Tak bisa dipungkiri, 125 hektar ekosistem mangrove di kawasan Teluk Labuan Uki mengalami degradasi. Padahal areal yang mencakup empat desa di Kecamatan Lolak, Kabupaten Bolaang Mongondow itu menjadi tempat hidup berbagai hewan laut bernilai ekonomi tinggi dan sekaligus benteng terhadap ancaman bencana abrasi serta tsunami.
Matahari bersinar terik tepat berada di atas ubun-ubun, Sabtu 14 Desember 2019. Tapi itu tak menyurutkan semangat Wasman Pantow, warga Desa Sauk, Kecamatan Lolak, Kabupaten Bolaang Mongondow saat menceritakan kondisi hutan mangrove di wilayah pesisir desa itu. Wasman ditemani Sabdar Gobel (54) warga yang sama, bercerita di lokasi pembibitan mangrove yang hanya berjarak sekitar 30 meter dari jalan Trans Sulawesi.
Lokasi pembibitan ini merupakan bagian dari areal seluas 125 hektar tanaman mangrove di Teluk Labuan Uki. Sebuah teluk yang mencakup wilayah empat desa di Kecamatan Lolak, yakni Desa Sauk, Desa Baturapa, Desa Baturapa Dua dan Desa Labuan Uki.
Dengan berapi-api, pria berusia 48 tahun itu menyebutkan bahwa dulunya, tanaman mangrove di pesisir Sauk tumbuh lebat dan rapat. Pohonnya besar dan daunnya rimbun. Kondisi itu membuat berbagai hewan laut seperti ikan, udang, kepiting, siput dan lain-lain dengan mudah dijumpai.
“Dulu di sini hanya berjalan sekitar 10 meter dikerumunan mangrove, kita bisa langsung menjumpai kawanan ikan. Ada juga kepiting. Ukurannya besar-besar,” kata Wasman.
Berbeda dengan kondisi saat ini, apa yang dia pernah lihat dulu tidak lagi sama. Itu lantaran, sebagian dari tempat hewan laut berkembiak itu tidak ada lagi. Kayu-kayu besar habis ditebang. Yang tersisa hanya yang ukuran-ukuran kecil saja.
Wasman bernostalgia ke tahun 70-an. Saat itu, ada perusahaan pengolahan ikan kaleng masuk. Tapi Wasman dan warga desa curga, itu hanya kedok.
“Warga sekitar dibuat kaget. Karena ribuan pohon mangrove dibabat. Dan diangkut dengan kapal. Entah dibawa ke mana. Melihat itu kami juga ikut-ikutan mengambil kayu Tin (sebutan lokal untuk mangrove). Masa ini sudah dari nenek moyang ada di sini, lalu orang luar yang ambil seenaknya,” kenang Wasman.
Dugaan pengrusakan dan eksploitasi tanaman mangrove tak hanya dilakukan oleh perusahaan pengolahan ikan kaleng itu. Berbagai aktivitas yang membabat hutan mangrove kerap dilakukan tanpa pencegahan.
Johans Masabare (45), warga Desa Baturapa yang berbatasan langsung dengan Desa Sauk itu juga mengisahkan hal yang sama dengan Wasman. Pekebun sekaligus nelayan ini mengatakan bahwa dulunya mangrove di Baturapa jauh lebih padat dari kondisi saat ini. Pohonnya juga besar-besar. Penyebabnya sama. Perusahaan pengolahan ikan kaleng. Sekitar lima hektar yang dibabat.
“Saya masih ingat persis. Saat itu saya masih anak-anak. Saya selalu ikut ayah ke kebun melewati kawasan itu,” cerita Johans, yang saat itu baru pulang dari memancing.
Johans mengaku, baru tahu persis bahwa tanaman mangrove dilindungi sekitar 2018 lalu. Saat itu ada sosialisasi dari pemerintah soal manfaat mangrove yang bisa mencegah abrasi. Meski begitu, belum banyak pula warga yang paham.
“Sejauh ini, kami hanya tahu bahwa kawasan mangrove ini tempat bertelur berbagai jenis ikan. Termasuk menjadi habitat ikan teri, yang sering kami ambil, lalu jual. Tapi sejak mengikuti sosialisasi, saya bersama sebagian warga sekarang paham dan bersepakat untuk menjaga ekosistem mangrove. Karena kalau datang tsunami maka selesailah kita. Tidak ada lagi yang menahan air,” kata Johans.
