CSR PT PLN di lahan bermasalah di Desa Baturapa Satu, Bolmong
Sambil menenteng pancing tradisional yang terbuat dari bambu, Johans Masabare serius mencari ikan berukuran kecil di sela-sela akar bakau untuk dijadikan umpan. Anjing peliharaannya mengekor seakan mengerti apa yang sedang dilakukan tuannya.
Beberapa ekor ikan kecil yang ia tangkap, dimasukkan ke dalam botol minuman kemasan bekas yang terikat di pinggangnya menggunakan tali rafia.
Pria berusia 45 tahun itu adalah warga desa Baturapa Satu, kecamatan Lolak yang menggantungkan hidupnya sebagai nelayan tradisional di Teluk Labuan Uki. Dengan segala keterbatasan, mulai dari peralatan tangkap seadanya, hingga umpan yang digunakan, Johans menghidupi keluarganya.
Cuaca cerah saat itu, awal April 2020. Matahari hampir selurus dengan ubun-ubun, bersinar dengan teriknya. Sengatannya mampu membuat seluruh tubuh bermandi peluh. Pohon-pohon bakau atau mangrove yang kiranya menjadi peneduh tak lagi rapat.
Johans kenal betul. Dulunya, tanaman mengrove di pesisir Baturapa tumbuh lebat. Pohonnya besar-besar lengkap dengan dedaunan rimbun yang menutup cela langit. Kondisi itu membuat berbagai hewan laut seperti ikan, udang, kepiting, siput dan lain-lain mudah dijumpai. Ya, mangrove memang habitat penting bagi biota laut.
Berbeda dengan kondisi saat ini, apa yang dia pernah lihat dulu tak lagi sama. Itu lantaran, sebagian besar tempat hewan laut berkembang biak tidak ada lagi. “Kayu-kayu besar habis ditebang. Yang tersisa hanya yang ukuran-ukuran kecil saja,” tutur Johans.
Pria yang juga menjabat kepala dusun 2, desa Baturapa Satu itu, merupakan salah satu dari sebagian besar warga Baturapa Satu yang biasa mencari ikan di kawasan hutan bakau. Sebagian hasil pancingan ia jual. Tentunya, sebagian ia bawa pulang ke rumah.
Masih teringat jelas di ingatan Johans. Dulu, ada kapal perusahaan pengolahan ikan kaleng masuk ke wilayah perairan Teluk Labuan Uki. Tapi, sepertinya itu hanya kedok. Tak ayal ribuan pohon mangrove dibabat. Kemudian diangkut ke kapal. “Sekitar lima hektar yang dibabat. Entah dibawa ke mana. Kami warga di sini tidak tahu persis,” katanya.
Dugaan perusakan dan eksploitasi tanaman mangrove sebenarnya tak hanya dilakukan perusahaan pengolahan ikan kaleng itu. Berbagai macam aktivitas pembabatan hutan mangrove kerap dilakukan tanpa pencegahan. “Saya masih ingat persis. Saat itu saya masih anak-anak. Saya selalu ikut ayah ke kebun melewati kawasan itu,” cerita Johans.
Kisah kegelisahaan yang sama juga datang dari Agustinus Budiman (51). Pria yang akrab disapa Om Deka itu, bahkan mengaku menyaksikan langsung bagaimana benteng utama yang memproteksi kawasan pesisir Baturapa itu dirusak. “Dari dulu, jalur ini memang menjadi akses kami menuju ke laut untuk memancing. Saat lewat, mereka sementara melakukan pembabatan. Jadi saya tahu persis,” ungkapnya.
Seperti Johans, Om Deka juga nelayan. Ia punya perahu katinting bantuan dari pemerintah sekitar tahun 2006 silam. Hanya saja, tak seperti nelayan lain yang sepenuhnya menggantungkan nasib dari melaut, cuaca adalah tolak ukur sakral baginya. Kalau cuaca tak memungkinkan, ia akan lebih memilih bercocok tanam. Kebun yang ia garap tak sampai satu kilometer dari kawasan hutan mangrove. Sehingga melaut atau berkebun, jika bersinggungan dengan mangrove, baginya sama saja. Dia selalu berpapasan dengan keadaan yang tidak begitu baik untuk mangrove bisa berumur panjang.
Dirinya bercerita, selain perusahaan pengolahan ikan kaleng, pembabatan mangrove juga dilakukan pengusaha besar di kecamatan Lolak. Dia menyebut nama Tenges Tuera. Warga tentu keberatan. Termasuk dirinya. Tapi, tak berani melayangkan protes lantaran takut. “Siapa yang berani berhadapan dengan orang berduit seperti itu. Apalagi kami di sini saat itu masih sangat awam soal dasar hukum perlindungan mangrove.”
