Merunut Perang Dagang Amerika Serikat

Kebijakan dagang terus menjadi isu yang diperdebatkan sepanjang sejarah.

Ronny Adolof Buol
Editor: Redaktur
Ilustrasi Chin Soo Park

ZONAUTARA.com – Pada era modern, banyak ahli ekonomi yang berpendapat bahwa mengurangi hambatan dalam perdagangan internasional seperti tarif atau larangan ekspor, bisa menguntungkan semua pihak. Namun, pemerintah pusat sering kali menghadapi pilihan politik antara meningkatkan perdagangan dan melindungi industri dalam negeri.

Ketika konflik seperti itu muncul, kebijakan yang diberlakukan oleh satu negara bisa dibalas oleh mitra dagang dengan kebijakan mereka, yang menciptakan eskalasi yang dikenal sebagai perang dagang.

Selama Perang Dingin dan setelahnya, Amerika Serikat sering dianggap sebagai pendukung perdagangan bebas dan memimpin upaya pendirian Organisasi Pedagangan Dunia (WTO) pada 1995. Tapi seperti negara-negara lain, AS kadang terlibat perang dagang, baru-baru ini dan seperti yang tercatat dalam sejarah.

Undang-undang Tarif Smoot-Hawley (1930)
(Chin Soo Park/VOA News)

Undang-undang Tarif Smoot-Hawley (1930)

Pada awal abad ke-20, AS mencatat kemajuan ekonomi besar. Tapi ketika Depresi Besar mulai pada 1929, Kongres AS yang didominasi Partai Republik mencoba untuk membantu petani Amerika yang terkena dampak dengan menerapkan tarif pada barang impor untuk melindungi mereka dari kompetisi asing.

Para ahli ekonomi dan pemimpin bisnis menentang gagasan tersebut, merujuk pada data bahwa AS telah mengalami surplus dagang, dan telah mengekspor lebih banyak daripada mengimpor. Tapi, Presiden Herbert Hoover mengesahkan UU pada 1930 yang mengenakan pajak pada hampir 2.000 kategori impor dengan tarif lebih dari 50% – termasuk yang tertinggi dalam sejarah Amerika.



Pengesahan UU tersebut menuai protes dari mitra dagang terbesar Amerika, dan 10 di antaranya memberlakukan tindakan balasan. Prancis mengenakan biaya tinggi pada mobil yang diproduksi Amerika dan Kanada meningkatkan tarif pada banyak barang impor Amerika dan justru mengurangi tarif pada barang-barang impor dari Inggris. Negara-negara seperti Italia dan Swiss juga menyerukan boikot terhadap seluruh produk-produk Amerika.

Akibat tindakan balasan dan juga dampak Depresi Besar yang terus berlangsung, selama beberapa tahun ekspor AS menurun hingga 66%.

Tarif tersebut akhirnya dicabut pada 1934 oleh Presiden Franklin D. Roosevelt, yang menggantikannya dengan perjanjian bilateral yang dinegosiasikan langsung dengan negara masing-masing. UU Tarif Smoot-Hawley sejak saat itu disebut sebagai contoh kebijakan dagang yang merugikan.

Merunut Perang Dagang Amerika Serikat
(Chin Soo Park/VOA News)

Konflik semikonduktor dan manufaktur AS-Jepang (1980-an)

Setelah mengalahkan Jepang pada Perang Dunia II, Amerika Serikat menjamin pertahanan Jepang sambil mendorong pembangunan industri dan ekonomi negara tersebut sebagai penyeimbang penyebaran komunisme di Asia.

Tapi strategi itu terlalu berhasil. Dibantu oleh kebijakan ekonomi proteksionis dan nilai tukar dolar AS yang menguntungkan, Jepang menjadi pusat ekspor manufaktur kelas tinggi seperti mobil dan elektronik. Pada pertengahan 1980-an, ketimpangan dagang AS dengan Jepang senilai lebih dari $40 miliar, atau hampir sepertiga dari total defisit perdagangan, dan menimbulkan kekhawatiran atas dominasi ekonomi Jepang.

Beberapa pendekatan diplomasi dilakukan untuk mengatasi defisit perdagangan tersebut. Karena Jepang mengandalkan AS untuk pertahanannya, Jepang setuju untuk menetapkan kuota sukarela terhadap mobil dan ekspor bajanya meskipun AS menerapkan tarif pada semikonduktor Jepang.

Sementara itu, Perjanjian Plaza multilateral ditandatangani pada 1985 di Plaza Hotel di Kota New York untuk meningkatkan ekspor AS dengan membiarkan nilai dolar terdepresiasi terhadap mata uang lainnya.

Meskipun begitu, defisit perdagangan dengan Jepang tetap tinggi sepanjang tahun 1980-an. Pada akhirnya, defisit tersebut bisa diatasi oleh faktor ekonomi yang lebih luas dan bukan melalui kebijakan dagang, karena gelembung aset Jepang pada tahun 1990-an mengakibatkan stagnasi ekonomi selama lebih dari satu dekade.

Merunut Perang Dagang Amerika Serikat
(Chin Soo Park/VOA News)

Perang Pisang (1993-2009)

Pada abad ke-20, pasar pisang global didominasi oleh perusahaan yang berafiliasi dengan AS di Amerika Tengah dan Selatan. Tapi, UE menetapkan kuota yang menguntungkan terhadap pisang yang diimpor dari bekas koloninya di Karibia.

Hal ini memicu protes dari lima negara Amerika Latin dan Amerika pada 1993, dan WTO meluluskan tuntutan mereka empat tahun kemudian. Meskipun UE mengubah peraturannya, tindakan tersebut dianggap tidak memecahkan masalah utamanya.

