Fatherless tak melulu karena soal perceraian atau kematian

Kehadiran sosok ayah dalam keluarga sejatinya berperan penting dalam membentuk kepercayaan diri, ketahanan mental, dan kesiapan anak dalam menghadapi tantangan hidup. Tanpa peran ini, anak cenderung mengalami krisis identitas, rasa tidak aman, serta kesulitan dalam membangun hubungan sosial yang sehat.

Editor: Redaktur
Ilustrasi fatherless, (Foto: Pixabay.com).

ZONAUTARA.com – Fenomena fatherless atau ketiadaan figur ayah dalam kehidupan anak menjadi isu serius yang semakin banyak disorot dalam berbagai penelitian psikologi, pendidikan, dan sosiologi.

Fatherless tidak hanya berarti ayah yang meninggal atau bercerai, tetapi juga mencakup ketidakhadiran emosional ayah yang walaupun secara fisik ada, tidak terlibat aktif dalam pengasuhan dan pembentukan karakter anak.

Kehadiran sosok ayah dalam keluarga sejatinya berperan penting dalam membentuk kepercayaan diri, ketahanan mental, dan kesiapan anak dalam menghadapi tantangan hidup. Tanpa peran ini, anak cenderung mengalami krisis identitas, rasa tidak aman, serta kesulitan dalam membangun hubungan sosial yang sehat.

Secara psikologis, anak-anak yang tumbuh tanpa kehadiran ayah lebih berisiko mengalami gangguan mental seperti kecemasan, depresi, dan rasa minder yang berkepanjangan. Istilah fatherless child syndrome bahkan digunakan dalam dunia psikologi untuk menggambarkan kondisi di mana anak mengalami hambatan serius dalam perkembangan emosionalnya akibat kehilangan peran ayah.

Mereka seringkali kesulitan mengelola emosi, cenderung sensitif berlebihan, dan mudah merasa ditolak dalam pergaulan sosial. Ketidakhadiran figur ayah juga berdampak pada pembentukan citra diri yang buruk sehingga anak kurang percaya diri menghadapi tantangan baru, termasuk dalam dunia pendidikan dan pekerjaan.



Pada aspek pendidikan, riset menunjukkan bahwa anak-anak fatherless memiliki kecenderungan prestasi akademik yang lebih rendah dibandingkan teman sebayanya. Mereka rentan terhadap perilaku bolos sekolah, motivasi belajar yang menurun, dan perencanaan masa depan yang kabur.

Studi dari World Bank dan UNICEF menegaskan bahwa kelompok ini juga lebih rentan mengalami putus sekolah dan kurang mendapat akses pendidikan berkualitas, terutama di keluarga berpenghasilan rendah. Ketidakhadiran ayah, yang seharusnya menjadi role model tanggung jawab dan disiplin, membuat anak kesulitan mengembangkan ketekunan dan daya juang yang diperlukan dalam dunia pendidikan yang kompetitif.

Secara sosial, anak-anak dari keluarga fatherless lebih berisiko terlibat dalam perilaku menyimpang seperti penyalahgunaan narkoba, seks bebas, dan kriminalitas. Data di Amerika Serikat, misalnya, menunjukkan bahwa 71 persen remaja yang drop out sekolah dan 85 persen pemuda di penjara berasal dari keluarga tanpa ayah.

Fenomena ini menggambarkan betapa absennya peran ayah bisa mempengaruhi keputusan-keputusan besar dalam hidup anak, terutama ketika mereka mencari figur pengganti dalam lingkungan pergaulan yang negatif.

Dampak ekonomi juga sangat terasa pada keluarga fatherless. Ketiadaan ayah seringkali membuat keluarga mengalami kesulitan finansial, sehingga anak-anak dalam keluarga ini tumbuh dalam kondisi kekurangan sumber daya pendidikan dan pengembangan diri.

Keterbatasan akses pada bimbingan belajar, pelatihan keterampilan, atau kegiatan ekstrakurikuler memperbesar ketimpangan peluang mereka di kemudian hari. Dalam jangka panjang, hal ini dapat memicu siklus kemiskinan yang sulit diputus dan berdampak pada kualitas generasi penerus bangsa.

Untuk mencegah dampak buruk fenomena fatherless, intervensi sosial dan kebijakan publik sangat diperlukan. Program paternity leave, penyuluhan peran ayah dalam pengasuhan, serta penyediaan figur laki-laki pengganti yang positif seperti guru, pelatih olahraga, atau kakek menjadi langkah strategis yang harus diperkuat.

Selain itu, akses layanan konseling keluarga, dukungan psikologis bagi anak, serta kampanye peran aktif ayah dalam keluarga bisa membantu mengurangi risiko generasi rentan yang kehilangan panutan utama dalam hidupnya.

Suka berkelana ke tempat baru, terutama di alam bebas. Mencintai sastra fiksi dan tradisi. Berminat pada isu-isu ekofeminisme, gender, hak perempuan dan anak. Beberapa kali menerima fellowship liputan mendalam. Tercatat sebagai anggota AJI.
Leave a Comment

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com