ZONAUTARA.com – Aliansi Pondol Keraton Bersatu mengeluarkan pernyataan sikap meminta agar dihentikannya upaya pembongkaran dan penggusuran bangunan yang digunakan sebagai posko mereka, oleh Pengadilan Negeri Manado.
Pernyataan sikap ini dikeluarkan tertanggal 8 Mei 2025 dan diterima redaksi Zonautara.com pada Sabtu (10/5/2025). Dalam pernyataannya, mereka juga menuntut untuk membayar kerugian materil dan imateril atas penggusuran yang dilakukan Pengadilan Negeri Manado.
“Hentikan segala aktivitas yang dilakukan Penggugat di objek sengketa. Hentikan intimidasi terhadap warga dan Aliansi Pondol Keraton Bersatu yang dilakukan oleh Kepolisian,” demikian tuntutan Aliansi Pondol Keraton Bersatu.
Bagaimana kronologis terjadinya konflik lahan di Pondol Keraton?
Dalam keterangannya, konflik lahan di Pondol Keraton bermula pada 4 September 1984, saat itu Teng Ke Tjiang alias Agus Nangoi menggugat warga ke Pengadilan Negeri Manado dengan perkara No.216/Perd/1984/PN.MDO.
Warga terkejut saat mengetahui adanya gugatan tersebut, hingga akhirnya warga bahu-membahu untuk melakukan perlawanan. Warga berhasil mendapatkan Surat Keterangan Bantahan 1 Februari 1985 dari R.A.
Soendriani Soerjosutomo (anak dari R.M Soerjosutomo dan B.R.A Siti Basalamah) menegaskan dia tidak pernah memberikan kuasa kepada siapapun untuk jual beli tanah EV (Eigendom Verponding) 64 dan tidak pernah pula menandatangani surat apapun yang berhubungan jual beli tanah tersebut.
“Hingga akhirnya Teng Ke Tjiang mencabut gugatannya.”
Ternyata permasalahan lahan di Pondol Keraton belum juga usai, anak Teng Ke Tjiang, Henny Angelino Nangoi dengan berbekal SHM No. 1 Wenang tanggal 13 Oktober 1962 dengan luas tanah sekitar 2.376 m², bekas Eigendom Verponding (EV) No. 64 tanggal pendaftaran 13 Oktober 1962 atas nama Teng Ke Tjiang menggugat warga di Pengadilan Negeri Manado dengan perkara No.144/Pdt.G/2007/PN.Mdo.
Kemudian berlanjut di Pengadilan Tinggi Manado dengan perkara No.121/PDT/2008/PT.MDO, Kasasi dengan perkara No.3069/K/PDT/2009, dan Peninjauan Kembali perkara No.412 PK/Pdt/2012. Henny A. Nangoi memenangkan dari setiap tahap peradilan, sampai akhirnya berhasil mengeksekusi 17 rumah warga.
“Memang untuk sementara ini Penggugat memenangkan perkara tersebut, tapi berbagai kejanggalan selama proses hukum telah kami catat. Dan yang jelas setidaknya ada tiga nama warga Pondol Keraton, yaitu Soetedjo Soepredjo, Sutrisni Ramlah Rostiowaty dan Jusuf Akume yang digusur secara brutal oleh Pengadilan Negeri Manado. Ketiga nama tersebut tidak masuk pada subjek perkara dan tidak pula masuk pada daftar nama saat eksekusi yang dilakukan PN Manado tanggal 23 April 2025.”
Selain itu saat melakukan eksekusi tidak sesuai dengan gambar atau denah yang ada di surat ukur sebagaimana dalam gugatan Henny A. Nangoi.
Tak sampai di situ saja, mereka menilai, perbuatan yang dilakukan Pengadilan Negeri Manado adalah
saat petugas eskavator merobohkan sebuah rumah yang di dalamnya masih ada Yusuf Akume dan Ety Manopo.
Suami istri tersebut sangat terkejut dan ketakutan ketika bucket eskavator menghancurkan dapurnya. Mereka sama sekali tidak tahu, karena nama mereka tidak tercantum dalam daftar eksekusi.