Beruntung, sekarang mangrove mulai tumbuh lagi. Berkat peran dari beberapa kader lingkungan yang peduli tarhadap ekosistem mangrove. Termasuk, memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya mangrove. Tak hanya bagi perekomonomian masyarakat khususnya di wilayah pesisir, tapi juga untuk mencegah terjadinya abrasi pantai.
Wasman salah satunya yang menjadi sadar bahwa anak cucunya nanti, kelak hanya akan mendengar cerita soal lebatnya hutan mangrove di kampung mereka. Dia kemudian bergabung dengan Sabdar yang mendirikan Kelompok Pemerhati Lingkungan “Monompia” pada medio 2014. Monompia Bergerak di bidang pelestarian lingkungan termasuk penanganan kerusakan ekosistem mangrove.
Cerita Wasman Pantow dan Johans Masabare itu hanya bagian kecil dari kondisi kawasan hutan di kawasan Teluk Labuan Uki.
Sabdar yang belajar soal fungsi dan manfaat ekosistem mangrove berinisiatif melakukan restorasi. Dia memulainya dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat Desa Sauk tentang pentingnya tanaman bakau. Dalam edukasinya, Sabdar sering memberi contoh perubahan nyata keberadaan ikan teri yang dulu mudah didapat namun sekarang sangat berkurang.
Tak hanya soal manfaat, Sabdar juga menyampaikan bahwa tanaman mangrove berserta ekosistemnyaitu dilindungi. Dia mengutip Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, khususnya pasal 35 huruf (f) dan (g) yang melarang penebangan mangrove di kawasan konservasi untuk kegiatan industri, pemukiman, dan lain-lain. Ada pula ketentuan pidana pada Pasal 73 ayat 1 huruf (b) bagi yang melanggar dengan ancaman penjara paling sedikit dua tahun dan paling lama 10 tahun, denda Rp 2 miliar-Rp 10 miliar.
“Saya sampaikan bahwa ada undang-undang yang mengatur tentang perlindungan mangrove. Dan jika dilanggar maka bisa berkonsekuensi pidana. Hukumannya pun cukup berat,” kata Sabdar Gobel, saat ditemui di kediamannya, Sabtu 14 Desember 2019.
Seiring berjalannya waktu, dukungan warga atas upaya Sabdar terus mengalir.Sebagian warga bersepakat untuk bersama-sama menjaga mangrove. Minimal, tidak ada lagi warga yang sembarang menebang.
Kelompok Monompia juga melakukan pembibitan mangrove sebagai upaya restorasi area yang sudah tak ditumbuhi mangrove. Ratusan bibit dihasilkan dengan suka rela dan biaya sendiri. Dimana ada kawasan yang kosong, Sabdar dan anggotanya menancapkan bibit.
Sambil jalan saja. Sesekali, saat berkendara dengan menggunakan sepeda motor berkeliling di Teluk Labuan Uki, Sabdar biasanya membawa beberapa bibit mangrove.
“Saat menemui ada lahan yang tidak padat lagi, saya tanam beberapa di situ. Cara menanam mangrove kan tidak susah. Tidak perlu digali terlalu dalam. Bahkan hanya menggunakan tangan saja boleh.”
Kerja-kerja Sabdar membawa dia menjadi ketua Komunitas Peduli Kelestarian Lingkungan Hidup “Bumi Lestari” yang skupnya skala kabupaten. Lewat lembaga ini, Sabdar ikut mengawasi keberadaan mangrove di wilayah pesisir Bolmong. Tak hanya di Teluk Labuan Uki.
Pada medio 2016, sedikitnya ada sembilan kasus perusakan mangrove yang diadukan ke Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bolmong dan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Utara. Baik yang dilakukan oleh oknum pengusaha, perusahaan bahkan oknum anggota TNI.
“Sayangnya, dari sembilan laporan itu tidak ada sama sekali yang ditindaklanjuti hingga ke proses hukum. Padahal, itu jelas-jelas pelanggaran undang-undang,” kata Sabdar.
Tak diprosesnya laporan Bumi Lestari membuat Sabdar menuding Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bolmong tak serius menangani ekosistem mangrove di Labuan Uki.