Sebagai balasannya, AS menerapkan sanksi dagang terhadap produk-produk Eropa yang senilai hampir $200 juta.

Sengketa tersebut terus berlangsung hingga dekade berikutnya dan akhirnya baru teratasi pada 2009. UE setuju untuk mengurangi tarif pada impor pisang Amerika Latin, sementara negara-negara Karibia tetap tidak dikenakan tarif di pasar UE dan mereka juga menerima pembayaran satu kali dari UE untuk mengimbangi biaya akibat meningkatnya persaingan.

Merunut Perang Dagang Amerika Serikat
(Chin Soo Park/VOA News)

Tarif baja AS-UE (2002-2003)

Produksi baja Amerika, yang dulunya berkontribusi terhadap lebih dari separuh produksi global, mengalami kesulitan sejak 1980-an, dan menurun hingga kurang dari 10% pada awal 2000-an. Untuk menanggapi lobi industri, pemerintahan George W. Bush pada 2002 menerapkan tarif “pengamanan” pada baja impor hingga 30%.

Langkah tersebut memicu keluhan dari mitra dagang AS seperti Korea Selatan, Rusia dan Uni Eropa, yang langsung mengajukan proposal untuk tarif balasan terhadap ayam, tekstil dan maskapai Amerika.

Selain itu, tarif tersebut menaikkan harga bagi industri Amerika yang membeli baja sebagai bahan baku, yang menyebabkan hilangnya hampir 200.000 lapangan pekerjaan di sektor konsumen baja — lebih banyak dari total pekerjaan di industri baja AS. Pada 2003, WTO menentang tarif tersebut, dan akhirnya dicabut tak lama kemudian.

Merunut Perang Dagang Amerika Serikat
(Chin Soo Park/VOA News)

Perang dagang AS-China (2018-sekarang)

Setelah China membuka diri terhadap pasar bebas dan memasuki WTO pada 2001, China menjadi raksasa manufaktur dan ekspor, dan berhasil membukukan surplus perdagangan dengan Amerika Serikat.

Hal ini telah lama menjadi kekhawatiran politisi AS seperti Presiden Donald Trump, yang menuduh China mengambil keuntungan dari kebijakan perdagangan bebas Amerika, mencuri kekayaan intelektual dan menyebabkan hilangnya lapangan pekerjaan di sektor manufaktur AS.

Pada pemerintahan periode pertamanya, yang dimulai pada 2017, Trump menerapkan tarif luas terhadap barang-barang China, termasuk barang-barang elektronik konsumen, alat medis dan suku cadang mekanis. China membalas dengan tarif yang menargetkan industri AS, seperti mobil dan agrikultur, yang terutama berdampak pada industri kedelai Amerika.

Ketegangan mereda di akhir pemerintahan periode pertama Trump karena China setuju untuk memperlonggar aturan kepemilikan bagi perusahaan yang menerima investasi asing dan pemerintahan Trump membatalkan tarif tambahan yang sudah direncanakan sebelumnya. Tapi pemerintahan Biden setelah Trump tidak mencabut tarif awal yang dikenakan Trump dan menerapkan larangan perdagangan tambahan, seperti pembatasan ekspor dan larangan investasi.

Merunut Perang Dagang Amerika Serikat
(Chin Soo Park/VOA News)

Sekarang

Pada April 2025, AS di bawah kepemimpinan Donald Trump memberlakukan kebijakan tarif baru yang mencakup:

  • Tarif dasar 10% untuk hampir semua impor dari berbagai negara, termasuk Indonesia, Australia, dan Inggris, efektif sejak 5 April 2025.
  • Tarif timbal balik (reciprocal tariffs) yang lebih tinggi, seperti 34% untuk China (total 54% dengan tarif eksisting) dan 32% untuk Indonesia, berlaku mulai 9 April 2025.
  • Tarif khusus sektor, seperti 25% untuk mobil impor dan 20% untuk baja/aluminium.

Penerapan tarif ini telah mendapat respons dari berbagai negar, seperti China yang membalas dengan tarif 34% pada produk AS, larangan operasi 11 perusahaan AS, dan pembatasan ekspor mineral tanah jarang. Uni Eropa mengenakan tarif balasan senilai $28 miliar pada produk AS, termasuk wiski dan sepeda motor, sementara Indonesia merespons dengan strategi diversifikasi pasar (BRICS, OECD), hilirisasi SDA, dan penguatan konsumsi domestik melalui program seperti Makan Bergizi Gratis.

Meski negosiasi sedang berlangsung namun penerapan tarif AS ini akan berdampak. Setidaknya eskalasi proteksionisme diprediksi memperlambat pertumbuhan ekonomi global, dengan tarif AS rata-rata naik ke 10%—tertinggi sejak Perang Dunia II.

Indonesia juga berisiko mengalami penurunan ekspor ke AS, terutama tekstil, elektronik, minyak sawit dan tekanan pada nilai tukar rupiah yang berpotensi turun hingga Rp17.000/USD.

Ketika konsensus perdagangan bebas internasional buyar, kebijakan perdagangan menjadi alat untuk mencapai tujuan politik yang lebih luas.

Disarikan dari VOA Indonesia

Bekerja sebagai jurnalis lebih dari 20 tahun terakhir. Sebelum mendirikan Zonautara.com bekerja selama 8 tahun di Kompas.com. Selain menjadi jurnalis juga menjadi trainer untuk digital security, literasi digital, cek fakta dan trainer jurnalistik.
Leave a Comment

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com