Disebutkan juga, apa yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Manado telah mengangkangi Pasal
28 G ayat (1) UUD 1945 “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”
Kemudian dipertegas pula pada Pasal 29 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga kehormatan, martabat, dan hak miliknya.” dan pada Pasal 40 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.”
Selain itu berdasarkan Pasal 26 UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik “Semua orang berkedudukan sama di depan hukum dan berhak tanpa diskriminasi apapun, atas perlindungan hukum yang sama. Dalam hal ini hukum harus melarang diskriminasi apapun, dan menjamin perlindungan hukum yang sama dan efektif bagi semua orang terhadap diskriminasi atas dasar apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau
pendapat lain, asa usul kebangsaan atau sosial, harta benda status kelahiran atau status
lainnya.”
Maka dalam hal ini berdasarkan Pasal 71 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia “Pemerintah wajib dan bertanggungjawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undang undang ini, peraturan perundang undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh Negara Republik Indonesia.”
Dampak penggusuran mengakibatkan warga menderita, trauma, sedih, dan terlunta-lunta karena tidak punya tempat tinggal lagi. Warga pun berinisiatif untuk mendirikan Posko sebagai ajang silaturahmi korban penggusuran, selain itu Posko digunakan untuk tempat tinggal sementara yang saat ini warga belum punya rumah untuk berteduh.
Warga telah mengalami kerugian materil dan imateril, sehingga perlunya dukungan, empati, kepastian hukum, dan keadilan. Bukan malah sebaliknya warga mendapatkan intimidasi oleh Pihak Kepolisian dengan mendatangi Posko dan mendesak warga untuk membongkarnya.
Sejarah Kampung Pondol Keraton
Menurut Roger Allan Christian Kembuan (2020), Kampung Pondol Keraton awalnya merupakan tempat istirahat sementara yang diberikan Kolonial Belanda kepada Pangeran Diponegoro ketika diasingkan di Manado pada 1830-1839.
Di lokasi tersebut terdapat sebuah rumah kecil dan langgar. Setelah Pangeran Diponegoro dibawa ke Makasar, lokasi tersebut kemudian menjadi lokasi bagi beberapa bangsawan Jawa yang diasingkan, seperti Tumenggung Joyokusumo alias Montaram.
Pada saat itu pula terjadi konflik internal di Kesultanan Yogyakarta, Kolonial Belanda membuang istri kedua Sultan Hamengku Buwono V, GKR Sekar Kedaton beserta anaknya bernama GRM Timur Muhammad ke Manado.
Mereka tinggal di Kampung Pondol bersama keluarganya, abdi dalem, dan para pengikut lainnya. Di tempat itu mereka diberikan rumah tinggal oleh Residen dan diberikan uang bulanan sebesar 150 gulden dari kas Keraton Yogyakarta.
Pada 12 Januari 1901 GRM Timur Muhammad meninggal dan GKR Sekar Kedaton sendiri meninggal pada 25 Mei 1918 di Manado.
Setelah itu dua istri GRM Timur Muhammad, R.A. Ratnaningsih dan R.A. Dyah Dayaningsih beserta anak anaknya melanjutkan hidup di Pondol Keraton. Kemudian pada 3 Januari 1934, salah satu anak almarhum GRM Timur Muhammad, yakni RM Abdul Razak memperjuangkan keluarganya untuk kembali ke Jawa. Pada saat itu R.M Abdul Razak pulang ke Jawa bersama istrinya, anaknya, dan empat adik perempuannya (R.A Zaenab, R.A Maemunah, R.A Khatijah, dan R.A Salamah).
Sehingga tanah di Kampung Pondol Keraton diamanahkan kepada para keturunan abdi dalem untuk dijaga secara turun-temurun dan tidak boleh diperjualbelikan. Sementara dokumen kepemilikan tanah EV 64 disimpan oleh keturuan RM Abdul Razak yang berada di Jawa.
***