Sebagai pengusaha yang terbilang besar dan cukup ternama di kecamatan Lolak, Tenges Tuera yang dimaksud Deka, memang memiliki lahan perkebunan kelapa yang sangat luas di kawasan itu. Lahan tersebut, menurut Deka, berbatasan langsung dengan kawasan hutan mangrove, “tapi, setahu kami itu (mangrove) tidak masuk. Tiba-tiba diklaim. Bahkan katanya sudah ada sertifikat.”
Sangadi (kepala desa) Baturapa Satu, Yolanda Kalimbe mengaku kaget saat mendengar kabar soal permasalahan kawasan mangrove di desa itu. Maklum, salah satu Sangadi perempuan di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) itu baru menjabat sekitar empat Bulan. Ia dilantik bersama 104 sangadi terpilih lainnya pada Desember 2019 lalu.
Selain peningkatan sumber daya manusia, salah satu poin unggulan dalam visi misinya saat mencalonkan diri sebagai sangadi adalah menjadikan desa Baturapa Satu sebagai kawasan ekowisata mangrove.
“Baru belakangan saya tahu bahwa kawasan mangrove di sini ternyata bermasalah. Bahkan ada papan pelarangan adanya aktivitas di situ. Saya sudah tanyakan ke beberapa aparat desa, tapi mereka juga mengaku tidak tahu menahu soal itu,” kata Yolanda.
Selama ini, ia beranggapan bahwa kawasan mangrove itu dilindungi. Apalagi bagi masyarakat pesisir, mangrove itu penting. Selain dari sisi manfaat secara ekonomi, juga sebagai benteng ketika terjadi bencana di laut.
“Makanya, saya bercita-cita memanfaatkan hutan mangrove yang ada di sini untuk dijadikan kawasan ekowisata. Dengan begitu, secara otomatis habitat mangrove akan lebih terjaga dan terpelihara dengan baik,” sahutnya.
Sebagai Kepala Desa, Yolanda bertekad, mendalami kembali terkait status lahan tersebut. Termasuk asal usul lahan. Jika memungkinkan, pemerintah desa akan mengambil alih kembali lahan itu. “Iya, saya akan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait, termasuk pemerintah daerah,” tandasnya.
“Kami mendukung jika ada upaya pemerintah desa untuk kembali memperjuangkan kawasan ini (mangrove),” harap Agustinus mengamini keinginan kepala desanya.
* * *
Menjaga ekosistem tanaman mangrove memang merupakan bagian dari strategi mempertahankan garis pantai. Apalagi, secara geografis, 57 dari 202 desa dan kelurahan di 15 kecamatan sekabupaten Bolmong berada tepat di wilayah pesisir dengan panjang garis pantai 150,79 kilometer.
Sebagai wilayah pesisir, penting untuk tetap menjaga kawasan hijau sebagai penyangga garis pantai yang rentan terhadap hempasan gelombang. Mangrove yang tumbuh berjajar di sepanjang pesisir mampu menjadi benteng pencegah abrasi atau pengikisan pantai oleh gelombang air laut.
Abrasi sendiri merupakan momok yang cukup menakutkan bagi sebagian warga pesisir. Secara ekonomi, mangrove juga merupakan rumah bagi berbagai spesies ikan, kepiting, dan udang yang banyak membawa manfaat bagi masyarakat.
Sayangnya, saat ini sebagian besar hutan mangrove di wilayah pesisir kabupaten Bolmong terbilang kritis. Sebut saja, kawasan hutan bakau seluas 92,84 hektar di desa Baturapa Satu, kecamatan Lolak, seperti yang dikeluhkan Johans dan Agustinus.
Beruntung, sekarang mangrove mulai tumbuh lagi. Berkat peran dari beberapa kader lingkungan yang peduli terhadap ekosistem mangrove. Upaya untuk merestorasi kembali ekosistem mangrove mulai dilakukan. Baik oleh kelompok pemerhati lingkungan, mahasiswa, maupun pihak swasta.
Marshal Datundungon, penerima pendanaan liputan untuk tema Sustainability Reporting dari AJI dan GRI. Saat ini Marshal menjadi Kontributor di Zonautara.com dan juga jurnalis di Harian Posko Manado. Ini merupakan Liputan Mendalam kedua yang dikerjakan Marshal yang terbit di Zonautara.com.
Editor untuk liputan ini :
- Neno Karlina Paputungan, mengikuti pelatihan meliput isu laporan berkelanjutan serta menulis story telling yang diselenggarakan AJI dan GRI, dan menggelar Pelatihan Jurnalistik Expanding Media Coverage and Advocacy Dialogue with Media on Sustainability Reporting di Kotamobagu pada Februari 2020. Salah satu pesertanya adalah Marshal yang mengerjakan liputan mendalam ini. Neno saat ini sebagai jurnalis di Totabuan.news.
- Ronny Adolof Buol, Pemimpin Redaksi Zonautara.com