ZONAUTARA.com – Topik ketahanan pangan dan deforestasi menjadi pokok pembahasan dalam audiensi antara Pati Sahli Tingkat III Bidang Kawasan Khusus (Wassus) dan Lingkungan Hidup (LH) Mabes TNI, Mayjen TNI Hariyanto bersama Pemerintah Provinsi Sulut yang diwakili Sekprov, Tahlis Gallang beserta jajaran, Selasa (16/09/2025).
Menurut Hariyanto, deforestasi adalah kejadian yang membuat luas hutan terus berkurang dan berpotensi menyebabkan gangguan ekologis.
“Baik oleh alam maupun oleh manusia. Seperti pembalakan liar, pembakaran, banjir, dan ada juga karena tidak suburnya tanah. Kami mendapat perintah dari pimpinan untuk program ini dan mengawasinya,” ucapnya.
Ia juga membeberkan, saat ini telah dibentuk 100 Batalyon Teritorial Pembangunan yang nantinya akan ditempatkan di setiap kabupaten, yang tugasnya di masa damai adalah melaksanakan tugas teritorial, seperti menggarap lahan pertanian, perikanan, peternakan, konstruksi, dan kesehatan.
Hal ini sejalan dengan Undang-Undang TNI nomor 34 tahun 2004 pasal 7 ayat 2, dimana salah satu tugas operasi selain perang yang dilakukan TNI adalah membantu pemerintah daerah.
“Nah, membantu pemerintah daerah, saat ini yang krusial adalah ketahanan pangan. Itu nantinya sesuatu yang bisa dikelola oleh TNI dan masyarakat. Dan pada situasi perang, hal ini bisa dijadikan lumbung-lumbung logistik ketika perang berlarut,” ucapnya.
Adapun lahan yang akan dikelola untuk ketahanan pangan termasuk lahan yang telah rusak atau tidak produktif lagi yang salah satunya disebabkan deforestasi.
“Nanti lahan-lahan yang sudah rusak, tidak produktif, ini akan kita kelola,” tambahnya.
Ia berharap, deforestasi dapat dicegah termasuk di Sulut, karena di situasi perang sekalipun, hutan memiliki fungsi yang krusial.
“Dalam situasi perang bisa menjadi daerah penyelamatan. Kita bisa menyusun kekuatan di dalam hutan-hutan itu. Kalau tempatnya terbuka, ya kita tidak bisa menyusun kekuatan melawan musuh,” kata Hariyanto.
Program ketahanan pangan itu sendiri rencananya akan dilakukan secara kolaboratif antara TNI, pemerintah daerah, dan masyarakat.
“Kita membentuk kelompok-kelompok tani nanti untuk menggarap itu,” imbuhnya.
Terpisah, Tahlis Gallang menyampaikan, pihaknya menyambut baik program yang didiskusikan oleh TNI. Program ketahanan pangan diakuinya sejalan dengan visi misi Gubernur dan Wagub Sulut, Yulius Selvanus dan Victor Mailangkay.
Menurut Tahlis di Sulut, luasan pertanian padi sawah sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di periode sebelumnya hanya berkisar 43.000 hektare, yang kemudian saat ini meningkat menjadi 59.100 hektare. Ada peningkatan sekitar 16.100 hektare.
Peningkatan luasan lahan pertanian tersebut berbanding lurus dengan kebijakan yang sedang dijalankan oleh pihak TNI saat ini.
“Jadi kita bisa berkolaborasi dengan TNI melalui kompi produksinya. Salah satunya mencetak sawah baru. Di samping mungkin ada lahan-lahan tidur yang bisa dimanfaatkan bersama. Sehingga harapan kita Provinsi Sulawesi Utara itu bisa mencapai swasembada pangan terutama swasembada beras,” terang Tahlis Gallang.
Ia juga membeberkan bahwa luasan deforestasi di Sulut saban tahun kian meningkat. Adapun reboisasi yang dilakukan tidak berbanding lurus dengan tingkat penyusutan kondisi hutan.
“Lahan kritis itu (sebagaimana) kami laporkan tadi kurang lebih ada 25 persen dari luasan hutan. Deforestasi ini setiap tahun jumlahnya semakin meningkat,” ungkapnya.
Melalui audiensi dengan Mabes TNI, ia mengaku mendapat dukungan meminimalisir dampak yang diakibatkan deforestasi itu sendiri.
“Setidak-tidaknya seberapa besar kebijakan intervensi terkait reboisasi hutan dan lahan itu bisa menutupi deforestasi yang terjadi. Jadi, keseimbangannya bisa kita dapatkan,” ujarnya.
Sekretaris Dinas Kehutanan Provinsi Sulut, Arfan Makalunsenge menambahkan, total luasan hutan di Sulut saat ini adalah 764.739 hektare atau setara 52,7 persen luas Sulut.
“Untuk lahan kritis kurang lebih 25 persen. Lahan kritis ini bisa diartikan efek dari deforestasi. Pembagiannya yakni kritis, sangat kritis dan agak kritis,” jelas Arfan.
Di samping itu, ia juga menyoroti adanya keterbatasan kewenangan pengelolaan hutan yang bisa dilakukan Pemerintah Provinsi.
“Artinya kita tidak bisa melakukan kegiatan edukasi di dalam kawasan hutan. Tapi ketika terjadi ancaman kegiatan perusakan hutan maka kita semua bertanggung jawab. Tetapi untuk pembangunan, pemanfaatan, ketika kewenangan telah diambil pemerintah pusat, pemerintah daerah tidak bisa lagi mengelola kecuali mendapat izin dari pemerintah pusat melalui Kementerian Kehutanan,” pungkasnya.


