Oleh: S Sariffuddin, Universitas Diponegoro
Pesisir pantai utara Jawa (pantura), rumah bagi lebih dari 50 juta orang, merupakan salah satu kawasan yang mengalami dampak perubahan iklim. Mayoritas dari mereka menghuni rumah yang kurang layak, bahkan masuk kategori kumuh. Sehari-hari mereka menghadapi banjir rob, krisis air bersih, dan cuaca ekstrem akibat perubahan iklim.
Meski tak sedikit warga pantura yang berpindah—bahkan bedol desa, studi terbaru kami yang terbit di International Journal of Disaster Risk Reduction menunjukkan bahwa banjir di pesisir telah memicu geliat pasar perumahan baru yang terus berkembang di daerah rawan banjir.
Pasar ini terbentuk akibat penurunan sekitar 3% harga rumah di kawasan pantura, khususnya Pekalongan, Jawa Tengah. Tren ini mengundang masyarakat berpenghasilan rendah untuk membeli kemudian tinggal di daerah berisiko.
Geliat pasar rumah di tengah banjir
Analisis kami menemukan bahwa salah satu pasar properti baru berada di daerah rawan banjir terus bertumbuh sekitar 1,2% per tahun.
Dalam studi ini, kami menggunakan data penjualan 1.029 unit rumah selama 2015 – 2020 dan 1,9 juta data pajak rumah (SPPT) dalam rentang tahun 1993 – 2020 di Kota Pekalongan, Jawa Tengah.
Daerah ini—terletak di daerah pinggir utara Pekalongan—termasuk kawasan kumuh karena jarak antar rumah yang saling berhimpitan dan ukuran bangunan yang kecil serta cenderung seragam. Kawasan kumuh juga terlihat dari kapasitas listrik kebanyakan rumah di daerah tersebut, yakni sebesar 450 – 900 volt ampere (VA).
Perubahan kepemilikan rumah, berdasarkan analisis kami atas data bea atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan (BPHTB), ditandai oleh pergantian nama pemilik. Dari data itu, kami menyimpulkan bahwa rumah yang mereka tempati adalah rumah yang dijual oleh pemilik sebelumnya.
Adapun para penjual ini merupakan penduduk setempat yang telah tinggal lebih dari 30 tahun kemudian berpindah ke tempat yang lebih aman dari banjir. Kepergian mereka, sebagaimana kami temukan dalam penelitian berbeda, berhubungan dengan bencana pesisir.
Perpindahan ini kemudian menarik para pembeli—mayoritas merupakan pendatang yang sebelumnya tinggal di daerah pinggiran.
Studi kami lainnya mencatat bahwa Selama 2014 – 2017, harga rumah di daerah ini sempat naik hingga 12,4%. Namun, selama 2018 – 2020, harga properti di daerah rawan banjir terus menurun sebesar 2,4 – 3%.
Bertumbuh lebih cepat dari banjir
Kami mengelaborasi pemodelan genangan banjir pesisir yang sebelumnya dilakukan oleh lembaga kemanusiaan MercyCorps pada 2001. Analisis data kami perkuat dengan pemantauan daerah genangan air di pesisir dengan citra satelit Sentinel 1 yang kami olah menggunakan Google Earth Engine.
Selanjutnya, kami membandingkan perubahan luasan pasar rumah di daerah berisiko dengan perubahan luasan genangan banjir pesisir. Luasan pasar properti kami dapatkan melalui analisis klaster ruang. Sementara luasan banjir kami ukur berdasarkan zona genangan air permukaan menggunakan sistem informasi geografis (GIS).
Dari data 2015 – 2020 dan analisis spasial tersebut, kami melihat pertumbuhan pasar properti lebih cepat dibandingkan zona genangan air permukaan. Ini mengindikasikan bahwa pasar properti di daerah banjir yang dihuni oleh masyarakat berpenghasilan rendah telah meluas bahkan melebihi area genangan banjir yang cenderung tetap.
Karena keterbatasan ekonomi, pembeli rumah di kawasan ini tidak mampu merenovasi rumah dan memperbaiki lingkungan untuk beradaptasi dengan banjir dan penurunan muka tanah.
Alhasil, selain bertumbuh, pasar properti telah bertransformasi dari rumah layak huni menjadi rumah kumuh. Karena terus menerus dilanda banjir, kualitas lingkungan perumahan ini kian menurun.
