Perjalanan Wallace di Tanah Minahasa

Indonesia, bagaimanapun telah menjadi buah bibir dalam setiap pembicaraan biogeografi, dan itu dimulai dari Wallace.

Kontributor
Penulis:
Editor: Ronny Adolof Buol
Patung Alfred Russel Wallace di Taman Wisata Alam Batuputih Tangkoko. (Foto: zonautara.com/Ronny Adolof Buol)
Oleh: Herman Teguh

Wallace, lengkapnya Alfred Russel Wallace, tiba di Manado tanggal 10 Juni 1859. Dia adalah pemburu spesimen binatang liar kelahiran Wales, Inggris, dan sebagaimana kunjungannya ke tempat-tempat yang lain di Indonesia, maksud kunjungannya ke Manado yaitu mencari spesimen hidupan liar. Waktu itu, dia baru berusia 36 tahun.

Di Manado, dia bertemu dengan beberapa kalangan atas Belanda; salah satunya L. Duyvenbode, anak seorang pedagang dan juga pengumpul spesimen binatang liar di Ternate. Setelah menghabiskan waktu seminggu untuk mencari informasi tentang daerah-daerah yang akan dikunjungi, dia meninggalkan Manado tanggal 22 Juni pagi untuk perjalanan ke pedalaman.

Tujuan pertamanya yaitu Tomohon; perjalanan dilakukan melalui Lotta, rute Manado-Tomohon waktu itu, Di Tomohon dia tinggal sekitar dua malam, kemudian ke Rurukan, negeri di ketinggian yang baru didirikan kira-kira 10 tahun sebelumnya. Di kampung yang menurut perkiraannya paling tinggi di Sulawesi ini, dia tinggal selama dua minggu, lalu ke Tondano, dan lanjut ke Kakas dengan menyeberangi danau Tondano.

Dari Kakas dia ke Langoan, tempat seorang pemburu yang akan menemaninya masuk hutan. Sayang, hujan yang terus-menerus turun mengganggu aktifitasnya. Setelah bertemu dengan Kontrolir Belang dan mendapat info tentang negeri Pangu, dia menuju Pangu dan tinggal di sana selama tiga minggu. Tapi hujan juga turun hampir setiap hari.

Perjalanan Wallace di Tanah Minahasa
Ruas jalan di Rurukan Satu, Tomohon yang diberi nama Wallace. (Foto: Google Map)

Kembali ke Manado, Wallace mengalami demam ringan. Namun begitu, dua minggu kemudian, setelah mengeringkan dan membereskan koleksi serta mencari pembantu yang baru, dia telah siap dengan perjalanan berikut. Kali ini tujuannya Lumpias, negeri di pinggir hutan yang luas di lereng gunung Klabat. Daerah ini katanya habitat dari binatang yang sangat khusus, yaitu Babirusa.


Tujuan utama Wallace ke Lumpias sebenarnya mencari Burung Maleo Senkawor. Dari pemburu-pemburu sewaan, dia telah mendapat sebuah spesimen, tapi ini rupanya tidak cukup, dan pencarian harus dilanjutkan.

Ternyata selama 10 hari berikutnya, Maleo dan binatang-binatang yang lain tidak ditemukan. Dia lalu memutuskan pindah. Kali ini ke Likupang, negeri di pinggir pantai, tempat dia bertemu dengan Goldmann, anak sulung dari gubernur Maluku yang sedang mengawasi pembangunan tempat pembuatan garam. Setelah mengetahui apa yang dicari Wallace, Goldmann mengajak Wallace untuk berburu di suatu tempat yang sepi dimana burung maleo katanya terdapat banyak sekali.

Waktu itu, di daerah itu sedang musim kering karena hujan tidak turun selama empat bulan, dan Wallace membuat rencana untuk tinggal selama seminggu di pantai. Barang-barangnya diangkut dengan perahu, sisanya lewat darat.

