MANADO,ZONAUTARA.com – Senyum tersungging di bibir Zakila Putri (2), saat menikmati kue pemberian ibunya. Meski di tengah tumpukkan barang-barang bekas, dengan sejuta aroma bau menyengat dari sampah yang mengelilinginya. Tanpa rasa jijik sekalipun putri dari Hamid Malintoi (32) ini, dengan riangnya menukmati kue itu.
“Saya sudah tinggal di lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sumompo ini, sejak tahun 2006,” ujar Hamid, membuka pembicaraan dengan ZONAUTARA, Senin (31/7/2017).
Menurutnya, pada awal tinggal di lokasi itu, ia hampir tak mampu menghadapi bau busuk dari tumpukkan sampah yang dibuang setiap hari oleh warga Manado yang dibawa oleh armada pengangkut sampah. Namun karena dihadapkan dengan kebutuhan hidup, ia pun berusaha membiasakan diri.
“Akhirnya, saya terbiasa dengan aroma busuk yang menyengat ini,” jelas Hamid.
Hamid bisa bertahan di tempat tak biasa itu, pertama karena tugas sehari-harinya sebagai seorang Pegawai Honorer di Dinas Kebersihan Kota Manado. Dia harus menjalankan tugas mengangkut sampah.
Hasil dari mengumpulkan barang-barang berkas itu dia akui cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dibantu istrinya, dalam sehari Hamid bisa mengumpulkan sekitar 50 Kg besi tua, kardus bekas dan kertas-kertas sisa. begitu terkumpul barang-barang bekas tersebut langsung dijual ke penampung, dengan harga bervariasi. Besi tua perkilogramnya dibayar Rp 2000, sedangkan kardus dan kertas seharga Rp 1500.
Dalam sehari Hamid mengakui bisa mengantongi penghasilan sekitar Rp 250 ribu. Namun tidak sepanjang bulan dia bisa punya penghasilan seperti itu, sebab dia harus bergantian dengan temannya setiap pekan.
Setiap mengangkut sampah, Hamid bekerja tidak sendirian, melainkan dalam sebuah tim.
“Kami kerja tim, yang terdiri dari empat orang, jadi tiap orang mendapat giliran mengumpul barang bekas, selama satu pekan, dan terus bergantian,” jelas Hamid.
Hamid menceritakan, bahwa putra tertuanya, Rahmat Hamid yang kini berusia 10 tahun, lahir di TPA Sumompo itu. Saat ini Rahmat telah duduk di kelas VI Sekolah Dasar.
Bukan cuma Rahmat, Fatmawati putrinya yang kini berusia 8 tahun dan duduk di kelas III Sekolah Dasar juga lahir di lokasi yang bagi kebanyakan orang dihindari itu.
Kedua anaknya bisa bersekolah diakui oleh Hamid dibiayai dari hasil mengais sampah.
Buang Hajat Sembarang
Sama seperti Hamid, pasangan muda lainnya, Yoppy Koni (25)Â dan Tetyn Rahman (23), juga terlihat sibuk membenahi hasil dari barang-barang sisa yang mereka kumpulkan dan bisa dijual.
Pasangan muda dengan bayi perempuan berumur 11 bulan ini, terpaksa meninggalkan daerah asalnya Kecamatan Bongomeme, Kabupaten Gorontalo, untuk mengadu peruntungan di TPA Sumompo.
Yoppy yang juga berprofesi sebagai pengumpul barang bekas dari tumpukkan sampah ini, berada di lokasi TPA Sumompo sudah sekitar empat tahun lamanya.
“Rumah yang saya tempati ini, dibangun dari barang-barang bekas yang saya kumpulkan,” jelasnya saat ditemui di rumah sederhana mereka di lokasi TPA.
Sekilas tempat tinggalnya tampak memprihatinkan. Rumah yang lebih mirip gubuk ini, berukuran sekitar 3×4 meter, dengan tinggi sekitar dua meter. Beratapkan seng bekas, dipadu terpal dan baliho, dengan dinding apa adanya. Namun demikian “gubuk” Yoppy itu terlihat dilengkapi alat elektronik.
“Televisi, tape recorder dan handphone yang saya gunakan adalah barang bekas yang saya dapat dan perbaiki,” jelasnya sambil tersenyum.
Sambil melanjutkan, bahwa ia tinggal di sini bukan berarti gratis. Menurutnya, ia membayar sewa pada mereka yang mengaku pemilik lahan.
“Saya sewa lahan dan listrik, perbulan masing-masing Rp 100 ribu,” jelas Yoppy.
Meski dilengkapi dengan fasilitas elektronik, ternyata tempat mandi, mencuci dan kakus tidak ada.
“Yaaa, kalau buang air besar, kami hanya membawa air untuk keperluan bersih-bersih, sedangkan lokasi buang hajatnya, sembarang saja, kan baunya sama,” ujar Yoppy, malu-malu.
Yoppy hanya mengkhawatirkan satu hal saja, jika TPA itu akan ditutup.
“Kalau akan ditutup terpaksà saya harus memboyong anak dan istri pulang ke daerah asal,” pungkas Yoppy.
Sebagaimana diketahui TPA Sumompo secara kasat mata memang terlihat telah over kapasitas menampung produksi sampah warga Kota Manado.
Peliput: Garry Kaligis dan Suhandri Lariwu
Editor: Ronny A. Buol