Selain itu, pasar ini ikut berkontribusi terhadap peningkatan kerentanan pesisir karena terus bertumbuh di daerah berisiko terdampak banjir.
Rumah rawan bencana tapi menguntungkan
Temuan kami mengindikasikan adanya tindakan spekulasi yang dilakukan oleh masyarakat berpenghasilan rendah untuk membeli rumah di daerah rawan banjir tapi aman karena lokasi pilihan mereka jauh dari pantai.
Literatur global menjelaskan fenomena ini sebagai “disinvestasi” yang kemudian memengaruhi dinamika perubahan dan penurunan lingkungan perumahan.
Aksi masyarakat berpengasilan rendah untuk membeli rumah di daerah rawan tetapi aman ini merupakan akibat logis terhadap skema pasar terkait daya beli penduduk di permukiman tersebut. Di satu sisi, kebutuhuan akan hunian murah sangat tinggi, tapi di sisi lain mereka tak sanggup memberi hunian layak karena keterbatasan ekonomi.
Meskipun harus rutin menghadapi banjir, penghuni pemukiman ini juga tetap mendapatkan sejumlah manfaat turunan. Sebab, daerah pesisir merupakan lokasi berkumpulnya fasilitas perkotaan seperti sekolah, rumah sakit, dan pusat perbelanjaan yang mendukung pemenuhan kebutuhan warga.
Tak hanya di Indonesia, fenomena ini juga terjadi di Mumbai, India,. Di sana, masyarakat berupaya untuk menghuni rumah di kawasan kumuh yang rentan banjir di Mumbai—bahkan sampai memaksa penghuni aslinya untuk berpindah.
Upaya adaptasi bencana via pasar properti
Studi kami semakin memperkuat gagasan bahwa kebijakan penataan pasar properti dalam upaya adaptasi perubahan iklim sangatlah penting. Tak hanya di daerah pesisir, penataan pasar perumahan juga semestinya berlaku di dataran tinggi yang rawan bencana banjir bandang dan longsor.
Pada umumnya, keputusan membeli rumah setiap keluarga berdasarkan pada pertimbangan ekonomi. Mereka menginginkan mendapatkan manfaat sebesar-besarnya di balik keterbatasan finansial rumah tangga. Pemerintah dapat memanfaatkan pertimbangan untuk melibatkan para calon pembeli sebelum membuat keputusan.
Pemerintah bisa melihat gagasan yang disampaikan oleh Tatiana Filatova, akademisi dari University of Twente. Tatiana menyarankan pemerintah untuk menambahkan komponen adaptasi terhadap bencana, contohnya risiko biaya perawatan rumah terdampak banjir.
Strategi ini membuat masyarakat dapat melihat risiko biaya yang akan timbul dari perolehan rumah yang sekilas terlihat murah.
Dengan perubahan harga, para calon pembeli akan berpikir rasional untuk memutuskan apakah akan tinggal di daerah rawan bencana dengan adanya beban biaya tambahan akibat bencana di masa depan. Tentunya alokasi atas kebencanaan ini tidak bisa disepelekan jumlahnya.
Ini adalah sinyal agar para calon pembeli berpikir lebih rasional berdasarkan faktor-faktor ekonomi sebelum berinvestasi di lokasi berisiko.
Upaya menambahkan komponen harga dapat kita terapkan dengan berbagai cara. Salah satu contohnya adalah kewajiban membeli asuransi rumah bagi calon pembeli di zona rawan banjir.
Upaya lainnya bisa juga melalui pemberlakuan disinsentif, seperti pembatasan pembangunan infrastruktur yang berpotensi mengundang para calon pembeli.
Instrumen pasar itu bisa menjadi pelengkap aturan negara untuk mengendalikan perkembangan rumah di daerah rawan bencana. Sebab, aturan itu terkadang terkunci baik oleh administrasi, politik ataupun tumpang tindihnya kebijakan.
Sebaliknya, pemerintah bisa memberikan insentif pembangunan rumah di daerah aman. Dalam hal ini, program subsidi perumahan bisa menjadi opsi yang baik agar masyarakat berpenghasilan rendah bisa mengakses rumah murah di daerah aman.
Upaya mengatur pasar properti meningkatkan perencanaan tata ruang lebih luas dalam menyikapi perubahan iklim. Harapannya, pengaturan ini tak hanya menjadi instrumen mitigasi bencana, tetapi juga langkah adaptasi terhadap perubahan iklim yang efektif.
S Sariffuddin, Asisten professor, Universitas Diponegoro
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.