bar-merah

Catatan perjalanan Labuan Bajo (2): Terbirit-birit di rumah makan yang tak enak

zonautara.com
Senja di kapal feri Prisma Elisa.(Image: zonautara.com/Ronny Buol)

SUMBAWA, ZONAUTARA.com – Bus Langsung Indah yang hampir penuh terisi kursinya itu, tak memberi jeda apapun. Tiba di pelabuhan Kayangan, langsung masuk ke dalam perut kapal feri Prisma Elisa.

Anak buah kapal hanya bilang, “sebentar lagi berangkat”, saat saya tanya kapal akan bertolak jam berapa. Lantai satu kapal yang akan menyeberangkan kami ke Pelabuhan Poto Tano di pulau Sumbawa terus dijejali kenderaan, truk, bus, mobil pribadi, sepeda motor dan berbagai angkutan barang.

Saya bergegas menyambar kamera, usai meletakkan tas cariel saya di kabin lantai dua. Ditinggal begitu saja, dan saya yakin tak ada tangan jahil. Bunyi shutter release Fuji XT10 saya menyambar apa saja di dermaga yang rapih itu. Langit berawan namun masih sudi mempersilahkan berkas matahari yang sebentar akan terbenam, jatuh di satu sisi kapal.

zonautara.com
Para penumpang duduk di anjungan kapal feri.(Image: zonautara.com/Ronny Buol)

Tak banyak cakap yang saya interaksikan dengan para crew kapal yang menyapa di dermaga. Saya memanjat ke dek paling atas, bergegas karena melihat sekilas awan yang memerah. Pengumuman yang meminta orang yang tak berkepentingan meninggalkan kapal, pertanda kapal akan segera bertolak. Benar saja, sesaat kemudian, tiga orang pengamen yang tadi menghibur penumpang berlari dan meloncat ke dermaga. Kapal lepas tali.

Adegan itu masih sempat saya rekam untuk video pendek yang akan saya upload di channel Youtube nanti. Perjalanan seindah ini perlu diabadikan, meski apa adanya. Getaran pelan badan kapal mengirim isyarat refleks ke tangan saya yang memotret sore menjemput malam dengan kecepatan rana rendah. Dan hasilnya memuaskan, menambah koleksi foto sunset saya. Kali ini dari ujung pulau Lombok.

Kapal bertolak pukul 18.30 WITA. Dengan bermandi peluh, saya mengisi perut dengan nasi bungkus yang dibeli dari para penjual yang naik ke kapal. Sebotol air mineral menemami perjalanan menyeberang antar pulau dengan jarak tempuh sekitar sejam ini. Saya tak perlu beli tiket, sebab sudah termasuk dalam biaya tiket bus Mataram-Bima seharga Rp 220.000.

zonautara.com
Nasi bungkus yang dibeli dari penjual yang naik di kapal.(Image: zonautara.com/Ronny Buol)

Mampir-mampir

Tiba di Pelabuhan Poto Tano pada pukul 19.48. Persis saat naik, bus yang saya tumpangi langsung jalan begitu keluar dari perut kapal. Kami para penumpang diminta naik saat kapal belum sandar. Bus melaju membelah jalanan. Sepi dan kegersangan di mana-mana.

Sopir dan kondektur berteriak kepada siapa saja yang menjinjing tas atau menjagai barang di tepi jalan. Saya yakin, ongkos yang dibayarkan “penumpang singgah” itu tak disetor ke perusahaan. Toh tidak juga dicatat dalam manifes. Mereka berdua nanti berhenti berteriak saat bus penuh.

Setelah dua jam berjalan, tetiba bus berhenti dan kondektur minta penumpang turun. Sebuah rumah makan menjadi tempat perhentian. Saat turun, kondektur menyodorkan kartu kecil seukuran 5 cm x 5 cm berwarna biru. Itu adalah kupon yang akan ditukarkan dengan makanan. Penumpang tak perlu membayar.

Begitu turun, saya bergegas ke toilet yang tidak bersih. Usai buang air kecil saya pun mengantri makanan. Menunya hanya nasi ditemani semangkuk coto ayam yang tidak enak. Belakangan dari jejak timeline Google Map, saya tahu rumah makan itu: Rumah Makan Ramayana di Karang Bima, Labuhan Badas, yang pelayannya semua nenek-nenek.

Saya lahap, karena memang lapar. Tapi setelah itu saya buru-buru kembali ke toilet. Kali ini harus menanggalkan semua celana. Perut saya mules. Lalu datanglah panggilan itu, kencang pula: “ayo ayo kita berangkat sekarang, cepat!”. Dan seketika itu juga yang bersiap keluar tak jadi keluar.

Bukan hanya saya yang dongkol, satu keluarga yang sedang makan itu juga menggerutu, sebab anaknya baru saja akan makan. Tapi kondektur dan sopir itu tak mau tahu, mesin bus sudah dinyalakan dan mereka siap berangkat.

zonautara.com
Bus bersiap melaju membelah jalanan.(Image: zonautara.com/Ronny Buol)

Setelahnya, yang tersisa adalah keheningan malam. Jalan berkelok, sepi dan dengkur yang bersahut-sahutan menjadi teman perjalanan. Bus ini tak punya pemutar lagu. Saya ditemani dengan pikiran ke sana-kemari selama delapan jam perjalanan menuju Terminal Dara di Rasanae Barat, Bima.

Dalam perjalanan sesekali tampak perbukitan, sawah kering, lahan dan pekarangan yang berwarna cokelat. Gersang dan kerontang. Saya membayangkan debu yang beterbangan jika perjalanan ini dilakukan siang hari.

Bersambung . . .



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



TAGGED:
Share This Article
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com