Mengenal tonic immobility sebuah mekanisme pertahanan diri

Peringatan pemicu: artikel yang membahas tonic immobility ini mengandung konten sensitif sehingga diharapkan kebijakan pembaca untuk mengonsumsi artikel ini.

Eliana Gloria
Penulis:
Editor: redaktur
Ilustrasi dari Pexels.com

ZONAUTARA.comTonic Immobility (TI) adalah respons pertahanan yang terjadi secara refleks ketika individu merasa terancam dan tidak dapat melarikan diri. TI ditandai dengan ketidakmampuan untuk bergerak atau berbicara meskipun individu sepenuhnya sadar. Respons ini biasanya terjadi dalam kondisi ketakutan ekstrem atau persepsi terjebak (Marx et al., 2008).

Pada manusia, TI sering diasosiasikan dengan pengalaman traumatis seperti kekerasan seksual, di mana individu merasa tidak berdaya untuk melawan atau melarikan diri​. Respons ini dapat diartikan sebagai keadaan di mana individu merasa tidak mampu bergerak, mirip dengan penguncian, yang dapat terjadi sebagai bentuk mekanisme pertahanan. Studi menunjukkan bahwa kondisi ini sering muncul ketika seseorang berada dalam situasi beresiko tinggi, seperti saat mengalami trauma.

Tonic Immobility
Hannah Baker mengalami Tonic Immobility dalam film 13 Reasons Why

Ciri-ciri mengalami tonic immobility

1. Ketidakmampuan untuk bergerak

  • Individu merasa lumpuh secara fisik, meskipun tidak ada hambatan fisik eksternal.
  • Tubuh menjadi kaku, dengan otot-otot yang menegang atau kehilangan kontrol.

2. Ketidakmampuan untuk berbicara

  • Kesulitan atau ketidakmampuan total untuk berbicara atau berteriak, meskipun ingin melakukannya.

3. Keadaan sadar

  • Meskipun tidak dapat bergerak atau berbicara, individu tetap sadar sepenuhnya terhadap situasi di sekitarnya.
  • Hal ini sering disertai dengan perasaan takut atau panik yang mendalam.

4. Penurunan respons fisik

  • Respon tubuh seperti refleks mungkin menjadi lambat atau tidak aktif.
  • Penurunan detak jantung dan penurunan laju pernapasan juga dapat terjadi.

5. Tremor atau getaran tubuh

  • Dalam beberapa kasus, tubuh individu mungkin mengalami getaran kecil atau tremor selama episode TI.

6. Analgesia (penurunan sensasi nyeri)

  • Individu mungkin mengalami penurunan kemampuan merasakan rasa sakit selama episode TI.

7. Perasaan terperangkap

  • TI sering kali dipicu oleh persepsi bahwa tidak ada jalan keluar atau situasi benar-benar tidak dapat dihindari.

8. Hubungan dengan trauma

  • TI sering dilaporkan oleh penyintas trauma, terutama kekerasan seksual, kekerasan fisik, atau ancaman langsung terhadap nyawa.

Dampak psikologis dari tonic immobility

Orang yang mengalami TI selama peristiwa traumatis cenderung memiliki gejala PTSD yang lebih berat, seperti kilas balik (flashbacks) dan intrusi emosional. TI dapat mengganggu pemrosesan informasi trauma, yang berkontribusi pada pembentukan ingatan trauma yang lebih vivid dan sensori.

Beberapa penelitian, seperti yang dipublikasikan dalam jurnal Trauma, Violence, & Abuse, menunjukkan bahwa keadaan ini dapat berkontribusi terhadap pengembangan gangguan stres pascatrauma (PTSD). Selain itu, individu yang mengalami tonic immobility sering kali mengalami perasaan ketidakberdayaan, kecemasan, dan depresi, yang dapat mempengaruhi kualitas hidup.

tonic imobility
Ilustrasi dari Pexels.com

Cara pemulihan dari tonic immobility

Pemulihan dari pengalaman tonic immobility memerlukan pendekatan yang holistik. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah melalui terapi perilaku kognitif atau Cognitive Behavioral Therapy (CBT), yang terbukti efektif dalam mengatasi efek trauma.

Selain itu, praktik mindfulness dan teknik relaksasi juga dapat membantu individu mengatasi dampak psikologisnya. Psikoterapis dapat memberikan dukungan yang diperlukan untuk pulih dari pengalaman tersebut dan mengembangkan strategi coping yang lebih sehat.

Tonic Immobility dalam perspektif psikologi dan hukum

Tonic immobility (TI) adalah respons otomatis tubuh yang sering muncul dalam situasi ancaman ekstrem, terutama pada korban kekerasan seksual. TI ditandai dengan ketidakmampuan untuk bergerak, berbicara, atau melawan, meskipun korban sepenuhnya sadar terhadap apa yang terjadi.

Dalam konteks psikologi, TI dianggap sebagai mekanisme biologis terakhir yang diaktifkan ketika opsi untuk melawan (fight) atau melarikan diri (flight) dianggap tidak mungkin. Meskipun istilah ini belum secara eksplisit diakui dalam regulasi hukum di Indonesia, prinsip-prinsip dalam sistem hukum, khususnya dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), dapat mengakomodasi pengalaman korban yang mengalami TI.

