ZONAUTARA.com – Pemerintahan Prabowo Subianto akan menerapkan program unggulan Makan Bergizi Gratis (MBG) mulai 6 Januari 2025. Salah satu program Asta Cita ini ditujukan sebagai upaya untuk memperbaiki permasalahan gizi di Indonesia, mulai dari mencegah stunting hingga mendukung pengembangan SDM berkualitas.
Penerapan program ini didominasi pemberian makanan bergizi dengan menu sehat di sekolah, baik di tingkat dasar maupun menengah, serta pesantren. Selebihnya, terdapat pemberian makanan bergizi untuk ibu hamil dan menyusui.
MBG ditargetkan mencakup 80 juta penerima manfaat hingga 2029. Meski begitu, patut dipertanyakan apakah program MBG yang didistribusikan di sekolah-sekolah dapat memenuhi prinsip inklusivitas.
Pasalnya, terdapat anak-anak pengidap alergi dan penyandang disabilitas yang tidak dapat mengonsumsi bahan makanan tertentu. Lantas, sejauh mana program MBG dapat memberikan ruang inklusif untuk anak-anak tersebut?
Sensitivitas terhadap siswa khusus
Pemerintah harus sangat memperhatikan menu makanan anak pengidap alergi dan penyandang disabilitas.
Menu makanan anak pengidap alergi tertentu, tentu tidak bisa disamaratakan dengan menu anak-anak lain yang tidak mengidap alergi. Bagi mereka yang memiliki alergi kulit, misalnya, penyedia makanan harus berhati-hati memilih bahan makanan agar tidak memicu reaksi alergi, seperti gatal-gatal atau ruam. Ada pula anak yang alergi terhadap kandungan susu dan produk olahan turunannya. Karena itu, pemerintah harus memperhatikan kesesuaian kebutuhan makanan setiap siswa.
Anak penyandang disabilitas dengan ragam disabilitas tertentu juga membutuhkan kecukupan gizi dan jenis makanan yang berbeda-beda. Data menunjukkan, jumlah anak penyandang disabilitas di Indonesia sekitar 2 juta jiwa. Penyandang disabilitas lebih rentan terhadap kekurangan gizi, termasuk stunting akibat gangguan fisik dan neurologis.
Menu diet untuk penyandang autisme, misalnya, harus selektif karena anak-anak dengan autisme sensitif terhadap makanan tinggi gula, susu, dan pengawet makanan. Selain itu, anak dengan autisme memiliki banyak persoalan yang menyertai kesehatannya, sehingga terapi gizi yang tepat dapat membantu mengurangi beban mereka.
Selain itu, akan lebih baik jika program MBG juga menyasar anak dengan disabilitas yang ada di luar sekolah formal umum, termasuk di Sekolah Luar Biasa (SLB), panti, atau di rumah-rumah. Sebab, tidak semua anak penyandang disabilitas disekolahkan di SLB. Sementara semua anak yang berada di sekolah formal maupun tidak seharusnya sama-sama memiliki hak untuk mendapatkan makanan bergizi tersebut.
Tidak ada data pasti jumlah anak penyandang disabilitas yang berada di sekolah, baik di sekolah umum maupun SLB. Namun secara statistik, jumlah anak dengan disabilitas yang mendapatkan pendidikan formal hanya sekitar 12,26%.
Belajar dari negara lain
Secara global, program makan di sekolah sudah dimulai sekitar tahun 1700-an di Eropa. Data dari 176 negara menunjukkan sekitar 418 juta anak di seluruh dunia saat ini mendapatkan manfaat dari program pemberian makanan di sekolah.
Nigeria merupakan salah satu negara yang telah menerapkan program makan siang di sekolah inklusi yang diisi anak penyandang disabilitas dan nondisabilitas. Program tersebut diluncurkan tahun 2005 dan berpengaruh positif terhadap tingkat pendaftaran dan kehadiran siswa.
Sementara itu, Kolombia juga menerapkan program makan di sekolah yang dimulai tahun 2006 di bawah kementerian pendidikan setempat. Program tersebut turut menyasar anak penyandang disabilitas, bahkan mereka termasuk salah satu kelompok yang diprioritaskan selain kelompok etnis minoritas dan kelompok miskin.
Memastikan inklusivitas Makan Bergizi Gratis
Dalam penerapannya ke depan, pemerintah harus memastikan program MBG bersifat inklusif, dapat menjangkau kebutuhan seluruh siswa, termasuk siswa penyandang disabilitas dan pengidap alergi.
Konsep inklusivitas dalam konteks ini dapat diartikan sebagai sebuah pendekatan yang merangkul kebutuhan semua pihak. UNESCO menyebutkan bahwa program makan gratis dapat menjadi medium untuk mewujudkan tidak hanya kesetaraan, tetapi juga inklusivitas.
Sebuah studi menunjukkan pada dasarnya terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan dalam proses implementasi program makan gratis yang inklusif. Pertama, menekankan pada pelibatan siswa penyandang disabilitas dalam proses perencanaan sehingga dalam proses penerapannya diharapkan dapat sesuai dengan kebutuhan mereka.
Kedua, penyelenggara program perlu memastikan isu aksesibilitas, baik aksesibilitas secara fisik maupun akses terhadap informasi gizi bagi siswa penyandang disabilitas berdasarkan ragamnya.
Ketiga, pelibatan komite orang tua dan komunitas penyandang disabilitas dapat menjadi opsi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan sensitivitas pada aspek inklusivitas dalam program makan bergizi gratis. Dalam konteks ini, sering kali pihak orang tua tidak memiliki informasi atau pemahaman yang baik dalam penerapan program yang berkaitan dengan kebutuhan anaknya.
Deretan poin dalam studi tersebut bisa diterapkan pula untuk anak pengidap alergi. Agar penerapannya optimal, program MBG tentunya harus berlandaskan data yang akurat, lengkap, dan dinamis.
Dengan memastikan kelengkapan data anak penyandang disabilitas dan pengidap alergi, termasuk ragam kebutuhan spesifik terkait nutrisi yang mereka butuhkan, program MBG diharapkan dapat berjalan inklusif.
Para penulis: Sri Sunarti Purwaningsih, Peneliti Ahli Madya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN); Andhika Ajie Baskoro, Researcher, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN); Angga Sisca Rahadian, Researcher, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN); Isnenningtyas Yulianti, Peneliti, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN); Mochammad Wahyu Ghani, Peneliti Pusat Riset Kependudukan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan Zainal Fatoni, Peneliti Demografi Sosial, Pusat Riset Kependudukan BRIN, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.