bar-merah

Dari Siau, Nilai Kebangsaan Itu Berkilau

Oleh: Yuanita Maya

 

Berdiri tepatnya pada tahun 1510, waktu selama setengah milenium ini memberi kesempatan Kerajaan Siau untuk meninggalkan sekian banyak artefak dan catatan sejarah, mulai dari jaman pra kolonialisme hingga NKRI. Sekalipun bagi beberapa orang, bisa saja jejak-jejak sejarah tersebut dalam kehidupan masa kini tidaklah punya arti. Begitu pula sisa-sisa kebesaran kerajaan masa lampau, yang dianggap tak ada korelasinya dalam perikenegaraan dengan sistem konstitusi demokrasi moderen. Terlebih bila keyakinan itu didukung dengan dogma, ”Aku berlari untuk  menyongsong masa depan, dan tak kan menengok ke belakang.” Dari situ, wajar jika timbul gagasan bahwa artefak kerajaan adalah simbol feodalisme yang mustinya dikubur dalam-dalam, sehingga dengan demikian ia dapat memroklamirkan diri sebagai agen demokrasi.

Tetapi dalam perspektif pembelajaran dan merawat Indonesia, negeri dengan tak terbatas perbedaan serta bentang sejarah ini, masa lalu ialah ruang belajar bagi masa kini. Dus, dari masa lalu itulah masa depan bangsa ini memampatkan pondasi.

Sebagai kepingan kecil dalam gugusan kepulauan Nusantara yang membentang luas, secara mengagumkan Siau di masa lalu adalah daerah yang makmur dan kaya raya. Jauh sebelum Belanda bercokol dan menguasai Kerajaan Siau, pulau ini telah dikenal sebagai penghasil pala dan cengkeh dengan hasil berlimpah. Ketika Belanda perlahan-lahan mulai menancapkan taringnya, tiap jengkal tanah yang ada wajib ditanami cengkih dan pala dengan kaum bangsawan yang mendapatkan previlese penguasaannya.

Satu keuntungan yang dimanfaatkan masyarakat Siau adalah pola dan sistem penanaman cengkeh dan pala, yang kian meningkat secara kualitatif seiring dengan semakin meluasnya kekuasaan Belanda di wilayah tersebut. Pada waktunya, Siau berhasil mencapai kondisi sosial ekonomi yang sedemikian makmur, hingga mendapatkan label Pulau Ringgit. Kemapanan ini berbanding terbalik dengan rakyat di banyak wilayah Nusantara yang hidup berkalang kemiskinan, dan kerapnya diperlakukan sebagai pesakitan. Namun satu catatan merah perlu ditambahkan di sini: kekayaan dan kesejahteraan tidak memadamkan hasrat rakyat Siau untuk bebas dari kolonialisme Belanda.

Ini bukan semata ingin kembali menegakkan kejayaan Kerajaan Siau masa lampau. Semangat kemerdekaan rakyat Siau melewati masanya; primordialisme bukan bagian dari isi kepala mereka. Jauh lebih besar dari kerangkeng chauvinisme kedaerahan, Siau ingin lepas dari kolonialisme Belanda dan menyatu dengan wilayah lain di Nusantara. Terminal dari penyatuan bersama wilayah-wilayah lain di Nusantara itu ialah negara yang bebas di atas kemerdekaannya: Indonesia.

Patut digarisbawahi pula bahwa Siau adalah induk dari pemuda Ernes Dauhan, nasionalis yang mengawinkan gagasan kemerdekaan Nusantara dengan pemuda Soekarno, yang berujung pada lahirnya Partai Nasional Indonesia (baca tulisan saya ‘Harga Diri Pulau Seruas Jari’). Pemahaman yang terlanjur melekat di benak manusia moderen ialah bahwa Belanda benar-benar menjajah wilayah Nusantara selama 350 tahun. Namun nyatanya tidak, karena ada banyak wilayah yang benar-benar keras kepala dan butuh waktu lama hingga benar-benar takluk. Artinya, dalam waktu 350 tahun, sementara satu wilayah kering dihisap Belanda, wilayah yang lain masih berdaulat dan memerintah dirinya sendiri dengan harga diri. Dalam perkara Siau, kedaulatan itu terampas, namun kemakmuran tetap di tangan.

Inilah yang membuat telaah tentang Siau menjadi kian menarik: Siau hanya butuh seuntai saja benang merah untuk menjadi pemicu gagasan tentang satu Nation, yakni keterjajahan. Waktu yang diperlukan bagi pemuda-pemuda Siau dan wilayah lain Nusantara untuk bersatu mewujudkan Indonesia tercatat sedikitnya 20 tahun, jika berangkat dari titik Dauhan bertemu dengan Soekarno. Bukan waktu yang singkat, dan dibarengi dengan banyak pengorbanan, termasuk pembuangan di sana-sini. Kini ketika satu Nation yang mereka cita-citakan tersebut telah terwujud, yakni Indonesia, sungguh tak masuk akal bila nilai kebangsaan yang diberikan oleh Siau kita lupakan begitu saja.

Siau masa lampau, semakmur apapun, menyamakan posisinya dengan wilayah lain Nusantara. Itulah kesamaan mereka yang pertama. Yang kedua, mereka, sekalipun terpisah oleh 17 ribu lebih pulau, punya satu Ibu: Indonesia. Ini telak menggugurkan alasan apapun yang menjadi pemantik disintegrasi yang meruyak secara sporadis di beberapa wilayah Indonesia. Kemakmuran bukan penghalang bagi Siau untuk menutup mata bagi perjuangan rakyat lain yang sengsara. Jika kasusnya dibalik, maka kekurangan apapun yang belum bisa dipenuhi oleh Pemerintah Indonesia dalam periode apapun, semestinya bukan alasan pula untuk memisahkan diri. Rawe-rawe rantas, malang-malang tuntas. Segala halangan yang merintang, haruslah disingkirkan. Bersama-sama, sebagai satu bangsa. Melepaskan diri justru akan melemahkan anak bangsa.

Etnosentrisme adalah semangat yang mudah membakar chauvinist dimanapun. Mencabut akar chauvinisme, itulah hal yang sulit dilakukan. Namun rakyat Siau telah khatam akan hal itu. Mereka paham benar akan pemaknaan satu nation. Satu kesatuan utuh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejak hampir seabad lampau, pemahaman itu telah tuntas dimengerti oleh rakyat Siau. Dari Siau, nilai kebangsaan itu biarlah terus berkilau

 

Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga. Ikut tulisan-tulisan renya dari Yuanita.



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com