Catatan perjalanan Deyna ke Ambon #2: Ekstremnya pengalaman ‘terbang’ perdana

Tri Deyna Cahyani
Editor: David Sumilat
Saya bersama Kak Novi saat menikmati penerbangan dari Manado ke Maluku. (Foto; Trideyna/Zonautara.com)

ZONAUTARA.com – Tepat pukul 23.41 WITA malam, Minggu (18/05/2025) kemarin, larut aku dalam perasaan tak karuan. Degup jantung serasa terdengar sampai ke telinga, tak sedikit perasaan takut menyelimuti diri.

Sembari mempersiapkan barang bawaan menuju Bandara Sam Ratulangi Manado dini hari esoknya, juga mencoba menenangkan diri.

Hal wajar, karena ini pertama kalinya ‘terbang’ dengan pesawat, dengan tujuan ke Maluku meski Provinsi Sulawesi Utara berada di Indonesia bagian timur.

Iya, kali ini saya diberikan kesempatan menginjakkan kaki ke Maluku, sebuah provinsi yang ada di Indonesia bagian timur, yang dikenal sebagai ‘Kepulauan Rempah’.

Suhu pendingin ruangan yang dingin tidak bisa mengurangi keringat yang terus mengucur di tubuh ini. Diri ini merasa gugup karena tak pernah mengalami hal ini sebelumnya.



Sembari membulatkan tekad dan melantunkan beberapa ayat Alquran, zikir, dan berdoa dalam hati untuk menenangkan diri.

Pukul 03.40 WITA, Senin (19/05/2025) dini hari, ditemani Bang Ronny ke Bandara Sam Ratulangi Manado, saya mencoba melangkahkan kaki ini sembari melafazkan basmalah.

“Bismillah”, gumamku dalam hati.

Catatan perjalanan Deyna ke Ambon #2: Ekstremnya pengalaman 'terbang' perdana
Baling-baling Wings Air dari kaca jendela kursi, pesawat yang kami tumpangi menuju ke Maluku dari Bandara Sam Ratulangi Manado. (Foto: Trideyna/Zonautara.com)

Mencoba mantapkan hati dengan penuh semangat. Sedikit tangis haru, karena hari ini adalah pertama kalinya saya berpetualang dengan pesawat terbang. ‘Mode Pesawat’ di gawai kali ini benar-benar berfungsi dengan baik hari ini.

Usai seluruh rangkaian pemeriksaan penumpang dan menunggu di pintu keberangkatan 2, berselang tak lama, Kak Novi datang setelah sebelumnya sempat saling bertukar pesan di aplikasi perpesanan WhatsApp.

Itulah dia akrab disapa. Peserta pelatihan yang berasal dari Minahasa ini ternyata sangat baik, 30 menit menunggu, akhirnya Wings Air, pesawat terbang yang akan ditumpangi itu sudah siap mengangkut kami berdua.

Saya duduk di kursi sheet 7A sementara Kak Novi di 8A. Dua jam ketegangan berada di angkasa, lega akhirnya pesawat yang kami tumpangi bisa mendarat untuk transit di Bandara Sultan Hasbullah Ternate.

Memandangi Kota Ternate, Maluku Utara dari ketinggian, terlihat setumpuk bangunan tinggi yang gersang, atap-atap rumah, serta tak ada pepohonan lagi yang tumbuh.

15 menit kami gunakan untuk istirahat sejenak, kemudian melanjutkan perjalanan ke Ambon setelah seluruh penumpang masuk ke dalam pesawat.

Sembari memperhatikan pemandangan yang sungguh indah, dalam hati muncul decak kagum atas ciptaan Tuhan itu. Sekaligus rasa haru yang tak ada habis-habisnya.

Sesekali, saya dan Kak Novi mengabadikan pemandangan ini sekaligus momen bersama di pesawat, sungguh ini adalah perjalanan yang menyenangkan.

Kak Novi mengatakan hal yang sama denganku. Ini merupakan perjalanan pertama kalinya ke Ambon, dipadu dengan sedikit candaan ala bapak-bapak, tak ada rasa canggung antara kami berdua, meski ini adalah pertama kali bertemu.

