keadilan.
Dengan berkembangnya teknologi sepatu super, penting bagi semua pihak untuk memahami dan mematuhi aturan yang berlaku. Pelanggaran terhadap regulasi ini tidak hanya merugikan reputasi atlet, tetapi juga dapat berujung pada sanksi seperti diskualifikasi.