Hal senada disampaikan pengajar di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Sam Ratulangi, Dr. Ir. Ridwan Lasabuda, M.Si.
Saat ditemui di kampus Unsrat, Kamis (19/12/2019), Ridwan mengatakan Pemkab Bolmong belum optimal menangani ancaman rusaknya ekosistem mangrove di Teluk Labuan Uki. Salah satunya adalah penetapan zonasi di kawasan seluas 125 hektar itu yang hingga kini belum ada. Seharusnya, menurut Ridwan, sudah ada batas zona itu, zona inti, zona pemanfaatan dan zona budidaya.
Masalahnya di areal itu hingga sekarang ada aktivitas yang mengancam keberlangsungan hidup mangrove, seperti pembuatan galangan kapal yang membabat pohon mangrove di Sauk, dan rencana pembukaan tambak ikan di area mangrove tumbuh di Baturapa, serta aktivitas pelabuhan perikanan di Labuan Uki.
Saat ditemui di kantornya, Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran Kerusakan Lingkungan Hidup, Pengelolaan Sampah dan Bahan Berbahaya Beracun Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bolmong, Deasy Makalalag menyebutkan, kewenangan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten terhadap mangrove antara lain konservasi, pelaksanaan perlindungan sumber daya alam termasuk mangrove, pemanfaatan secara lestari, upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Deasy menyebutkan bahwa pihaknya punya program soal mangrove. Dia memberi contoh misalnya tahun 2019 ini, ada penanaman 1500 pohon mangrove di Desa Babo, Kecamatan Sangtombolang.
“Itu adalah inisiatif pemerintah dan masyarakat Desa Babo yang mengusulkan pengadaan bibit mangrove lewat Musrenbang 2018 lalu. Sehingga kita anggarkan tahun ini,” aku Deasy.
Soal laporan terkait kerusakan lingkungan menurutnya, hal itu memang menjadi tanggung jawab Dinas Lingkungan Hidup. Tapi hanya sebatas turun dan melakukan verifikasi kemudian dibuatkan berita acara. Lalu hasilnya akan disampaikan ke Dinas Lingkungan Hidup Provinsi.
“Karena di daerah belum ada Penyidik PNS yang berwenang untuk melakukan penyidikan,” kilah Deasy.
Deasy membenarkan adanya beberapa aduan dari masyarakat soal pengrusakan mangrove. Seingat dia, ada sekitar empat aduan yang diterima. Yakni di Desa Labuan Uki yang dilakukan oleh PT Beta Gas; pembangunan galangan kapal di Desa Sauk; rencana pembuatan tambak di Desa Baturapa dan laporan di wilayah konsesi PT Conch North Sulawesi Cement.
“Semua itu kita tindaklanjuti dengan turun verifikasi dan diteruskan ke DLH Provinsi,” ungkapnya, sembari membenarkan bahwa belum ada zonasi perlindungan yang dibuatkan pemerintah daerah.
Rencana Penerbitan Perdes Bersama
Sebuah penelitian yang dilakukan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi Manado terhadap karakteristik vegetasi dan persepsi masyarakat pesisir dalam pemanfaatan mangrove Teluk Labuan Uki, menyebutkan, secara umum Teluk Labuan Uki mempunyai ekosistem mangrove yang cukup luas. Penelitian itu dikoordinasi oleh Dr. Ir. Ridwan Lasabuda, M.Si., akademisi di FPIK Unsrat.
Selain pembabatan massal oleh PT Karangetan Makmur dan PT Beta Gas yang beroperasi di Labuan Uki, dulunya tanaman mangrove juga sering dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk keperluan sehari-hari seperti kayu bakar, bahan bangunan rumah, bahan pewarna jaring dari kulit mangrove, dan untuk kerajinan bunga sintetis.
Hasil perhitungan luasan ekosistem mangrove Teluk Labuan Uki dari penelitinan itu dengan menggunakan perangkat lunak (software) Arc GIS diperoleh total luasan 125,49 Ha. Masing-masing di Desa Sauk 22,70 Ha, Desa Baturapa 92,84 Ha, dan Desa Labuan Uki 9,95 Ha. Dengan kondisi ketebalan serta kerapatan mangrove sebagian besar sudah jarang.
