bar-merah

Petobo, dari daerah perang menjadi hunian

zonautara.com
Grafis: Kabar Sulteng Bangkit

PALU — Lumpur setinggi tiga meter di Petobo telah lama mengering, memendam banyak rumah dan jazad manusia. Serpihan-serpihan puing menyatu dalam debu yang beterbangan di tengah terik yang memanggang.

Di atas tanah bekas bencana likuefaksi itu, kini hanya menyisakan cerita-cerita kesedihan yang tak berkesudahan.

Nama Petobo menjadi fenomenal setelah dilumat likuefaksi 28 September 2018 silam. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), mencatat, gempa 7,4 SR memicu likuefaksi di tanah seluas 180 hektare dari 1.040 hektare total luas Kelurahan Petobo.

Riwayat Petobo ada dalam cerita rakyat orang Kaili. Tokoh adat Desa Pombewe, Atman Givu Lando, mengatakan, Petobo berasal dari kata “tobo” yang berarti menusuk. Nama itu sesuai kisah Taboge Bulava yang hendak dinikahi oleh seorang pria suku Kaili Tara dengan mahar membuat saluran dari Sungai Kawatuna.

Tetapi saat prosesi Petambuli, sang mempelai pria meninggal. Taboge Bulava kemudian dilamar kembali oleh pria dari Panggevei, tetapi mendapat penolakan dari keluarganya.

“Peristiwa ini berujung dengan penusukan yang melukai Taboge Bulava,” kata Atman.

Sebelum bernama Petobo, kawasan tersebut bernama Jajaki yang artinya tempat polibu atau musyawarah, sebelum terjadinya Perang (Kagegere) Lando–Sidima.

Wilayah Jajaki terdiri dari beberapa bagian, yaitu Boya atau Ranjole Kinta, Varo, Nambo, Ranjobori, Pantaledoke, Popempenono, dan Kaluku Lei.

Nambo sebelum likuefaksi, terletak di sekitar Jl. Mamara, Kelurahan Petobo. Nambo diambil dari nama Raja Loru, Nambo Lemba.

Kisah Nambo Lemba berakhir hilang (na’Lanya) di Sungai Ngia, yang dulunya mengalir dari Kapopo lalu bertemu dengan sungai Kawatuna ke arah Levonu (daerah sekitar Dunia Baru dan Mall Tatura).

Keterangan soal Sungai Ngia itu tertera dalam Peta tahun 1897 buatan ahi etnografi Belanda, Albertus Christian Kruyt, yang diterbitkan Diens Kartograi Batavia pada 1941. Dalam peta itu menggambarkan bahwa ada Sungai Ngia (Kapopo) yang mengalir di Petobo.

Hal ini juga dikatakan Arkeolog Museum Sulawesi tengah, Muh. Iksam. “itu adalah bekas aliran sungai purba, yang mengalir dari daerah Kapopo (Ngata baru) dan bersatu dengan sungai palu di Tatura,” kata Iksam, beberapa waktu lalu.

Atman menceritakan, dulunya, Petobo hanya dipakai sebagai tempat berperang. Itu yang memunculkan nama Pantale doke alias tempat menaruh tombak serta Ranjobori sebagai wilayah khusus untuk peperangan.

Dalam beberapa tahun berikutnya, Petobo kemudian khusus diminta menjadi tempat tinggal. Akan tetapi, dulunya, penduduk Petobo tidak boleh lebih dari 60 orang.

“Jika lebih, warga meyakini akan datang bencana dan penyakit sehingga jumlahnya kembali menjadi 60 orang,” kata Atman.

Agar tak jadi malapetaka, penduduk Petobo melangsungkan upacara adat dengan menyusun sejumlah tombak dan guma (pedang) untuk dijadikan Kinta atau kampung kecil sebagai hunian.

“Sejak saat itu penduduk di Kinta dapat bertambah”, ujar Atman.

Dalam Dokumen Rencana Tata Ruang Kota (RUTRK) Kotamadya Palu 1995, tertulis, bahwa dalam periode itu penggunaan lahan untuk pemukiman dan pembangunan fasilitas umum di Kelurahan Petobo, hanya seluas 40,306 hektare.

Sedangkan sisanya masih berupa semak, sawah, kebun kelapa dan jaringan irigasi.

Namun, berikutnya, Petobo makin padat dengan hunian. Kompleks-kompleks parumahan banyak dibangun di atas bekas Sungai Ngia.

Di bekas sungai itulah, lumpur likuefaksi 28 September melumat ratusan rumah dan bangunan lain setelah gempa mengguncang. Tepat di batas timur, ada sekitar 15 rumah di Kinta, bekas kampung pertama di Petobo yang selamat dari kepungan likuefaksi.[]

Penulis: Mohamad Herianto
Editor: Ika Ningtyas



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com