Remy Sylado atau dengan nama aslinya Yapi Panda Abdiel Tambayong, adalah satu dari sedikit sastrawan Indonesia yang menulis dengan semangat ensiklopedik. Ia tidak sekadar membuat cerita, tapi menganyam bahasa, sejarah, dan budaya menjadi semacam mozaik yang hidup.
Dalam novel kelimanya dari seri “Perempuan Bernama Arjuna”, ia menempatkan kisahnya di Tanah Minahasa dan memberi judul yang nyaris akademik: Minasanologi dalam Fiksi. Kata “minasanologi” ia ciptakan sendiri, seolah mengisyaratkan bahwa yang hendak ia lakukan bukan sekadar menulis cerita, tapi meneliti jiwa Minahasa melalui fiksi.
Novel ini dibingkai lewat perjalanan pasangan Arjuna dan Jean-Claude van Damme, bukan aktor Hollywood, melainkan tokoh fiksi yang menjadi rekan safari intelektual sang tokoh utama. Mereka menelusuri Tanah Minahasa: wilayah di ujung utara Sulawesi yang dalam sejarahnya merupakan pertemuan berbagai unsur seperti Kristen dan Islam, Eropa dan Nusantara, adat dan modernitas. Dalam tangan Remy, Minahasa bukan hanya latar cerita, tetapi laboratorium sosial dan kultural tempat manusia diuji oleh sejarah dan keyakinan.
Salah satu bagian paling menarik dari novel ini adalah dialog panjang tentang perempuan Minahasa. Dalam percakapan yang mengalir di meja makan, tokoh bernama Etta mengingatkan bahwa harkat perempuan Minahasa telah lama menarik perhatian peneliti asing sejak abad ke-19.
Ia menyebut tulisan H. J. Tendelo berjudul De Toestand der Vrouw in de Minahasa, dan karya Sam Ratulangi De Vrouw van de Minahasa yang disebut lahir dari amatan 1913–1914. Bahkan disebut pula tulisan dalam bahasa Inggris oleh M. J. C. Schouten, From Anak-Piara to PKK: Ideologies and History of Minahasa Women’s Household Duties. Apakah semua buku ini sungguh-sungguh ada atau sekadar fiksi? (saya belum memeriksanya). Tapi itulah permainan cerdas Remy: ia membuat fiksi seolah berdiri di atas dokumen sejarah.
Namun isi percakapan itu bukan fiksi sepenuhnya. Perempuan Minahasa memang dikenal punya posisi kuat sejak masa kolonial. Para peneliti Belanda menulis bahwa masyarakat Minahasa memberi perempuan hak waris dan hak suara dalam lembaga adat jauh sebelum kata “emansipasi” populer di Eropa. Pendidikan di Minahasa pun tergolong maju; pada awal abad ke-20 sudah ada sekolah perempuan seperti Huishoud School yang didirikan organisasi PIKAT di Manado.
Dalam novel, Etta melanjutkan dengan menyebut deretan nama nyata yang menegaskan hal itu. Marie Thomas, dokter perempuan pertama Indonesia, lahir di Likupang. Prof. Mr. Annie Abas Manopo, perempuan pertama yang menjadi rektor di Indonesia. Dr. Ny. Agustine Magdalena Waworoentoe, walikota perempuan pertama di tanah air, memimpin Manado pada 1950. S.K. Pandean, aktivis muda yang lantang berbicara di Kongres Pemuda 1928. Dan tentu, Maria Walanda Maramis, pahlawan nasional yang membuka jalan bagi pendidikan perempuan di Hindia Belanda. Novel ini menjadikan mereka bukan sekadar nama dalam buku sejarah, tapi roh yang menyertai pembicaraan tokoh-tokohnya.
Remy juga menyinggung tokoh-tokoh lain, dari Tine Lumentut hingga Donna Kelles dan Sara Palandeng — yang menunjukkan bahwa Minahasa tidak pernah kekurangan perempuan pelopor. Di antara mereka, mengalir garis tegas antara intelektualitas, keberanian, dan spiritualitas. Dalam konteks budaya Minahasa yang sangat dipengaruhi Kristen Protestan, posisi perempuan sering kali tidak hanya domestik; mereka aktif dalam pelayanan gereja, pendidikan, dan politik.
Yang membuat novel ini berbeda adalah cara Remy memadukan kebhinnekaan keagamaan dan etnis. Ia menggambarkan dengan jernih kehidupan masyarakat Kristen Minahasa yang hidup berdampingan dengan komunitas Islam di Jawa Tondano (Jaton). Harmoni dua dunia itu, kata Remy melalui tokohnya, adalah wujud nyata toleransi yang menjadi napas Minahasa. Ini bukan toleransi pasif, tetapi hasil pertemuan panjang antara sejarah, perdagangan, dan migrasi.

Remy Sylado, yang lahir di Malino tahun 1945 dan tumbuh dalam keluarga Minahasa, menulis dengan kesadaran sejarah yang kuat. Ia tahu bahwa fiksi bisa menjadi jembatan antara arsip dan ingatan. Dalam seri “Perempuan Bernama Arjuna”, ia memakai tokoh Arjuna sebagai semacam alter ego yang berkelana ke berbagai wilayah budaya Indonesia. Dalam jilid kelima ini, Arjuna menjadi cermin pembaca untuk memahami Minahasa bukan lewat romantisasi, tetapi lewat keheranan yang tulus terhadap keberagaman yang hidup.
Membaca novel ini seperti menghadiri perjamuan panjang di mana tiap suapan adalah cerita: tentang adat, marga, keindahan bahasa Manado, sampai kisah cinta lintas agama yang tumbuh di tanah yang hijau dan berangin. Namun di balik keindahan itu, Remy juga menyodorkan pertanyaan-pertanyaan tentang siapa sebenarnya perempuan Indonesia modern dan dari mana ia menarik kekuatannya.
“Minasanologi” dalam arti Remy bisa dibaca sebagai ilmu tentang keberagaman. Ia menelusuri bagaimana perempuan Minahasa membangun ruang sendiri di antara tradisi dan modernitas, di antara gereja dan rumah tangga, di antara kolonialisme dan nasionalisme. Dan melalui Arjuna, Remy mengingatkan bahwa identitas Indonesia dibangun dari serpihan-serpihan lokal yang berani berdialog satu sama lain.
Novel ini bukan sekadar bacaan sastra, melainkan arsip imajiner tentang kebudayaan Minahasa, sebuah wilayah yang dalam sejarahnya selalu terbuka dan dinamis. Dari Likupang sampai Tondano, dari kisah Maria Walanda Maramis hingga gadis remaja pemenang lomba puisi di Istana Cipanas, Remy menautkan masa lalu dan masa kini dengan gaya yang khas: penuh fakta, tetapi tetap jenaka.
Mungkin karena itu karya ini terasa seperti rumah bagi siapa pun yang mencari makna kebhinnekaan. Ia mengingatkan bahwa keberanian perempuan Minahasa bukan mitos, melainkan sejarah hidup yang terus berdenyut di antara kita. Membaca Perempuan Bernama Arjuna 5 berarti menyelam ke dasar Minahasa, ke tempat di mana sejarah dan fiksi bertemu, lalu kembali ke permukaan dengan pandangan yang sedikit lebih jernih tentang arti menjadi manusia Indonesia.