Dari hasil penelitian, juga terdapat 5 family mangrove di kawasan Teluk Labuan Uki, yaitu Avicenniaceae, Rhizophoraceae, Sonneratiaceae, Arecaceae dan Myrsinaceae yang terbagi atas 14 spesies.
Ridwan menjelaskan, salah satu hasil dari penelitian yang dilakukan pada 2015 lalu, berupa inisiasi pembuatan peraturan desa (Perdes) bersama tentang Daerah Perlindungan Ekosistem Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat atau disebut secara singkat Perdes Mangrove pada tahun 2016.
Perdes Mangrove itu bertujuan memproteksi keberlangsungan ekosistem mangrove yang dimulai dari masyarakat di empat desa dalam wilayah Teluk Labuan Uki.
“Konsepnya perlindungan ekosistem di sana dilakukan secara bottom up, di mulai dari warga desa sendiri dengan melahirkan regulasi yang terintegrasi di empat desa itu. Regulasinya berupa Perdes,” jelas Ridwan.
Moh. Ikhsan Z. Runtukahu, alumni Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi Manado, yang saat itu melakukan penelitian mengakui bahwa pemerintah desa dan masyarakat di wilayah Teluk Labuan Uki telah berinisiasi bersama untuk rencana pembentukan kawasan perlindungan mangrove. Rencananya, akan dibagi zonasi.
“Setidaknya ada kejelasan soal batas-batas wilayah yang menjadi zona inti, zona penyangga dan zona pemanfaatan,” kata Ikhsan.
Sangadi (Kepala Desa) Labuan Uki, Sonny Sengkey saat ditemui mengatakan menyambut baik bahkan berharap perdes tersebut segera bisa segera ditetapkan.
“Kalau draftnya sudah ada maka kita selaku pemerintah desa bersama-sama dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) tinggal menetapkan untuk menjadi Perdes. Dan kita siap untuk selanjutnya menerapkan regulasi itu,” kata Sonny.
Ia menjelaskan, pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada pihak Unsrat untuk menyusun draft rancangan Perdes bersama. Pasalnya, Perdes merupakan produk hukum di tingkatan desa. Dan membutuhkan kajian lebih dalam agar tidak bersinggungan dengan aturan lainnya.
“Ini menyangkut perlindungan mangrove. Sementara kita di desa tidak memiliki sumber daya yang paham betul soal mangrove. Apalagi berkonsekuensi anggaran. Kita belum punya pos anggaran khusus untuk itu. Sehingga kita serahkan kepada Unsrat untuk menyusun draftnya,” ungkapnya.
Disisi lain, menurut dia, pemerintah empat desa di kawasan pesisir Teluk Labuan Uki perlu untuk duduk bersama menyatukan pemahaman. Agar nantinya, Perdes bersama lahir, maka tidak ada miskomunikasi.
“Karena pada prinsipnya, kami di Labuan Uki, baik pemerintah maupun masyarakat bersepakat untuk menjaga ekosistem mangrove,” katanya.
Ridwan sebagai salah satu penyusun draft Perdes mengiyakan apa yang disampaikan oleh Sengkey. Tapi, menurut Ridwan, draft yang telah mereka susun itu harus dibahas kembali oleh masyarakat desa. Sebab beberapa bagian dari Perdes itu harus berdasarkan kesepakatan warga desa.
“Misalnya soal tata cara pemungutan dan penerimaan dana, penerapan sanksi serta pembentukan Badan Pengelola,” jelas Ridwan.
Sangadi Desa Sauk, Halik Gobel berharap, dalam waktu dekat segera ada pertemuan antara desa di kawasan Teluk Labuan Uki, untuk mempertegas rencana penerbitan Perdes bersama.
Ia menuturkan, saat ini, nelayan-nelayan di Sauk bahkan sudah melarang jika ada yang melakukan penebangan mangrove. Sama halnya dengan di Labuan Uki dan Baturapa, masyarakat sudah sadar bahwa mangrove membawa manfaat baik untuk mitigasi bencana terlebih lagi untuk ekonomi masyarakat desa.
“Mangrove merupakan habitat tempat berkembang biak berbagai jenis ikan. Termasuk ikan putih (ikan teri) yang menjadi salah satu sektor pendapatan terbesar masyarakat Sauk. Juga yang terpenting adalah menjaga terjadinya abrasi pantai,” terang Halik Gobel.
