MANADO, ZONAUTARA.com – Di kawasan Kampung Cina, dulu dikenal ada tiga produsen mie basah, yakni Mie Wayang, Rumah Makan Yit Hien (Jantung Hati), dan Bintang Wayang. Ketiganya hingga kini masih eksis berjualan.
Kamis (8/2/2018), wartawan Zona Utara bertandang ke rumah kediaman Roy Rambitan (41), yang adalah penerus usaha Mie Wayang atau Mie Ci Bat yang dirintis mamanya Au Jok Lan sejak 1970.
“Saya dulunya tinggal di Jakarta. Tahun 1990 balik ke Manado, membantu usaha ibu membuat dan menjual mie. Beberapa tahun lalu ibu sudah tidak bisa membuat mie lagi, akhirnya saya dan istri meneruskan usaha ini,” tutur Roy membuka perbincangan sore itu.
Roy mengisahkan awal mula usaha mereka. Setiap harinya, mereka bisa memproduksi sekitar 20 sak terigu mie basah. Dalam memproduksi, ibunya dibantu oleh lima orang tenaga kerja. Untuk pembeli didominasi oleh pedagang mie, warung atau rumah makan.
“Karena banyak yang datang membeli, jadi kita produksi pagi dan siang. Kadang sore harinya sudah habis. Mungkin saja karena pabrik mie dulu tidak sebanyak sekarang,” jelas suami dari Jenny Makaraung ini.
Diakuinya, dalam proses pembuatan mie basah pernah menggunakan Abu Cina atau sejenis bahan pengawet. Namun waktu itu sudah ada larangan pemerintah, maka tidak digunakan lagi bahan pengawet tersebut.
“Sebenarnya larangan menggunakan Abu Cina tidak berpengaruh banyak bagi kita. Mie basah yang kita produksi sekali bikin habis hari itu juga. Ini karena kita menyiasatinya dengan memproduksi mie basah dalam jumlah terbatas,” ungkapnya.
Penggunaan Abu Cina, kata dia, tujuannya agar bisa tahan lama. Dia menambahkan, sekarang ini banyak produsen mie basah yang curang, menggunakan bahan kimia tertentu agar terlihat menarik dan sebagainya.
Lanjut Roy, dulu ibunya menciptakan varian baru dari mie yang mereka produksi. Meskipun hanya jalan sekitar dua bulan, namun peminatnya cukup banyak.
“Waktu itu ibu saya coba membuat menu Mie Ba (makanan berbahan dasar mie dan daging babi, red). Namun karena pembeli mie basah kita juga banyak yang muslim, akhirnya mie ba ini kita tiadakan,” tambahnya.
Hal itu, menurut dia, untuk menjaga jangan sampai konsumen menganggap mie yang mereka produksi sudah bercampur dengan daging babi.
Seiring dengan perkembangan zaman, di mana-mana banyak yang buka usaha produksi mie basah mulai dari pabrik besar sampai yang industri rumahan. Belum lagi produk mie instan yang mudah diperoleh di super market hingga warung kecil.
Usaha mie basah yang diwariskan sang ibu tentu tak selaris dulu. Roy mengungkapkan, hampir 10 tahun belakangan ini, dia bersama sang istri sehari-harinya hanya memproduksi tak lebih dari 20 kg mie basah saja.
“Sekarang paling banyak yang datang membeli untuk dikonsumsi sendiri saja. Kalaupun ada yang lebih, itu mereka pesan untuk acara atau hajatan saja seperti arisan atau lainnya,” ungkapnya.
Di akhir wawancara tersebut dirinya mengatakan, meski produksinya menurun, namun dia tetap konsisten menjaga cita rasa yang diwariskan almarhum ibunya.
“Kalau kita tidak konsisten mana mungkin orang datang membeli atau memesan mie di sini. Apa yang didapat saat ini cukuplah untuk memenuhi kebutuhan keluarga,” pungkasnya.
Editor: Eva Aruperes