MANADO, ZONAUTARA.com – Selain dua satwa kunci yang sudah diuraikan pada artikel sebelumnya, yakni yaki dan anoa, ada dua satwa kunci lagi yang menjadi khas Sulawesi Utara.
Kedua satwa kunci itu juga, sebagaimana yaki dan anoa statusnya terancam punah. Keduanya adalah:
Maleo
Burung maleo atau Maleo sengkawor (macrocephalon maleo) adalah burung unik sejenis burung gosong yang berukuran sedang, dengan panjang tubuh sekitar 55 cm. Yang unik dari burung ini adalah saat telurnya menetas, anak maleo sudah bisa langsung terbang.
Ukuran telur maleo sangat besar dengan berat sekitar 240 gram hingga 270 gram, dengan ukuran rata-rata 11 cm. Jika dibandingkan dengan telur ayam, telur maleo bisa lebih besar 5 hingga 8 kali.
Maleo menimbun telurnya di lokasi yang hangat, dengan cara menggali lubang yang sangat dalam. Untuk menggali lubang, betina maleo selalu berpasangan dengan jantannya.

Maleo betina kemudian meletakkan telurnya di dasar lubang. Setelah itu, lubang ditutupi dan ditinggalkan begitu saja hingga telur akan menetas kemudian.
Karena keunikan cara bertelurnya yang harus mencari lokasi yang hangat, tidak semua tempat bisa dijadikan lokasi bertelur maleo. Biasanya maleo bertelur di lokasi yang ada sumber panas buminya.
Dulunya maleo banyak ditemui di berbagai wilayah di Sulawesi Utara, namun seiring dengan perburuan terhadap telurnya, kini maleo hanya bisa dijumpai di beberapa lokasi.
Lokasi-lokasi yang masih bisa melihat aktifitas maleo di habitat aslinya di Sulawesi Utara ada di wilayah Bolaang Mongondow, yakni di site maleo di Muara Puasian dan Tambun.
Selain itu, habitat maleo bisa dijumpai di Gorontalo, Toli-toli, Sigi
dan Bangai (Sulawesi Tengah). Selain telurnya yang dicari oleh masyarakat lokal, telur maleo juga sering diburu oleh predator semacam biawak.
Populasi maleo terus terancam punah, sehingga dimasukan dalam daftar merah IUCN dengan status endangered. Diperkirakan saat ini populasi maleo hanya sekitar 10.000 ekor saja.
Babirusa
Walau sebaran babirusa (Babyrousa babyrousa) ada di sekitar pulau Sulawesi dan Maluku, namun satwa khas dan unik ini dulunya banyak ditemui di wilayah Sulawesi Utara.
Kini di Minahasa, keberadaan babirusa nyaris punah. Babirusa masih dilaporkan ditemui di wilayah Sulawesi Utara yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartanone di Bolaang Mongondow.
Untuk melihat hewan yang punya taring panjang ini dengan mudah, harus menempuh perjalanan yang cukup jauh ke kawasan Suaka Margasatwa Nantu di Gorontalo.

Babirusa hidup di habitat hutan hujan tropis. Hewan ini gemar makan buah-buahan dan tumbuhan seperti mangga, jamur dan dedaunan. Setiap saat babirusa harus menjilati garam di kubangan air yang mengandung mineral. Di Nantu, ada kolam adudu yang rutin didatangi kawanan babirusa untuk menjilati garam.
Satwa dengan panjang tubuh sekitar 87 sampai 106 sentimeter ini aktif di malam hari. Tinggi badanya sekitar 65-80 sentimeter dengan berat tubuh bisa mencapai 90 kilogram.
Jantannya mempunyai taring yang mencuat ke atas, yang bisa mencapai ukuran yang sangat panjang hingga membengkok mendekati matanya. Taring pada betinanya hanya berukuran kecil, nyaris tak terlihat.
Babirusa betina melahirkan satu sampai dua ekor satu kali melahirkan. Masa kehamilannya berkisar antara 125 hingga 150 hari. Bayi babirusa itu akan disusui selama satu bulan, setelah itu akan mencari makanan sendiri di hutan bebas. Selama setahun babirusa betina hanya melahirkan satu kali. Usia dewasa seekor babirusa lima hingga 10 bulan, dan dapat bertahan hingga usia 24 tahun.
Babirusa aslinya adalah hewan pemalu, namun bisa menjadi buas jika diganggu. Hewan ini punya suara mendengkur yang khas, dan suka bermain di kubangan air atau lumpur.
Status babirusa dalam daftar IUCN adalah vulnerable. Hewan ini termasuk satwa yang dilindungi untuk tidak diburu dan diperdagangkan.
Editor: Ronny Adolof Buol