Walau demikian, Ridwan menjelaskan bahwa yang diperlukan saat ini adalah sosialiasi. Dia berharap ada pihak yang mau mengambil peran sosialisasi itu, sebab pihaknya hanyalah perguruan tinggi yang salah satu tugasnya melakukan penelitian.
“Perdes ini kan output dari penelitian yang kami lakukan di sana. Harus ada lembaga lain yang mendorong draft ini benar-benar menjadi Perdes. Kelompok yang dibangun oleh pak Sabdar di sana sebenarnya bisa mengambil peran itu,” kata Ridwan.
Sabdar memang mengakui kalau pihaknya dilibatkan dalam penyusunan draft Perdes. Dia juga berharap hal yang sama, draft itu bisa dibahas oleh masyarakat di Teluk Labuan Uki. Yang menjadi kendala adalah soal siapa yang mendanai.
Sebelum inisiasi penerbitan Perdes untuk proteksi mangrove, Pemerintah desa setempat sebenarnya sudah berencana untuk melakukan reboisasi tanaman mangrove. Rencana itu sebetulnya sudah lama. Tapi terkendala dengan biaya.
“Kami siap kerja bakti demi keberlangsungan hidup masyarakat hingga ke anak cucu nanti, jika ada pihak yang mau membantu pengadaan bibit misalnya,” sentil Sonny Sengkey.
Menurut Sengkey baik pemerintah desa maupun kader-kader lingkungan sebenarnya sudah melakukan penyadaran kepada masyarakat tentang manfaat mangrove.
Lahan Bermasalah
Juli 2019 lalu, dilakukan penanaman 1000 pohon bibit mangrove di kawasan restorasi Desa Baturapa. Aksi itu merupakan program Corporate Social Responsibility (CSR) PT PLN Persero Unit Pelaksana Pelayanan Pelanggan (UP3) Kotamobagu. Pihak PLN berkomitmen tak hanya menanam mangrove tetapi juga memberikan jasa pemeliharaan.
“Kita juga sudah membuatkan gapura pengawasan restorasi hutan mangrove di jalan masuk wilayah ini. Tujuannya agar banyak yang melihat dan ikut tergerak untuk memelihara kawasan ini,” bebernya Manager UP3 Kotamobagu, Meyrina Turambi.
Sekretaris Daerah Kabupaten Bolmong, Tahlis Gallang yang turut hadir mengakui manfaat mangrove sangat besar untuk masyarakat Bolmong terutama yang berada di pesisir pantai.
“Mungkin saat ini manfaatnya belum bisa dirasakan. Tapi bagi anak cucu kita nanti, ini akan sangat berguna,” kata Tahlis Gallang.
Menurut dia, ancaman terbesar di pesisir pantai wilayah Bolmong yaitu, laut pasifik. Daerah Bolmong termasuk wilayah rawan bencana.
Namun belakangan, lahan yang dijadikan kawasan restorasi mengrove di Desa Baturapa itu ternyata bermasalah. Lahan seluas 18.325 M2 itu diklaim sebagai milik dari Natalia C Tuera, berdasarkan Sertifikat Hak Milik Nomor: 18.05.11.04.1.00200.
“Informasinya, lahan tersebut rencananya akan dialihfungsikan menjadi tambak udang,” sebut Sabdar Gobel.
Sabdar bersikeras meminta kejelasan pemberiaan ijin kepada pemilik lahan. Saat dilakukan pengecekan di lokasi, di antara bibit-bibit mangrove yang sudah ditanam, terdapat papan peringatan dari pemilik lahan yang melarang aktivitas apapun di atas lahan itu.
“Cukup perlihatkan dokumennya saja, biar kami tahu siapa yang memberikan ijinnya. Ini sudah kami protes ke DLH, tapi tak juga direspon,” ujar Sabdar.
Ridwan, peneliti dari Unsrat juga mempertanyakan bagaimana proses ijin itu bisa keluar, sebab itu adalah bagian dari ekosistem mangrove.
“Untuk membuktikannya sederhana saja. Tanam bibit mangrove di situ, jika tumbuh berarti itu memang habitat mangrove,” jelas Ridwan.
