ZONAUTARA.com – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menegaskan bahwa akar permasalahan perlindungan jurnalis di Indonesia bukan terletak pada substansi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, melainkan pada keabadian pemerintah dalam mengimplementasikan pasal-pasal terkait.
Pernyataan ini disampaikan dalam sidang lanjutan uji materiil UU Pers di Mahkamah Konstitusi (MK), yang juga dihadiri oleh Dewan Pers, sebagai respons terhadap permohonan yang diajukan oleh Ikatan Wartawan Hukum (IWAKUM).
Dalam persidangan perkara Nomor 145/PUU-XXIII/2025 tersebut, AJI dan PWI sepakat menolak usulan IWAKUM yang dinilai berpotensi mempersempit makna perlindungan hukum bagi jurnalis. Sekretaris Jenderal AJI Bayu Wardhana dan Ketua Umum PWI Akhmad Munir secara terpisah menekankan bahwa Pasal 8 UU Pers telah memberikan jaminan perlindungan yang cukup luas, namun implementasinya di lapangan masih sangat lemah, tercermin dari maraknya kasus kekerasan dan kriminalisasi terhadap jurnalis.
Bayu Wardhana, mewakili AJI Indonesia, menjelaskan bahwa Pasal 8 UU Pers sebenarnya sudah memberikan kepastian hukum yang memadai. Hal ini diperkuat dengan penjelasan pasal yang secara eksplisit menyebutkan bahwa pemerintah dan masyarakat wajib melindungi jurnalis yang menjalankan tugasnya sesuai ketentuan hukum. Namun, menurut Bayu, tantangan sesungguhnya adalah kurangnya penegakan dan implementasi pasal tersebut, terutama oleh pihak pemerintah.
“Pemerintah harus lebih aktif memberikan perlindungan pada jurnalis sebagaimana diamanatkan Pasal 8 UU Pers. Bentuknya bisa berupa bantuan hukum bagi jurnalis yang dikriminalisasi, serta penegakan hukum tegas terhadap aparat yang melakukan kekerasan agar menimbulkan efek jera,” ujar Bayu.
Ia mencontohkan kasus gugatan perdata senilai 200 miliar rupiah yang diajukan Menteri Pertanian Amran Sulaiman terhadap Tempo, serta kasus pidana Pemred Banjarhits Diananta pada tahun 2020. Kedua kasus ini, meskipun telah mendapatkan keputusan dari Dewan Pers sesuai UU Pers Nomor 40/1999, namun diabaikan oleh Menteri maupun Kepolisian.
Senada dengan AJI, PWI yang diwakili oleh Ketua Umum Akhmad Munir turut menegaskan bahwa isu utama bukanlah pada substansi Pasal 8 UU Pers, melainkan pada implementasi dan dampak nyatanya di lapangan. Menurut PWI, perlindungan hukum bagi jurnalis belum terwujud secara optimal, dibuktikan dengan masih tingginya angka kasus kekerasan dan kriminalisasi terhadap profesi jurnalis.
Munir menekankan pentingnya memaknai perlindungan hukum secara aktif dan komprehensif. Ia menyerukan penguatan koordinasi antara Dewan Pers, aparat penegak hukum, dan organisasi wartawan guna menghindari tumpang tindih kewenangan. “Pelindungan hukum tidak boleh diartikan sebagai kekebalan hukum, melainkan sebagai perwujudan semangat konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 28F UUD 1945,” ujarnya.
Persidangan yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo ini turut dihadiri oleh tujuh hakim konstitusi lainnya, yaitu Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Arsul Sani, Saldi Isra, Daniel Yusmic P. Foekh, M. Guntur Hamzah, dan Ridwan Mansyur. Para hakim dalam sesi tersebut menyoroti bentuk konkret perlindungan hukum yang paling dibutuhkan oleh jurnalis, serta melakukan perbandingan dengan praktik-praktik yang berlaku di berbagai negara lain.
Sebelumnya, Ikatan Wartawan Hukum (IWAKUM) mengajukan uji materi terhadap Pasal 8 dan Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ke Mahkamah Konstitusi. Dalam permohonannya, IWAKUM menilai makna perlindungan hukum dalam pasal tersebut masih sangat multitafsir. Mereka berpendapat bahwa pasal tersebut tidak menerangkan secara rinci mekanisme atau prosedur spesifik apabila pers sedang menjalankan profesinya berhadapan dengan aparat penegak hukum, atau menerima laporan maupun gugatan terhadap berita yang diterbitkan.
Oleh karena itu, IWAKUM mengajukan dua alternatif tafsir untuk Pasal 8: pertama, “Tindakan kepolisian dan gugatan perdata tidak dapat dilakukan kepada Wartawan dalam melaksanakan profesinya sepanjang berdasarkan kode etik pers”; atau, kedua, “Dalam menjalankan profesinya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan dan penahanan terhadap Wartawan hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan izin dari Dewan Pers.”


