bar-merah

Hoaks dan Ujaran Kebencian, tren baru di Sosial Media?

zonautara.com
Ilustrasi (Foto: pexels.com/Porapak Apichodilok)

Oleh: Pascal Andre Rampengan

Berkembang pesatnya sosial media sebagai salah satu produk unggulan Revolusi Industri 4.0 merupakan fenomena yang tidak dapat dipungkiri. Demikian sosial media memainkan peranan yang penting yang dapat menjadi indikator apakah suatu bangsa mampu beradaptasi kemudian mengimplementasikannya dalam mendorong kemajuan peradaban manusia. Masyarakat kemudian mau tidak mau harus siap menguasainya namun di lain pihak muncul pertanyaan apakah bisa mereka memanfaatkan fenomena tersebut dengan baik?

Tanda-tanda konkret yang dapat dilihat dari fenomena ini adalah meningkatnya jumlah pengguna sosial media. Jumlah yang besar itu diimbangi dengan besarnya produksi penunjang sebut saja telepon genggam. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk ke-4 terbanyak di dunia menjadi salah satu negara dengan pengguna sosial media terbanyak. Ditunjang upaya pemerintah untuk membumikan produk modern ini dengan cara memperluas jaringan internet, memudahkan masyarakat mengakses sosial media. Kita dapat melihat dampaknya bahwa dari semua lapisan usia, laki-laki maupun perempuan, tidak kalah eksis untuk memiliki akun sosial media bahkan bukan untuk satu platform saja tapi beragam mulai dari Facebook, Twitter, Instagram, Whatsapp, sampai YouTube Channel. Namun sekali lagi, pertanyaan apakah masyarakat benar-benar siap menghadapai perkembangan zaman ini menjadi satu urgensi utuk direfleksikan bersama.

Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu dampak menguntungkan dari canggihnya sosial media ditunjang dengan cepatnya koneksi internet membuat informasi begitu cepat diakses. Hanya dengan satu kali sentuhan di gawai pribadi yang jauh bisa menjadi dekat, yang tadinya dibutuhkan waktu berminggu-minggu untuk sampai kini hanya beberapa detik saja. Tapi apakah masyarakat benar-benar menggunakannya secara bijak menjadi satu pertanyaan yang penting!

Berbicara mengenai dampak yang dapat ditimbulkan maka kita akan menemukan satu kenyataan bagai dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan, yakni keuntungan dan kerugian. Sudah jelas dampak yang bisa kita tarik dari keuntungan adanya sosial media. Tapi dampak buruknya? Sampai sekarang masih menjadi ancaman bahkan sudah terlanjur menjadi malapetaka.

Baru-baru ini, di Indonesia digemparkan dengan beredarnya kasus perundungan yang dilakukan terhadap satu siswi sampai memunculkan tagar yang menjadi viral yaitu #SaveAudrey. Perundungan yang menimpa beliau memunculkan polemic di atas polemic karena besarnya pengaruh sosial media. Masyarakat dunia maya yang disebut netizen beramai-ramai memberikan komentar ada yang meneguhkan dengan memberikan saran yang solutif, tapi ada yang justru sebaliknya, menghasut sesama netizen untuk memberikan pandangan yang menyerang dan justru mengaburkan suasana.

Orang memanfaatkan sosial media untuk saling menghujat, menjatuhkan, bahkan merendahkan martabat orang lain. Sosial media dianggap sebagai wadah yang tepat untuk membantai sesama manusia, untuk menyerang kepribadian seseorang, hingga membunuh karakter. Sosial media yang tadinya menjadi wadah bertukar informasi, wadah untuk saling meneguhkan, malah berputar menjadi wadah untuk menumbangkan orang lain.

Penelitian menyatakan bahwa orang melakukan aksi pembantaian melalui sosial media dengan tujuan memperoleh kepuasan, mencapai kebahagiaan bahwa yang bersangkutan berhasil mempermalukan seseorang secara luas. Kenyataan tersebut justru membawa kita pada apa yang pernah dikatakan Aristoteles dalam perspektifnya tentang etika yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul Ethica Nichomachea. Bahwa yang dimaksud dengan kebahagiaan sejati bukanlah tentang ketika seseorang membantai orang lain tanpa ampun di media sosial. Tapi kebahagiaan itu adalah ketika manusia sudah menjalankan aktivitasnya dengan baik menurut keutamaan atau kualitas positif dalam diri manusia.

Ujaran kebencian seakan tak pernah habis. Karena masyarakat dunia maya sama-sama merasa benar dan berhak menghakimi sesuatu tanpa mengetahui hal ikhwal terjadinya sesuatu. Berhadapan dengan kondisi ini, kita diingatkan akan betapa pentingnya etika dalam berkomunikasi, akan betapa pentingnya kesopanan, dan tata krama.

Belum habis masalah ujaran kebencian di sosial  media, masyarakat dunia maya masih dihebohkan dengan beredarnya berita bohong, berita yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, dan berita yang tidak diketahui dari mana asalnya.

Pesta demokrasi yang baru saja dirayakan secara meriah oleh Indonesia, menjadi sasaran empuk untuk menyebarkan berita bohong. Di berbagai sosial media beredar gambar-gambar yang tidak dapat dipertanggungjawabkan yang tujuannya untuk memecah bela bangsa dan menimbulkan kekacauan. Masyarakat yang tidak tahu apa-apa terpengaruh bahkan terprovokasi. Kampanye Saring sebelum Sharing seakan tidak ada gunanya justru semakin banyak beredar berita bohong yang menghasut dan menyebarkan rasa takut disebarkan oleh akun anonym.

Ketegangan tidak dapat dihindarkan, apalagi isu yang digoreng adalah isu yang sangat sensitive di Indonesia, yakni isu ras, budaya, sampai agama. Bertubi-tubi Indonesia diserang oleh berita bohong mulai dari yang menyinggung soal agama sampai isu teror bom tapi tetap Indonesia bertahan, mengapa? Kita punya payung hukum, kita adalah negara hukum. Pasal 28 ayat (2) Undang Undang No. 11 Tahun 2008 tentang ITE menyebutkan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan kebencian atau penghasutan individu dan/ kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan terancam pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000 (Rp. 1 Miliar). Keberadaan payung hukum ini memang perlu dikawal terus pelaksanaannya supaya dapat benar-benar memberikan efek jera bagi para pelaku.

Dalam rangka merayakan hari komunikasi sedunia Paus Fransiskus pernah berpesan  bahwa Kebenaran akan memerdekakan kamu! Dari pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pada akhirnya kebenaran sejatilah yang harus diutamakan, bahwa kebenaran merupakan satu yang mutlak yang harus diperjuangkan bersama.

Hoaks ataupun ujaran kebencian di dalam sosial media barangkali akan tetap ada, tapi bila manusia berpegang teguh pada kebenaran dan kemudian menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan serta etika dalam menggunakan sosial media, maka akan terbangun karakter masyarakat yang peduli dan punya kesadaran bahwa apa yang dilakukan perlu dipertanggungjawabkan. Dengan begitu tidak akan ada lagi tren hoaks ataupun berita bohong dalam Sosial media yang ada hanya semangat untuk menunjang lahirnya budaya masyarakat yang bijak.

Pascal Andre Rampengan

Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik De La Salle Manado.

Pascal Andre Rampengan


Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com