Selain lahan yang bermasalah di lokasi restorasi mangrove yang dibiayai oleh CSR PT PLN, area pembangunan gelangan kapal juga disinyalir tidak mengantongi kajian AMDAL.
“Beruntung areanya belum luas saat kami ajukan protes. Saat ini pembangunan gelangan kapal itu sedang ditinjau,” kata Sabdar.
Menurutnya, tak apa jika memang ada alih fungsi di zona pemanfaatan. Asal dari upaya konversi di lahan lainnya. Ambil sekian, tanam kembali sekian.
Salah satu dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Ridwan dengan mahasiswanya adalah soal valuasi ekologis, yang menghitung nilai magrove. Menurut Ridwan, harus ada nilai ekologis agar saat alih fungsi, konversinya bisa ditetapkan.
“Menetapkan nilai valuasi itu tidak gampang. Berbagai pihak harus duduk bersama, membahas dan menetapkan standar. Kalau sudah didapat ini akan mudah untuk menilai apakah layak diberikan ijin alih fungsi atau tidak. Kalau keuntungan dari alih fungsi itu lebih rendah dari nilai valuasi, mending tidak diberikan ijin,” jelas Ridwan.
Benteng Bencana
Kamis, 24 Oktober 2019, pusat gempa dan tsunami BMKG merilis telah terjadi gempa bumi tektonik berkekuatan 5,7 SR di laut Sulawesi atau tepatnya 34 km arah Timur Laut Kota Lolak, Kabupaten Bolmong. Masyarakat di Teluk Labuan Uki sempat panik mengingat kejadian-kejadian terpicunya tsunami karena gempa. Beruntung, lokasi gempa berada pada kedalaman 251 km, sehingga dinyatakan tidak berpotensi tsunami.
Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) merupakan salah satu daerah di Provinsi Sulawesi Utara yang terletak pada zona patahan aktif. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bolmong mencatat, daerah yang memiliki garis pantai sepanjang 150,79 kilometer itu menghadap langsung ke Samudera Pasifik. Secara geografi, geologis, hidrologis dan demografis, Kabupaten Bolmong juga berada pada pertemuan beberapa lempeng tektonik bumi. Wilayah pesisir Utara Kabupaten Bolaang Mongondow adalah laut Sulawesi yang juga terdapat sesar aktif.
Sehingga, Bolmong merupakan daerah yang memiliki tingkat kerawanan tinggi terjadinya bencana alam, tak terkecuali potensi gelombang pasang. Bahkan tsunami sangat mungkin terjadi.
“Kesiapsiagaan masyarakat khususnya wilayah pesisir penting ditingkatkan. Minimal bisa melakukan evakuasi secara mandiri ketika bencana tsunami benar-benar terjadi,” kata Kepala Pelaksana BPBD Bolmong, Haris Dilapanga.
Pemerintah Kabupaten Bolmong melalui BPBD juga terus mensosialisasikan serta mengimbau masyarakat terkait musim pancaroba yang berpotensi terjadinya gelombang tinggi. Para pelajar khususnya di wilayah pesisir utara diberikan pemahaman untuk lebih mengenal tanda-tanda alam dan lingkungan sekitar. Masyarakat pesisir diberikan pelatihan evakuasi mandiri jika terdapat hal-hal yang membahayakan keselamatan jiwa baik berupa bencana banjir rob, air laut pasang maupun bencana tsunami. Pemasangan rambu-rambu bencana di wilayah pesisir pantai berupa bahaya gelombang air laut pasang, tsunami dan jalur evakuasi juga dilakukan.
Haris berpendapat, sebagai daerah yang rawan bencana, diperlukan pengelolaan wilayah pesisir yang sifatnya komprehensif dan terpadu. Dalam pengelolaan pesisir terpadu terdapat tiga aspek yang perlu diperhatikan agar terjadi keseimbangan yang dapat ditoleransi masyarakat dan lingkungan.
“Yakni keseimbangan ekologis, keseimbangan pemanfaatan, dan keseimbangan dalam pencegahan bencana (mitigasi),” ungkapnya.
Keseimbangan ekologis itu menurut Sabdar dapat dilakukan dengan menjaga dan melestarikan ekosistem mangrove sebagai benteng bencana di Teluk Labuan Uki. Ridwan juga mengamini, tumbuhan mangrove yang padat dapat meredam kekuatan gelombang pasang bahkan tsunami.
