ZONAUTARA.com – Indonesia menatap ambisi besar untuk menjadi negara maju pada tahun 2045, tepat satu abad setelah kemerdekaannya. Visi besar ini dikenal sebagai Indonesia Emas 2045, yang bertumpu pada bonus demografi saat mayoritas penduduk Indonesia berada dalam usia produktif.
Namun, di balik optimisme ini, tersimpan kekhawatiran serius, generasi muda yang tidak siap secara mental, sosial, dan ekonomi justru berpotensi menjadi beban yang menghambat tercapainya cita-cita tersebut.
Kekhawatiran ini antara lain disuarakan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang menyoroti fenomena “generasi stroberi”.
Istilah ini merujuk pada generasi muda yang tampak segar, kreatif, dan menjanjikan dari luar, namun rapuh di dalam—mudah menyerah, tidak tahan tekanan, dan kurang berdaya saing di tengah kerasnya tantangan global.
Bila kecenderungan ini tak segera diatasi, bonus demografi yang seharusnya menjadi berkah bisa berubah menjadi bencana demografi.
Masalah ketidaksiapan mental ini diperparah oleh kondisi sosial yang rapuh. Data BKKBN menunjukkan tingginya angka pernikahan dini, pergaulan bebas, serta kasus kehamilan remaja yang bisa berdampak langsung pada tingginya angka putus sekolah dan pengangguran muda.
Peran keluarga, terutama figur ayah, juga disorot karena anak-anak yang tumbuh tanpa kehadiran sosok ayah cenderung memiliki ketahanan mental yang lebih rendah dan kurang berani mengambil risiko dalam karier dan pengembangan diri.
Di sisi ekonomi, generasi muda Indonesia juga menghadapi tantangan serius. Hasil riset dari World Bank (2023) menunjukkan bahwa 55 persen lulusan SMA dan SMK di Indonesia bekerja di sektor informal, berupah rendah, dan tanpa jaminan sosial. Ketimpangan keterampilan dan kebutuhan industri ini mengindikasikan bahwa banyak generasi muda belum siap bersaing di pasar kerja global.
Padahal, Indonesia Emas 2045 sangat bergantung pada generasi yang mampu menciptakan nilai tambah tinggi di sektor teknologi, industri kreatif, dan ekonomi hijau.
Bukan hanya soal pekerjaan, masalah mental health juga mencuat. Sebuah survei oleh Unicef (2022) menemukan bahwa satu dari tiga remaja di Indonesia mengalami gangguan kesehatan mental ringan hingga sedang, seperti kecemasan berlebih dan depresi.
Tanpa dukungan psikologis memadai, masalah ini dapat mempengaruhi produktivitas mereka di masa depan. Di sinilah letak peran penting pemerintah, sekolah, dan keluarga dalam memastikan generasi muda tumbuh tangguh secara mental.
Pemerintah lewat program Generasi Berencana (GenRe) berusaha menanamkan nilai kesiapan hidup berkeluarga, tanggung jawab sosial, serta keterampilan kerja sejak dini. Sayangnya, program ini belum sepenuhnya menjangkau pelosok daerah secara merata.
Jika kesenjangan edukasi dan akses informasi ini terus terjadi, sebagian generasi muda tetap akan tertinggal dan menjadi kelompok rentan saat Indonesia memasuki masa emas.
Agar Indonesia Emas 2045 bukan sekadar wacana, investasi besar harus dilakukan hari ini pada mentalitas, skill, dan daya saing generasi muda. Tanpa itu semua, generasi stroberi akan menjadi bukti bahwa jumlah usia produktif besar bukan jaminan kemajuan bangsa, melainkan justru potensi beban ekonomi, sosial, bahkan politik di masa depan.