SITARO, ZONAUTARA.com – LIPEPAHE artinya gelepar. Bila anda tak pernah sampai di Lipepahe, berarti anda tak pernah sampai di pantai paling keramat para kastria kerajaan Siau. Itu nama pantai kampung Kinali, kecamatan Siau Barat Utara, Kabupaten Kepulauan Sitaro.
Sebelum membicarakan Lipepahe, mari bersejenak ke Kinali. Kinali layak disebut kampung para pemberani. Karena di Kinali tak ada rumah dibangun tanpa menggali. Terletak di kaki gunung Karangetang. Gunung berketinggian 1827 meter ini tegak bagai easel yang angkuh dimana jutaan ton material pasir dan abu vulkanik bertengger di puncaknya. Gemuruh kawah dan semburan abu setiap hari terlontar ke udara membayang-bayangi Kinali.
Di atas kontur tanah miring dan curam Kinali terhampar. Jalur aliran lahar panas tak saja membela bagian tengah Kinali, tapi juga mengepung dari sisi kiri dan kanan kampung ini. Setiap kali ada letusan hebat, lahar panas tergelontor dan dengan cepat melintasi Kinali.
Bayangkan, bagaimana sulitnya hidup di Kinali! Maka yang hidup di sini hanya mereka yang berani!
Para penduduk harus menggali tanah miring untuk membangun rumah. Sementara ancaman dari puncak Karengetang yang merupakan gunung berapi teraktif di dunia senantiasa mengintai. Akses jalan darat dari jalan utama Kecamatan hanyalah jalan kecil yang bisa dilalui dengan kendaraan beroda dua. Maka akses lain adalah melalui jalur laut.
Namun yang mengejutkan, orang Kinali tak pernah mengeluhkan kondisi dan tantangan alam yang mereka hadapi. Satu saja yang mereka keluhkan yaitu harga pala. Karena 447 jiwa dari 132 Kepala Keluarga penduduk Kinali bergantung hidup dari kebun pala. Apabila harga pala merosot, itulah sesungguhnya “bahaya” yang mengganggu hajat hidup mereka.
Sebagian penduduk ada yang berkebun palawija, sebagian lagi nelayan. Namun kedua mata pencaharian itu hanya mampu menompang sedikit dari kebutuhan sehari-hari. Kebun pala satu-satunya tempat bergantung hidup. Itu sebabnya mereka mengeluh apabila harga pala jatuh di pasaran. Keluh mereka sering dilontarkan. Tapi siapa yang mau mendengar? Itulah persoalannya.
Juni 2017, harga pala Siau dari data ZonaUtara.com berkisar antara Rp. 52.000. – Rp. 59.000. per kilogram (kg). Sedangkan harga fuli Rp. 132.000 per kg. Sementara harga ideal pala Indonesia dalam data industry.co.id berkisar dari Rp 75.000 – Rp 85.000 per kg. Sedangkan fuli berkisar Rp 180.000 – Rp 200.000 per kg.
Ditengah persoalan krusial harga pala inilah orang-orang Kinali mencoba bersuara. Tapi kemana suara itu bermuara. Di Kabupaten Sitaro, sebagaimana pengamatan ZonaUtara.com, isu politik dan kekuasaan menjadi sihir utama keseharian. Seakan-akan upaya meraih kekuasaan adalah satu-satunya jalan merayakan hidup dan kebanggaan. Sementara keluh orang-orang berkekurangan tergelempang tak bermakna di tepi-tepi jalan. Selalu dilupakan.
Namun mari sejenak menengok kehidupan, seperti semangat orang-orang Kinali yang tak pernah menyerah mengais hidup dan peruntungan di tengah belitan keterbatasan.
Kapitalau (Kepala Kampung) Kinali, Charles S. Dauhan, belum lama, mengisahkan, pada letusan gunung Karangetang di tahun 2010, aliran lahar dan awan panas sempat memakan korban 1 keluarga di Kinali. Yang lainnya selamat karena berlindung di gereja. Apakah mereka jerah dengan ancaman bencana alam?
“Sudah turun temurun orang Kinali menganggap ancaman alam sebagai hal yang biasa. Mereka tak takut dengan lahar. Mereka juga tak jerah hidup di lingkungan kampung yang penuh tantangan,” kata Kapitalau, yang juga seniman teater lepasan Teater Kontra Fakultas Sastra Universitas Sam Ratulangi ini.
Charles S. Dauhan, menjadi Kapitalau Kinali sejak 10 November 2015. Dengan berbagai keterbatasan biaya, bersama masyarakat, ia mulai membangun jalan setapak dari rumah ke rumah dan tanggul-tanggul penahan longsor. Menurutnya program pembangunan itu sangat penting hingga akses masyarakat dalam kampung jadi sedikit nyaman.
“Kehidupan masyarakat Kinali cukup baik saat ini. Keamanan juga terjaga. Masyarakat Kinali adalah masyarakat yang ramah. Mereka selalu punya cara bertahan hidup di tengah berbagai tantangan alam dan ekonomi,” ujarnya saat di wawancarai ZonaUtara.com pekan lalu.
Dikatakannya, masyarakat Kinali punya impian agar kampung ini menjadi desa Wisata, karena di kampung ini ada obyek wisata sejarah yang unik dan belum mendapat perhatian yaitu Goa atau Liang Ghoghole.
Apa dan siapa Ghoghole? Mari kita sambung kisah pantai Lipepahe!
Lipepahe artinya gelepar. Ketika Winsulangi, raja ke 4 Kerajaan Siau berkuasa (1591-1631), tersebutlah seorang Juru Spiritual yang sakti bernama Ghoghole. Dialah guru para “Bahaning Nusa” (Pemeberani Pulau atau para kastria kerajaan).
Para kastria sebelum berperang harus dimandikan olehnya. Bahkan Laksamana kerajaan Siau Hengkengnaung yang dikenal sakti –dan selalu memenangkan perang yang berkobar dari kawasan Mindanau hingga ke Goa Talo— berguru pada Ghoghole.
“Panglima Hengkengnaung tak akan turun berperang sebelum dimandikan dan dilepaskan oleh Ghoghole,” ungkap Kapitalau Charles S. Dauhan. Lantas apa hubungan juru spiritual Ghoghole dengan Kinali?
“Tempat semedi dan tapa Ghoghole di gua Kinali yang saat ini disebut liang Ghoghole.”
Ini sebabnya, ungkap Dauhan, masyarakat ingin menjadikan tempat itu sebagai lokasi wisata sejarah dan budaya.
Uniknya juga, kawasan pantai Lipepahe berair panas dan sangat baik untuk berendam badan dan memulihkan kesehatan. Sementara liang Ghoghole sangat menantang pagi para petualang di perut bumi untuk merambahinya.
Liang Ghoghole memanjang di dalam perut gunung sejauh puluhan kilometer. Membentang dari Desa Kinali hingga Desa Lahopang di seberangnya. Di kedua desa inilah terdapat pintu Liang menuju altar semedi dan tapa sang Ghoghole.
Anda mau ke Lipepahe? Aura keramat menantimu di sana!
Editor: Ronny A. Buol