Tempat yang dimaksud Goldmann yaitu daerah Kelurahan Batuputih sekarang. Tempat itu rupanya bagus karena banyak spesimen telah didapat dari situ. Dari situ dia kembali ke Likupang, dan setelah beberapa hari kemudian, lanjut ke Manado, sambil barang-barangnya dikirim lewat laut. Pada tanggal 23 September 1859, dengan menumpang kapal uap pos, dia meninggalkan Manado untuk Ambon.

zonautara.com
Seniman patung Hendra Susanto berfoto di karya terbaru patungnya, sosok Alfred Russel Wallace di Taman Wisata Alam Batuputih, Tangkoko, Bitung. (Foto: zonautara.com/Ronny Adolof Buol)

Wallace tak diragukan lagi adalah pencerita ulung. Detil-detil kunjungannya diceritakan dengan apik. Soal Manado, dia bercerita tentang keteraturannya. Kota ini katanya seperti taman yang luas. Vila-vila berjejer, taman-taman tertata rapi, pohon buah dimana-mana, dan seterusnya. Singkat kata, ‘Kota Manado yang kecil merupakan kota tercantik di bagian timur kepulauan’.

Di air terjun Tonsea Lama (yang dikunjunginya dari Tondano), dia bercerita tentang mantan gubernur Maluku yang bunuh diri di situ dengan cara melompat, empat tahun sebelum kunjungannya, dan pendapat umum yang dia dengar mengatakan bahwa bunuh diri itu terjadi karena sang mantan gubernur dijangkiti penyakit kronis yang membuat dia tidak ingin hidup lagi.

Selain itu Wallace juga bercerita tentang seorang Perancis yang pada akhirnya meninggal setelah tergelincir di sebuah lokasi air panas yang dia kunjungi dari Langoan. Nama tempatnya tidak disebut, tapi pasti lah itu Lahendong, dan orang Perancis itu tentu Graaf Carlo Vidua di Conzano (lihat Graafland 1991:175; Molhuysen & Blok 1921:1019).

Seperti biasa, naluri pengamatnya juga membuat dia bercerita tentang hal-hal di luar binatang atau sejarah alam. Dia memuji orang Minahasa sebagai yang paling rajin, cinta damai, dan beradab di seluruh kepulauan. Dia berspekulasi tentang kekerabatan bahasa dan asal-usul mereka. Juga menyinggung beberapa kebijakan zending dan pemerintah Belanda terhadap mereka.

Peristiwa yang mungkin paling mengesankan dia adalah ‘tanah goyang’ alias gempa yang dia alami di Rurukan. Tanah goyang itu dimulai tanggal 29 Juni jam 8.15 malam, dan berlangung hampir tiap hari selama seminggu setelah itu. Dia menjadi khawatir dengan lokasi pondoknya yang dekat dengan bibir jurang, sehingga di malam pertama sebelum tidur, dia menyuruh pembantunya berjaga-jaga. Tapi kemudian dia menjadi terbiasa dan bahkan merasa geli dengan tingkah laku penduduk setiap ada guncangan.

Pengumpulan spesimen dilakukan dengan bantuan pemburu sewaan. Beberapa tapi tidak banyak, juga didapat dari penduduk di tempat yang dikunjunginya. Di Rurukan serta daerah tengah Minahasa, pengumpulan kurang berhasil. Dua pemburunya sakit. Seorang terpaksa ditinggal di Tondano karena demam dan diare, seorang lagi kena radang perut sewaktu di Langowan. Di daerah ini, koleksinya kebanyakan serangga.

Yang paling berhasil yaitu di Minahasa Utara dan Bitung sekarang. Dari penduduk Lumpias, dia memperoleh beberapa tengkorak babirusa yang cukup baik, dan juga anoa. Anoa katanya langka. Selanjutnya, dia melakukan perburuan besar-besaran dan sistematis. Dengan Goldmann dan mayor Likupang dia menuju daerah Batuputih sekarang dengan ditemani oleh selusin penduduk dan 20 ekor anjing. Sejak berangkat mereka sudah berburu. Hasilnya yaitu seekor anoa muda dan lima ekor babi hutan.

