bar-merah

Heboh buaya makan orang. Tak semestinya satwa liar jadi peliharaan

zonautara.com
Penangkaran buaya. (Foto: zonautara.com/Ronny Adolof buol)

MANADO, ZONAUTARA.com – Publik Sulawesi Utara dihebohkan dengan kejadian tak lazim, Jumat (11/1/2019). Buaya memangsa orang.

Kehebohan itu datang dari lokasi budidaya mutiara milik CV. Yosiki di desa Ranowangko, Kecamatan Tombariri, Minahasa.

Buaya berukuran panjang sekitar 4 meter itu memangsa Kepala Laboratorium CV Yosiki, Deasy Tuwo (44).

Saat ditemukan, tubuh korban dalam kondisi tak utuh lagi. Bagian dadanya tercabik dan salah satu tangannya hilang. Diduga buaya yang berada di dalam kandang berbentuk kolam itu telah memakannya.

Buaya yang diberi nama Merry –sesuai dengan nama pengasuh sebelumnya– dipelihara oleh pemilik CV Yosiki, Ochiai, warga negara Jepang.

Warga sekitar berbondong-bondong saat mengetahui, buaya yang sudah bertahun-tahun di kandang perusahaan itu memangsa orang.

Spekulasi merebak, Deasy dimangsa karena terpeleset ke dalam kandang. Tak ada yang melihat kejadian persisnya seperti apa.

Tubuh Deasy ditemukan oleh rekan sekerjanya Erling Rumengan (37), karena penasaran Deasy tak terlihat dalam waktu cukup lama.

Deasy, perempuan lajang yang menurut rekannya pendiam serta rajin itu, memang setiap hari memberi makan buaya yang telah berusia sekitar 30 tahun itu.

Polisi dari Polsek Tombariri yang mendatangi lokasi, kemudian mengevakuasi korban dan membawanya ke kamar jenazah Rumah Sakit Prof Kandouw Malalayang.

Deasy berasal dari desa Suluun, Tareran, Minahasa Selatan.

Kini polisi masih mencari tahu, penyebab hingga Deasy menjadi korban buaya. Kapolda Sulut Irjen Pol Sigid Tri Hardjanto telah memrintahkan anggotanya untuk menyelidiki kasus ini.

Sementara itu, Ochiai, pemilik CV Yosiki belum diketahui keberadaannya. Saat kejadiaan dia tidak berada di lokasi.

Diatur Undang-undang

Sekretaris Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara, Hendrik Rundengan mengatakan telah menurunkan tim untuk melihat buaya tersebut.

Rencananya hari ini, Sabtu (12/1/2019) tim BKSDA akan kembali berkoordinasi dengan kepolisian setempat. Buaya itu menurut Hendrik akan dievakuasi ke lokasi konservasi mitra BKSDA.

Pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pernah menghimbau warga di Jakarta untuk menyerahkan buaya yang dipelihara ke BKSDA DKI Jakarta.

Jika tidak, warga yang memelihara reptil buas itu, bisa terancam dipidana, apalagi jika peliharaannya meresahkan.

Undang-undang RI nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem mengatur soal kepemilikan satwa liar yang dilindungi.

Seseorang bisa dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda Rp 100 juta, jika memelihara satwa liar yang dilindungi tanpa ijin dari BKSDA.

Buaya adalah reptil buas dan liar. Buaya berperangai pendiam dan terlihat tak berbahaya. Namun reptil ini bisa menyerang manusia secara tiba-tiba. Secara genetik buaya adalah hewan liar dan buas.

Manajer Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki, Billy Lolowang menerangkan bahwa buaya bisa tidak makan dalam jangka waktu yang cukup lama. Itu karena metabolisme tubuh buaya yang sangat lambat.

Di PPS Tasikoki sendiri, ada beberapa ekor buaya yang dititipkan oleh BKSDA Sulut dari hasil penyitaan kepemilikan ilegal.

Dua ekor buaya milik Benny Mamoto yang sebelumnya dipelihara di Pa’Dior, Tompaso , kini sudah berada di PPS Tasikoki setelah diserahkan ke BKSDA.

“Harus ada izin, ada aturan yang mengatur tentang itu. Tak bisa sembarang,” ujar Hendrik, Jumat (11/1/2018), sebagaimana dikutip dari Tribunmanado.co.id.

BKSDA Sulut kerap melakukan operasi terhadap kepemilikan ilegal satwa liar. Banyak warga masih memelihara satwa liar tanpa mengurus ijin. Itu melanggar undang-undang.

Warga yang ingin memelihara satwa liar harus menggantongi sertifikat bagi satwa dalam kategaroi F2 dari BKSDA. Kategori F2 adalah satwa turunan, indukannya masuk kategori F0. Jadi yang bisa dipelihara adalah generasi ketiganya.

Pihak yang ingin memelihara satwa liar juga harus menyediakan berbagai fasilitas yang memungkinkan satwa liar itu mendapat kehidupan yang layak.

Situs WWF Indonesia menulis, memelihara satwa liar itu bisa berdampak buruk. Selaian menghabiskan banyak uang untuk perawatannya, satwa liar bisa menyebarkan berbagai penyakit zoonosis dan membahayakan diri sendiri atau orang lain.

Deasy menjadi contoh bahwa memelihara satwa liar itu berbahaya. Walau korban telah menjadi semacam pengasuh bagi buaya itu, toh hewan buas itu akhirnya memangsanya juga.

Editor: Ronny Adolof Buol



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com