ZONAUTARA.com – Beberapa indikator makroekonomi pada awal tahun 2025 menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia tengah menghadapi tekanan, baik dari eksternal maupun domestik. Terjadinya deflasi, tertekannya nilai tukar rupiah, amblasnya pasar saham, serta anomali penerimaan APBN menjadi alarm bagi pemerintah untuk segera bertindak.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indeks Harga Konsumen (IHK) mengalami deflasi secara bulanan pada Januari dan Februari 2025. Deflasi tahunan juga terjadi pada Februari 2025 sebesar 0,09 persen. Terakhir kali deflasi tahunan terjadi adalah 25 tahun lalu, tepatnya pada Maret 2000.
Nilai tukar rupiah juga mengalami tekanan, dengan pergerakan di kisaran Rp 16.200-Rp 16.500 per dollar AS, bahkan sempat menyentuh level Rp 16.575 per dollar AS pada 28 Februari 2025. Terakhir kali rupiah terpukul hingga level Rp 16.500 per dollar AS adalah lima tahun silam.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga turut melemah hingga ke level 6.300 pada pengujung Februari 2025, terkoreksi 5 persen dibandingkan penutupan perdagangan pekan sebelumnya. Ini merupakan catatan terendah sejak tahun 2021.
Kementerian Keuangan melaporkan realisasi APBN 2025 hingga Februari 2025 mencatatkan defisit sebesar Rp 31,2 triliun atau 0,13 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Anomali ini disebabkan oleh anjloknya penerimaan pajak.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, berpendapat bahwa berbagai indikator ini mengindikasikan kondisi perekonomian yang memburuk. Kebijakan pemerintah saat ini dinilai tidak tepat dan berpotensi menimbulkan masalah baru, seperti isu pelemahan kelas menengah yang tidak tertangani dengan baik.
Beberapa kebijakan pemerintah yang menjadi perhatian publik antara lain maju mundur kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN), efisiensi anggaran, dan mencuatnya berbagai kasus korupsi. Situasi ini menimbulkan keraguan di kalangan masyarakat, pelaku usaha, dan investor, yang berpotensi membuat pertumbuhan ekonomi tahun ini lebih rendah dari perkiraan, di bawah 5 persen.
Senior Economist PT Samuel Sekuritas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, menambahkan bahwa deflasi yang terjadi mengindikasikan rendahnya tingkat permintaan atau melemahnya daya beli masyarakat. Pelemahan daya beli ini juga tercermin dari tingkat inflasi inti yang masih di bawah capaian sebelum pandemi Covid-19.
Pada Februari 2025, Morgan Stanley Capital International (MSCI) mengeluarkan rekomendasi underweight terhadap aset investasi di Indonesia, diikuti oleh Goldman Sachs Group Inc yang menurunkan peringkat aset investasi Indonesia karena meningkatnya risiko fiskal. Penurunan peringkat ini didorong oleh perkiraan defisit anggaran yang berpotensi mencapai 2,9 persen terhadap PDB, di atas target APBN 2025 sebesar 2,53 persen.
Sentimen defisit APBN dari investor asing dipengaruhi oleh persepsi efisiensi anggaran sebagai pemangkasan, bukan realokasi. Oleh karena itu, pemerintah perlu menjalin komunikasi yang baik dengan publik dan investor untuk menghindari gejolak di pasar.
Ekonom Bank Danamon Indonesia, Hosianna Evalita Situmorang, berpendapat bahwa peringkat investment grade Indonesia masih dipertahankan oleh Fitch dan Moody’s. Namun, defisit APBN pada awal tahun ini menjadi perhatian karena dapat memunculkan kekhawatiran investor terhadap kredibilitas fiskal Indonesia.

Masih optimis
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa perekonomian Indonesia masih memiliki daya tahan di tengah ketidakpastian global. Kinerja positif sektor manufaktur domestik diyakini menjaga ketahanan sektor eksternal. Neraca Pembayaran Indonesia pada akhir 2024 mencatatkan surplus 7,2 miliar dollar AS, tumbuh 15 persen. Neraca Perdagangan Indonesia pada Januari 2025 juga mencatatkan surplus sebesar 3,5 miliar dollar AS, tumbuh 75 persen secara tahunan.
Sri Mulyani mengklaim bahwa Indonesia termasuk salah satu negara yang mampu menjaga tingkat inflasi, bahkan mencatatkan deflasi per Februari 2025. Deflasi ini dipengaruhi oleh kebijakan seperti diskon listrik, tarif tol, dan harga tiket, bukan hanya karena penurunan permintaan.
Sri Mulyani memastikan bahwa defisit anggaran akan terjaga sesuai dengan APBN 2025, yakni 2,53 persen dari PDB. Pemerintah juga akan mewaspadai tren penurunan penerimaan tanpa menimbulkan gejolak.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI, Edi Susianto, menambahkan bahwa sentimen global belakangan cenderung kondusif bagi pergerakan nilai tukar negara berkembang. Namun, rupiah hanya terapresiasi tipis, dan pelaku pasar memerlukan kejelasan lebih lanjut, yang diharapkan dapat diperoleh dari konferensi pers APBN Kita oleh Menteri Keuangan.