Di Batuputih, sementara dia menembaki burung-burung maleo, Goldmann dan sang Mayor pergi berburu babi hutan, babirusa, dan anoa. Hasilnya tidak dilaporkan, tapi untuk maleo, Wallace justru melaporkan telah memakan dagingnya, dan telur-telurnya. Katanya (daging dan telur-telur itu) “menjadi persediaan makanan yang memadai untuk kami”.

Ketika bercerita tentang adanya penduduk yang setiap tahun datang ke Batuputih untuk mengumpulkan telur maleo, dan mereka datang dari tempat yang berjarak 50 mil, dia malah berpromosi, “….memang rasanya sedap bila disajikan dalam kondisi segar. Telur maleo lebih bergizi dari pada telur ayam dan rasanya lebih enak, sedangkan setiap butirnya dapat memenuhi satu cangkir teh biasa, dan sangat enak dimakan dengan roti atau nasi”.

Apapun yang dia lakukan, dari Batuputih dia telah mengumpulkan 26 spesimen maleo dalam keadaan bagus. Angka ini mengesankan karena dewasa ini, menyaksikan 26 ekor maleo di suatu tempat bertelur dalam seminggu, rasanya mustahil. Angka 26 itu mengisyaratkan besarnya tempat bertelur Batuputih. Sayang, hanya butuh sekitar 150 tahun untuk tempat itu lenyap tanpa bekas.

Hal yang sama juga terjadi pada anoa dan babirusa; butuh waktu kira-kira sama dengan itu untuk mereka lenyap dari Likupang, dari Batuputih, dan dari seluruh Minahasa.

Kenapa Wallace harus mengumpul begitu banyak spesimen untuk satu jenis? Jawaban ada di bagian pendahuluan bukunya, The Malay Archipelago, “…tujuan utama semua perjalanan saya adalah mendapatkan spesimen sejarah alam, baik untuk koleksi pribadi maupun untuk memasok duplikat ke museum-museum dan para amatir…”

Perjalanan Wallace di Tanah Minahasa
Publisher: Macmillan

Jadi kata kuncinya adalah memasok duplikat ke museum-museum dan para amatir. Wallace dalam hal ini berdagang spesimen. Dia menggunakan Samuel Stevens sebagai agen untuk menjual spesimen-spesimen yang dikumpul dalam perjalanannya, dan Stevens mematok komisi sebesar 20% untuk setiap penjualan. Ini belum termasuk komisi-komisi yang lain.

Sulit memang menghitung berapa pendapatan Wallace dari menjual spesimen. Tapi dari beberapa catatannya, kita dapat memperoleh gambaran. Dia telah menerima lebih dari 1.000 pound dari koleksi yang dibuat di Aru; 143 pound untuk 6 konsinyasi serangga dari Kalimantan antara November 1854 dan Januari 1855; 150 pound untuk lima kulit, lima tengkorak, dan dua kerangka Orang Utan tahun 1855; dan 96 pound dari BMNH untuk 3 kulit dan rangka Orang Utan dari konsinyasi yang sama.

Informasi di atas tentu bisa mengurangi respek orang terhadap Wallace. Tapi itu boleh dikata gaya para naturalis abad 19, ketika gagasan kepunahan makhluk hidup bahkan masih belum berbayang. Kalau saja kita bisa menerima, bahwa uang dari hasil penjualan spesimen telah dipakai Wallace untuk berkeliling Indonesia dan mengamati berbagai fenomena alam, merenungkan kemudian membagikan teori dan pembelajaran hebat hasil perenungan itu, kita juga bisa memaafkan dia. Indonesia, bagaimanapun telah menjadi buah bibir dalam setiap pembicaraan biogeografi, dan itu dimulai dari dia.

1 Comment

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com