Pekerja perawatan formal masih terpinggirkan dari upah layak dan perlindungan hukum

Neno Karlina Paputungan
Editor: Redaktur
Ilustrasi, (Foto: Pixabay.com).

ZONAUTARA.com – Di balik roda ekonomi dan keseharian masyarakat, pekerja perawatan formal memainkan peran penting dalam menjaga keberlangsungan hidup sosial.

Mereka adalah perawat, pengasuh anak, dan pekerja rumah tangga–profesi yang sebagian besar diisi oleh perempuan dan menopang pekerjaan perawatan yang esensial. Namun, ironisnya, mereka justru berada di posisi paling rentan dalam struktur ekonomi dan ketenagakerjaan.

Banyak pekerja perawatan formal yang menerima upah jauh di bawah standar kelayakan. Padahal tanggung jawab mereka besar, mulai dari merawat anak-anak hingga mendampingi lansia dan orang sakit. Mereka bekerja dalam sistem yang sering kali mengabaikan nilai kerja emosional, fisik, dan sosial yang mereka berikan.

Di sektor domestik, misalnya, pekerja rumah tangga kerap tidak mendapatkan kontrak kerja tertulis, jam kerja yang manusiawi, atau akses terhadap perlindungan sosial.

Ketika terjadi pelanggaran hak, banyak dari mereka tidak tahu ke mana harus melapor, atau bahkan takut melaporkan karena status kerja yang tidak formal dan posisi yang rentan.



Menurut laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO), pekerja rumah tangga merupakan salah satu kelompok pekerja dengan akses perlindungan hukum terendah di dunia.

Di Indonesia sendiri, hingga tahun 2023, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga belum juga disahkan, meski sudah bertahun-tahun diperjuangkan oleh berbagai organisasi masyarakat sipil.

Ketimpangan juga terjadi di sektor kesehatan. Perawat, terutama perawat perempuan di daerah terpencil, sering harus bekerja dengan fasilitas minim dan beban kerja berlebih, namun tidak diiringi dengan jaminan penghasilan dan keselamatan kerja yang memadai.

Dalam situasi darurat, seperti pandemi atau bencana alam, mereka menjadi garda terdepan tanpa dukungan yang cukup.

Selain rendahnya upah, ketidakadilan dalam pengakuan kerja juga memperburuk kondisi. Banyak pekerja perawatan tidak disebut sebagai “pekerja profesional”, padahal keahlian dan tanggung jawab mereka tidak kalah dengan bidang lain.

Minimnya pelatihan berkelanjutan dan pengakuan sertifikasi juga menyulitkan mereka untuk naik kelas dalam jenjang karier.

Kondisi ini mencerminkan masalah struktural yang lebih luas: bahwa pekerjaan perawatan, meski esensial, masih dipandang rendah dalam sistem ekonomi. Hal ini bukan hanya soal ketimpangan upah, tapi juga bentuk pengabaian terhadap nilai kerja yang menyokong kesejahteraan sosial secara menyeluruh.

Untuk menciptakan keadilan ekonomi yang sesungguhnya, negara perlu hadir secara konkret dalam memperbaiki sistem kerja sektor perawatan formal.

Dibutuhkan regulasi yang menjamin upah layak, kondisi kerja yang manusiawi, dan perlindungan hukum menyeluruh. Tanpa itu, ketimpangan akan terus mengakar, dan para pekerja perawatan tetap menjadi tulang punggung tak terlihat dalam masyarakat.

Sudah saatnya kerja perawatan diakui sebagai pilar utama dalam ekonomi, bukan hanya sebagai pelengkap. Penghormatan terhadap pekerjaan ini harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan, bukan sekadar apresiasi simbolik.

Suka berkelana ke tempat baru, terutama di alam bebas. Mencintai sastra fiksi dan tradisi. Berminat pada isu-isu ekofeminisme, gender, hak perempuan dan anak. Beberapa kali menerima fellowship liputan mendalam. Tercatat sebagai anggota AJI.
Leave a Comment

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com