MANADO, ZONAUTARA.com – Kepulauan Talaud yang kaya dengan keanekaragaman flora, memiliki banyak tanaman yang bernilai ekonomi tinggi. Satu di antaranya adalah pisang Abaka (Musa textilis) atau yang dalam bahasa Talaud disebut busa palianna.
Tanaman yang termasuk dalam famili Musaceae atau jenis pisang-pisangan ini memang banyak yang ditemukan tumbuh liar di Bumi Porodisa.
Serat Abaka banyak manfaatnya. Contohnya, dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan kertas berkualitas tinggi, uang kertas, industri telekomunikasi, inďustri transportasi, serta kertas ringan udara seperti kertas teh celup dan tisu basah. Bahkan untuk merekatkan limbah kertas, butuh 60 persen serat abaka.
Abaka sebenarnya bisa jadi tanaman alternatif termudah bagi pabrik kertas karena hanya membutuhkan 18 bulan untuk diproduksi tanaman untuk produksi kertas lainnya.
Indonesia memiliki industri garmen terbesar di Asia Tenggara. Tapi tidak punya pasokan kapas karena hanya diimpor dari negara lain. Abaka bisa jadi pengganti kapas untuk tekstil.
Sejauh ini, budidaya Abaka pernah diseriusi banyak pihak agar dapat dikembangkan menjadi komoditi ekonomi yang meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Bagian dari keseriusan yang dimaksud seperti yang pernah dilakukan Bank Indonesia (BI) Perwakilan Sulawesi Utara (Sulut) pada tahun 2012 yang pernah memberikan sentuhan dana untuk bibit dan pelatihan petani Abaka di beberapa kecamatan, di antaranya Essang dan Rainis.
Lalu mengapa nasib perkebunan Abaka layaknya peribahasa “hidup enggan, mati pun tak mau”? Padahal lahan yang dibutuhkan tidaklah sulit karena Abaka bisa menjadi tanaman sela di antara tanaman kelapa.
Baca: Pengusaha Jepang bakal borong Abaka di Talaud
Bila jadi tanaman sela dari lahan kebun Kelapa, Talaud sebenarnya bisa menjadi penghasil Abaka terbesar dunia setelah Philipina. Mengapa demikian? Bukankah Talaud hanya memiliki lahan 30 ribu hektar (ha) sedangkan Philipina 300 ribu ha?
Apakah produksi Abaka Philipina tidak menurun jauh karena dilanda musibah badai? Bisa jadi sekarang Philipina hanya unggul tipis dari Talaud.
BI Perwakilan Sulut pernah menargetkan perluasan kebun Abaka di Talaud mencapai 5.000 ha dengan hasil setiap panen yang mencapai 20 ribu ton.
Soal hitung-hitungan keunggulan budidaya Abaka cukup menarik ditelisik. Dalam lahan 1 ha Abaka tumbuh mencapai 1.000 rumpun yang dapat dipanen dua sampai tiga kali setahun. Hasil produksi Abaka dari lahan seluas 1 ha dapat mencapai sekitar 6 ton. Dari hitungan itu bisa diperoleh penghasilan sekitar Rp 60 juta bila hitungan 10.000 per kilogram (kg).
Bila dibandingkan harga kopra sangat beda jauh. Kelapa per hektar hanya bisa menghasilkan kopra sekitar 6 ton. Dalam setahun hanya bisa mendapat penghasilan sekitar 30 juta saja.
Perihal penurunan produksi Abaka di Philipina seakan terjawab dengan kedatangan investor Jepang yang mencari tambahan pasokan di Talaud, awal Desember 2018. Ryo Tanabe, investor asal Jepang,
Berdasarkan informasi dari investor Jepang tersebut, perusahaannya butuh 300 ton. Bila harga Abaka sebelumnya sebesar Rp 10.000 per kg untuk grade 1, Jepang bisa borong dengan harga Rp 21.000 per kg untuk grade 1.
Akankah nasib petani Abaka mengalami masa kejayaannya atau tetap merana? Wallahualam.
Editor: Rahadih Gedoan