bar-merah

Status lahan terdampak likuifaksi tunggu revisi Perda RTRW

zonautara.com
Daerah Petobo saat kejadian likeufaksi di Palu. (Foto: zonautara.com/Ronny Adolof Buol)

PALU – Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sulawesi Tengah, masih menunggu penetapan perubahan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Palu dan Kabupaten Sigi. Penetapan perubahan perda itu penting untuk menentukan status kepemilikan lahan warga di kawasan terdampak likuifaksi.

Empat kawasan itu yakni di Kelurahan Balaroa, Petobo, Jono Oge dan Sibalaya Selatan.

Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Sulteng, Ir Andry Novijandri mengatakan, sesuai Peta Zona Rawan Bencana Kota Palu, yang telah ditandatangani pemerintah, kawasan terdampak likuifaksi masuk dalam ZRB 4. Artinya, wilayah likuifaksi berada dalam Zona Merah yang tidak layak untuk dihuni.

“Status tersebut juga akan menjadi pertimbangan BPN dalam menyikapi status lahan. Tapi kami masih menunggu kebijakan dari pemerintah pusat,” kata Andry, Jumat pekan lalu.

Saat ini, BPN masih berfokus untuk memastikan korban yang tidak memiliki hunian setelah bencana 28 September 2018. Dia berharap agar para korban yang belum memiliki hunian bisa segera mendapatkan tempat tinggal.

Hasil analisis sementara pemetaan secara spasial Badan Nasional Penanggulangan Bencana per 18 Oktober 2018, menunjukkan, bahwa rumah terdampak likuifaksi di Balaroa, Kota Palu, mencapai 1.045 unit dengan luas wilayah 47,8 hektar.

Jumlah perkiraan rumah terdampak di Petobo, Kota Palu mencapai 2.050 unit dengan luas wilayah 180 hektar. Sedangkan di Jono Oge, Sigi, mencapai 366 unit dengan luas wilayah 202 hektar.

Sebelumnya, sebagaimana dikutip dari Tempo, Pusat Air Tanah Dan Geologi Lingkungan Badan Geologi telah membuat riset yang memprediksi potensi likuifaksi di Palu. Riset tahun 2012 itu menghasilkan Peta Zona Bahaya Likuifaksi untuk daerah Palu dan sekitarnya. Peta tersebut sudah diserahkan pada pemda setempat.

Menurut peneliti Geologi Teknik Badan Geologi, Taufik Fira Buana, di dalam peta itu ada keterangan sangat tinggi, tinggi, dan rendah. “Kalau tinggi, dia berpotensi sekali terjadi likuifaksi,” kata Taufik Wira Buana dikutip dari Tempo, Rabu, 3 Oktober 2018.

Taufiq mengatakan, Balaroa dan Petobo di Palu termasuk dalam daerah yang berpotensi terjadi likuifaksi. “Balaroa potensi tinggi. Sedangkan Petobo sangat tinggi di peta tersebut,” kata dia.

Likuefaksi secara sederhana, kata dia, adalah proses hilangnya kekuatan tanah, daya dukung tanah, karena proses pencairan atau pembuburan akibat efek guncangan gempa bumi. Efek likuefaksi ada yang bersifat lokal dan ada yang menjangkau dalam area yang luas.

Menuru Taufiq, Palu menjadi salah satu daerah yang menjadi pilihan untuk penelitian potensi likuifaksi karena keberadaan sesar Palu-Koro. “Palu dekat dengan sumber gempa. Dan sesar Palu-Koro, beberapa ahli sudah menyatakan itu termasuk yang aktif bergerak. Berpotensi besar gempanya,” kata dia.

Sementara faktor kondisi kekuatan tanah berkaitan dengan kondisi geologi tanahnya. Umumnya likuifaksi terjadi dengan syarat kondisi tanahnya tersusun dari endapan aluvium yang sifatnya lepas. Di bagian kota Palu sendiri umumnya terdiri dari jenis batuan pasir, kerikil, lanau, dan lempung. “Dominasinya kalau di Palu itu pasir,” kata Taufiq.

Syarat itu tidak cukup. Tanah dengan sifat lepas seperti aluvium itu harus jenuh air. Palu memeuhi syarat tersebut. “Kondisi tanahnya jenuh air. Ini ditandai dengan muka air tanahnya dangkal. Estimasinya kurang dari 10 meter,” kata Taufiq. “Beberapa daerah dengan kondisi air tanah kurang dari 10 meter termasuk dangkal. Dan cenderung memberikan likuefaksi.”

Penulis: Jefrianto dan Ika Ningtyas
Editor: Ika Ningtyas



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com