ZONAUTARA.com – Sebulan sebelum petualangan ini dimulai, sebuah tautan pelatihan dari Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) muncul di grup WhatsApp kru Zonautara.
Judulnya cukup mencuri perhatian: Pelatihan Keamanan Holistik di Ambon, Maluku, 19–24 Mei 2025.
Bang Ronny, pemimpin redaksi kami, membagikannya ke grup.
Entah kenapa, sore itu saya iseng mengisi formulir pendaftaran. Tanpa harapan tinggi, hanya sekadar mencoba peruntungan. Sebagai jurnalis muda, saya tahu kompetisinya pasti ketat.
Lalu, pada Selasa, 13 Mei 2025, ponsel saya berdering. Vico dari PPMN menghubungi untuk melakukan wawancara.
Saya menjawab pertanyaan demi pertanyaan dengan lantang, menyingkirkan rasa gugup sejauh mungkin. Keesokan harinya, 14 Mei, ia kembali menelepon. Tapi kali ini dengan kabar bahagia: saya terpilih sebagai salah satu peserta pelatihan.
Seperti disambar petir di siang bolong. Maluku! Tidak pernah saya bayangkan bisa menginjakkan kaki di sana. Lebih-lebih, ini akan menjadi kali pertama saya menaiki pesawat.
Campur aduk: takut, ragu, bahagia, semua berkecamuk. Saya langsung membagikan kabar itu ke grup redaksi.
Ucapan selamat mengalir dari pemred, editor, hingga rekan-rekan jurnalis.
Empat hari menjelang keberangkatan, saya mulai mempersiapkan mental, dibimbing oleh Bang Ronny, dan tentu saja memohon restu dari orangtua.
Ayah, dengan suara berat tapi tulus, berkata, “Jadi anak yang baik. Semoga segala cita-cita dan tujuanmu tercapai.”
Di balik doa itu, saya tahu beliau masih belum sepenuhnya pulih dari sakitnya. Ada kegundahan yang saya sembunyikan di balik semangat berangkat.
Sabtu pagi, 17 Mei 2025. Pukul 04.30 dini hari. Diiringi doa Ayah dan Ibu, saya berangkat menuju Manado bersama Bang Ronny.
Sepeda motor Vario kuningnya menembus hujan deras dari Kotamobagu.
Belum jauh dari rumah, tepatnya di jalan AKD Mongkonai, kami menemui longsor yang menghadang jalan. Petugas dari BPBD Kotamobagu sedang mengevakuasi. Setelah menyapa sebentar, kami melanjutkan perjalanan dengan penuh hati-hati.
Sepanjang jalan, hujan tak kunjung reda. Saat melintasi Amurang yang gelap gulita, kami sempat berhenti di sebuah Alfamart untuk membeli roti pengganjal perut.
Saat malam mencapai puncaknya, sekitar pukul 9 malam, kami tiba di Manado. Di kawasan Malalayang, kami mampir untuk makan malam.
Satu piring habis tandas, perut kenyang, hati mulai tenang. Di meja itu, Bang Ronny mulai menjelaskan rute dan agenda perjalanan saya ke Maluku.
Esoknya, Minggu, 18 Mei 2025, sehari sebelum terbang, saya menyempatkan diri mengunjungi Rumah Kopi Tikala—sebuah kedai legendaris yang berdiri sejak 1940.
Bersama Bang Ronny dan Bang Bios Lariwu, kami menyeruput kopi di tengah suasana klasik yang membuat saya serasa melompat ke era 90-an. Aroma roti bakar memenuhi udara.
Santi Darise, pengelola generasi ke-4 Rumah Kopi Tikala, menyambut kami dengan ramah. “Kedai kopi ini sejak zaman Belanda,” ujarnya.
Saya bisa merasakan cinta dan dedikasi keluarganya terhadap warisan ini.
Menu yang ditawarkan sangat sederhana namun penuh cita rasa: kopi hitam, kopi susu, dan roti bakar.
Namun rasanya? Menggugah! Sebagai penikmat kopi pinggiran, pengalaman ini sungguh mengesankan. Tak berlebihan jika saya menyebut Rumah Kopi Tikala sebagai destinasi wajib jika berkunjung ke Manado.
Malam harinya, pukul 20.00, saya ditemani dua bocah kecil—Yegar Sahaduta dan Sajidin Kandoli—juga Bang Ronny, menyusuri kawasan pertokoan Megamas untuk mencari perlengkapan perjalanan.
Saat langit mulai gelap dan rintik hujan turun, kami bergegas kembali.
Penerbangan saya dijadwalkan pukul 05.00 WITA dari Bandara Sam Ratulangi. Semesta sudah menyiapkan segalanya. Maluku menanti di ufuk timur.
Bersambung ke BAGIAN 2