“Daya rusaknya akan teredam, sehingga bisa meminimalisasi kerusakan di daratan jika bencana itu benar-benar terjadi,” jelas Ridwan.
Meminta masyarakat pesisir untuk benar-benar tidak lagi mengambil mangrove selain diproteksi lewat berbagai aturan, harus juga dibarengi dengan program ekonomi alternatif.
Secara umum, Kabupaten Bolmong, memiliki kekayaan sumber daya laut yang melimpah khususnya di sektor perikanan.
Perikanan menjadi penggerak roda ekonomi masyarakat pesisir. Sektor perikanan memiliki keunggulan komparatif dibanding sektor lainnya, berupa ketersediaan sumber daya alam yang sangat besar.
Pemerintah Kabupaten Bolmong berupaya terus meningkatkan kesejahteraan nelayan. Pada tahun 2018 lalu,pemerintah menyalurkan paket bantuan perikanan tangkap bagi 23 kelompok nelayan di lima kecamatan yang ada di wilayah pesisir.Dua kelompok di Kecamatan Poigar, 8 kelompok di Kecamatan Bolaang Timur, 5 kelompok di Kecamatan Bolaang, 7 kelompok di Kecamatan Lolak dan 3 kelompok di Kecamatan Sangtombolang.
Bantuan yang dibiayai lewat APBD Bolmong tahun anggaran 2018 berupa 45 unit mesin Katinting 9 PK, dengan total anggaran sebesar Rp. 314.820.000. Selain itu, juga diserahkan 1102 keping Kartu Bantuan Premi Asuransi Nelayan yang bersumber dari APBN Tahun Anggaran 2018.
“Sarana dan prasarana perikanan tangkap bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) APBN Tahun Anggaran 2018 terdiri dari perahu, mesin tempel 15 PK, alat pancing, pelampung beserta sarana tangkap lainnya berjumlah 14 Paket dengan total anggaran Rp1.178.100.000,” kata Kepala Seksi Pengembangan Sarana dan Prasarana Penangkapan Ikan Dinas Perikanan Kabupaten Bolmong Herlina Malangi.
Bantuan-bantuan itu diharapkan dapat memacu peningkatan produksi hasil tangkap ikan nelayan. Secara umum beberapa nelayan yang diwawancarai mengaku keberadaan ikan di perairan Teluk Labuan Uki normal jika dibandingkan denga tahun-tahun sebelumnya.
Pelabuhan Labuan Uki menjadi tempat sandar berbagai kapal penangkap ikan berbagai ukuran. Hasil tangkap ikan dari kapal-kapal ini didistribusikan ke berbagai wilayah di Bolmong, termasuk menjadi bahan baku pabrik pengolahan ikan yang ada di Lanban Uki.
Hamka Mamonto (36), Warga Desa Ayong, Kecamatan Sangtombolang sudah 10 tahun menjual ikan keliling dengan menggunakan sepeda motor. Menurut Hamka, sejauh ini jumlah pasokan ikan yang masuk ke pelabuhan Labuan Uki relatif stabil. Hanya saja, harganya yang terus naik. Penyebabnya adalah tidak adanya standar harga yang ditetapkan. Termasuk sistem penjualan ikan dari pemilik kapal ke pengecer seperti mereka juga berubah. “Dulunya dihitung per box. Tapi sekarang sistem timbang. Jadi keuntungan yang kami dapat dari berjualan keliling jadi menurun. Ini sudah berjalan sekitar Empat tahun terakhir,” ungkapnya.
Sebelum menjadi penjual ikan keliling, ayah dua anak itu pernah menjadi anak buah kapal penangkap ikan. Ia bersama rekan-rekannya ikut menangkap ikan di laut. Dia bercerita, dulunya, masih banyak kapal penampung di tengah laut. Jadi, transaksi jual beli masih kerap terjadi di laut lepas. Dia tidak tahu itu kapal dari mana. Dia kurang paham soal itu. Tapi ukurannya lebih besar dari yang mereka gunakan. “Sekarang tidak lagi. Rata-rata sudah beralih ke kapal pajeko yang dilengkapi dengan penyimpanan ikan. Jadi semua menuju ke pelabuhan untuk transaksi.”