Terdengar suara beberapa pria paruh baya di belakang kursi pesawat kami fasih berbahasa mandarin. Iseng-iseng saya menyapa pria disamping, tak disangka sapaan saya ditanggapi.

“Hallo mister, where are you from,” tanyaku iseng.

” I from Chinesse,” balasnya dengan senyum tipis.

Setelahnya tak saya sambung lagi percakapannya. Jujur saja selain itu tak ada kalimat fasih lagi yang bisa kuucapkan dalam bahasa Inggris.

Saya tak tahu apakah Kak Novi mendengarnya, yang jelas terdengar suara tawa meski samar terdengar dari kursi belakang.

Waktu sudah menunjukkan pukul 09.40 WITA. Kami masih di dalam pesawat yang melaju membelah langit pagi itu. Saya memandang ke arah Kak Novi. Terlihat tangannya sedang mencatat sesuatu, mungkin sama hal dengan saya, ia juga sedang menulis catatan perjalanannya.

Sesekali ‘burung besi’ itu membelah awan tebal Tak bisa dijelaskan bagaimana rasanya, untung saja cuaca cerah hari ini, jika mendung pasti sudah ketakutan.

Selama di pesawat, tak ada yang kulakukan selain menulis catatan perjalanan ini. Ternyata Ambon begitu jauh. Memikirkan seberapa tinggi posisi diri saya dari daratan sekarang, juga seberapa sejauh kami melintas hanya ada beberapa pulau yang terlihat, sisanya laut biru.

Sangat berbanding terbalik dengan perjalanan menuju Ternate, sepanjang perjalanan terlihat pulau-pulau kecil serta atap rumah masyarakat.

Makin lama makin tinggi, bahkan laut biru pun tak terlihat. Yang terlihat sekarang hanyalah awan putih dan langit biru, serta baling-baling pesawat di sisi kiri.

Dalam hati, saya memikirkan bagaimana jika aku terlahir di Ambon, berbuat kesalahan dan coba kabur, begitu jauh tak ada daratan yang bisa saya lewati. Mungkin ini alasan Tuhan memberiku tempat tinggal di Kotamobagu. Kuurungkan kembali niatku dalam misi mencari jodoh di Ambon.

Pukul 10.26 WITA, awan hitam pekat, percikan air hujan di kaca pesawat, dan serasa seperti hampir jatuh, begitulah suasana yang saya rasakan saat itu. Entahlah saya tak tahu mendeskripsikannya bahkan penumpang, dengan serentak bersamaan teriak.

Pukul 10.40 WITA, awak kabin memberitahukan bahwa di Ambon sedang cuaca buruk. Kak Novi yang awal duduk di belakang, pindah duduk disamping.

Segala doa kami panjatkan, Kak Novi dengan kepercayaannya dan aku dengan zikir, salat, serta doa yang masih saya hafal.

Saya ambil sisa cokelat yang ada di tas, lalu berbagi dengan Kak Novi sekedar menghilangkan rasa takut kami.

Pesawat diinfokan memutar arah, dalam perjalanan transit ke Papua. Saya bahkan tak berani melihat ke arah jendela, di bawahnya biru tak ada daratan sedikitpun.

Pesawat terbang begitu tinggi, begitu tingginya hingga daratan tak terlihat sama sekali. Setelah melihat sekeliling hal yang tak disadari adalah tinggal beberapa orang di dalam pesawat ini.

Refleks keluar dari ucapan dari bibir ini, “Tuhan ampuni aku, jika ini adalah bentuk hukumanmu terhadapku ampuni aku.”

Bayangkan saja seberapa besar takut yang menghantui sekarang, memulai penerbangan pada 05.50 WITA dan sampai pukul 11.38 WITA tak kunjung mendarat.

Pukul 12.01 WITA kami mendarat di Bandara Sorong Papua. Inilah perjalanan paling esktrem menurut saya selama hidup ini.

Bersambung ke BAGIAN 3

Penikmat kopi pinggiran, hobi membaca novel. Pecandu lagu-lagu Jason Ranti, pengikut setia Sapardi Djoko Damono, pecinta anime, terutama dari Gibli. Mampu menghabiskan 1000 lebih episode one piece dalam 8 bulan.
1 Comment

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com