Perspektif psikologis tentang tonic immobility

Dalam dunia psikologi, TI dipahami sebagai respons adaptif tubuh untuk menghadapi situasi yang mengancam jiwa. Gallup (1974) menjelaskan bahwa TI, yang juga disebut “playing dead” dalam dunia hewan, merupakan reaksi defensif yang tidak disengaja untuk meningkatkan peluang bertahan hidup.

Pada manusia, TI sering terjadi dalam kasus kekerasan seksual, di mana korban merasa tidak memiliki kendali atas situasi. Respons ini ditandai oleh kelumpuhan fisik, ketidakmampuan untuk berbicara atau berteriak, dan terkadang penurunan sensitivitas terhadap rasa sakit (analgesia).

Studi oleh Marx et al. (2008) menunjukkan bahwa TI sering disalahartikan oleh masyarakat sebagai tanda kelemahan atau bahkan persetujuan, padahal sebenarnya ini adalah respons otomatis tubuh yang berada di luar kendali individu.

Dalam pengalaman korban kekerasan seksual, TI dapat memperburuk dampak psikologis jangka panjang, seperti gangguan stres pasca-trauma (post-traumatic stress disorder atau PTSD), karena korban merasa bersalah atau malu atas ketidakmampuan mereka untuk melawan.

trauma
Ilustrasi dari Pexels.com

Konteks hukum di Indonesia

Dari sudut pandang hukum, UU TPKS memberikan perlindungan bagi korban kekerasan seksual dengan mengakui hak mereka untuk memberikan keterangan secara bebas dari tekanan atau intimidasi. Pasal 24 UU TPKS menegaskan bahwa kesaksian korban adalah alat bukti yang sah.

Dalam kasus TI, korban yang mengalami kelumpuhan fisik atau ketidakmampuan untuk bereaksi selama peristiwa dapat menggunakan keterangan ini sebagai bagian dari bukti hukum. Pentingnya pemeriksaan psikologis, sebagaimana diatur dalam Pasal 25 UU TPKS, memungkinkan kondisi seperti TI untuk dijelaskan kepada pihak berwenang melalui laporan ahli.

Pasal 6 UU TPKS menekankan bahwa tindakan kekerasan seksual dilakukan tanpa persetujuan. TI, yang menyebabkan korban tidak dapat memberikan persetujuan secara verbal atau fisik, menjadi bukti kuat bahwa tindakan tersebut melanggar hukum. Dengan demikian, sistem hukum di Indonesia sebenarnya memiliki dasar yang cukup untuk mengakomodasi pengalaman korban yang mengalami TI, meskipun istilah ini belum secara spesifik disebutkan.

Pentingnya pemahaman oleh aparat penegak hukum

Namun, salah satu tantangan utama dalam mengintegrasikan konsep TI ke dalam proses hukum adalah kurangnya pemahaman aparat penegak hukum tentang respons trauma ini. Banyak aparat penegak hukum masih memiliki ekspektasi bahwa korban kekerasan seksual harus melawan atau menunjukkan reaksi yang jelas untuk membuktikan ketidaksetujuan mereka. Hal ini menciptakan stigma tambahan bagi korban yang mengalami TI, yang mungkin tidak dapat melawan atau bereaksi secara fisik.

Penelitian oleh Abrams et al. (2009) menegaskan bahwa korban dengan TI sering kali menghadapi keraguan terhadap kredibilitas kesaksian mereka. Oleh karena itu, diperlukan pelatihan khusus bagi aparat penegak hukum untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang trauma dan respons biologis seperti TI. Pelatihan ini juga penting untuk menghilangkan stereotip tentang bagaimana korban seharusnya bereaksi selama peristiwa kekerasan.

Peran psikologi dalam mendukung proses hukum

Lembaga penyedia layanan korban, seperti pusat krisis atau lembaga bantuan hukum, memiliki peran penting dalam menjembatani pemahaman antara korban, sistem hukum, dan aparat penegak hukum. Dukungan dari psikolog atau psikiater yang memahami TI dapat membantu menjelaskan bahwa respons ini bukan kelemahan, melainkan mekanisme biologis untuk bertahan hidup. Penjelasan ini dapat memperkuat kesaksian korban dan membantu aparat penegak hukum menilai kasus dengan lebih objektif.

Psikologi juga dapat berkontribusi pada pemulihan korban melalui pendekatan trauma-informasi yang membantu mereka memahami respons tubuh mereka. Dengan pemahaman ini, korban dapat mengurangi rasa malu atau bersalah yang sering kali menjadi hambatan dalam proses pemulihan.

Kesimpulan

Integrasi pemahaman tentang tonic immobility dalam sistem hukum Indonesia dapat memberikan keadilan yang lebih baik bagi korban kekerasan seksual. Meskipun istilah ini belum disebutkan secara eksplisit dalam UU TPKS, prinsip-prinsip perlindungan korban yang ada cukup inklusif untuk mengakomodasi pengalaman TI.

Dukungan ahli psikologi, pelatihan aparat penegak hukum, dan layanan korban yang berpusat pada trauma adalah langkah penting untuk memastikan bahwa pengalaman korban dihargai dan diproses secara adil. Dengan cara ini, hukum di Indonesia dapat lebih responsif terhadap kebutuhan dan kondisi psikologis korban kekerasan seksual.

Pelajari beberapa istilah dalam psikologi disini



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
Follow:
mì significant other would say : orang yang energik, pendengar yang baik, solutif, murah senyum. | Typically ENTJ, compassionate listeners, long-life learner.
Leave a Comment

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.