CSR PT PLN di lahan bermasalah di Desa Baturapa Satu, Bolmong
Bagian kedua dari laporan ini dapat dibaca pada link ini
Polemik restorasi mangrove di lahan bermasalah itu, kontradiktif dan tidak sejalan dengan poin-poin tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG’s) sebagaimana tertuang dalam Sustainability Reporting (SR) PT PLN (Persero) tahun 2018.
Bisa saja, klaim pencapaian program penghijauan sampai dengan semester 1 tahun 2018 yaitu telah dilaksanakannya penanaman pohon secara serentak oleh 34 unit PLN pada dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup, 5 Juni 2018, dengan target jumlah penanaman pohon sebanyak 34.000 tidak sesuai dengan fakta di lapangan.
Persoalan lain juga timbul setelah itu. Aktivis lingkungan di Bolmong, Sabdar Gobel mengungkap, jumlah bibit mangrove yang ditanam PT PLN tidak sesuai dengan yang dilaporkan saat kegiatan penanaman yakni 1000 pohon, melainkan hanya sekitar 300-an pohon.
Sabdar yang juga ketua komunitas peduli kelestarian lingkungan hidup “Bumi Lestari” itu juga menyorot soal kualitas bibit yang ditanam. Akibatnya, banyak bibit yang mati. Dari informasi yang dia himpun, bibit yang ditanam itu bukan dari hasil pembibitan. Melainkan hanya dicabut dari habitat mangrove di tempat lain.
“Itu merupakan kesalahan besar. Dapat saya pastikan bibit itu tidak akan tumbuh. Dan memang betul. Fakta di lapangan saat ini, 90-an persen mangrove yang ditanam semuanya mati. Jumlah yang ditanam juga hanya 350 pohon,” bebernya.
Ia juga menyayangkan, program CSR PT PLN tidak diserahkan ke kelompok yang betul-betul paham soal mangrove. Harusnya, agar program dapat berjalan sesuai target dan yang diharapkan, maka sebaiknya dikelola oleh orang ataupun komunitas yang bergerak di bidang itu.
“Misalnya mangrove ini. Mulai dari pembibitan kemudian ditanam, juga harus dipelihara dan dirawat. Kalau ada bibit yang mati maka harus ada penyulaman kembali. Sehingga program itu bisa dibilang sukses,” kata Sabdar.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Bolmong, Abdul Latief turut membenarkan soal jumlah bibit yang ditanam. “Iya, itu bukan 1000 pohon yang ditanam. Hanya 350-an pohon,” kata Abdul Latief saat ditemui di ruang kerjanya.
Berdasarkan uraian tersebut, UP3 PT PLN (Persero) Area Kotamobagu dinilai tidak serius dalam menjalankan program penghijauan lewat CSR-nya guna memenuhi target penanaman pohon. Mulai dari tahap pemilihan lokasi, pemilihan kualitas bibit mangrove dan tidak adanya pemeliharaan pasca tanam yang mengakibatkan sebagian besar bibit mati.
Sementara itu, Pejabat Pelaksana K3 dan Lingkungan, UP3 PT. PLN (Persero) Area Kotamobagu, Denny Teremia menyebut tidak semua unit CSR itu ter-cover dalam SR. Melainkan hanya beberapa saja yang menunjang. Untuk kegiatan restorasi di Baturapa Satu, menurut Denny, sudah direncanakan sejak 2018.
“Mulai dari survei lokasi dengan melibatkan pemerhati lingkungan, masyarakat sekitar dan mahasiswa perikanan dan kelautan Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado,” kata Denny.
Kegiatan tersebut disetujui pihak manajemen PLN pada tahun 2019. Sehingga akhirnya penanaman pun dilaksanakan. “Tahun ini (2020) kita tinggal memantau perkembangan mangrove yang ditanam itu. Dan semua kegiatan yang kita laksanakan tahun 2019 termasuk CSR sudah kita laporkan ke pusat melalui PLN Wilayah Suluttenggo di Manado,” ungkapnya.
Kendati tidak semua unit CSR tercover dalam SR, tapi program penghijauan yang termuat dalam SR itu salah satunya adalah penanaman mangrove. Karena memang salah satu misi PLN menjalankan kegiatan yang berwawasan lingkungan.
“Kita ada target kinerja. Misalnya, wajib melaksanakan kegiatan penghijauan sebanyak sekian pohon untuk tahun ini. Dan tahun 2019 kita tanam 1000 pohon di kawasan restorasi Baturapa. Sebanyak 500 pohon dari PLN Kotamobagu dan 500 pohon dari PLN UP2D Manado. Dengan total anggaran Rp 60 juta,” jelas Denny.
Soal bibit, menurut Denny, pihaknya meminta peran dari warga setempat untuk pengadaan. Ada beberapa juga yang dipesan dari Likupang, kabupaten Minahasa Utara lewat mitra kerja (pihak ketiga).
“Intinya, kami dari PLN hanya tahu bibitnya ada. Terserah diambil dari mana. Soal kriteria bibit kita tidak punya syarat khusus. Yang penting tingginya antara 30 hingga 50 centimeter. Karena pada intinya dan yang terpenting adalah perawatan. Kendati bibit kualitas bagus tapi tidak dirawat dengan baik tetap mati. Jadi tergantung pada perawatan,” ujar Denny.
Sementara untuk perawatan, dijelaskan, bahwa itu menjadi tanggung jawab warga setempat. Karena di sisi lain, jika mangrove tumbuh dengan baik maka dampaknya juga ke masyarakat itu sendri. Termasuk dijadikan objek wisata mangrove. “Kan kami sudah berikan bantuan bibit. Penanaman juga kita fasilitasi. Sehingga kita minta support warga untuk menjaga itu. Tapi memang sudah beberapa bulan terakhir kita belum sempat mengecek langsung ke lokasi,” aku Denny.
Kaitan dengan dana CSR, diakuinya bahwa itu dikelola langsung oleh PLN. Dan tidak diserahkan ke kelompok atau warga karena khawatir tidak tersalur. Dari Rp 60 juta dana yang dikucurkan, sudah termasuk pengadaan bibit, ajir (patok), dan pembuatan gapura di pintu masuk kawasan restorasi.
Yang merekomendasikan lahan di Baturapa itu justru aktivis lingkungan, Sabdar Gobel dan didukung warga setempat. Kemudian PLN melakukan survei. Karena syarat pengusulan dana CSR itu salah satunya lahan harus jelas. “Jadi kita survei. Termasuk wawancara dengan warga. Setelah dianggap memenuhi syarat, kemudian hasil itu kita usulkan ke manajemen. Dan disetujui serta didukung penuh oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH),” jelas Denny.
Denny terus bercerita. Bahwa selama tahapan itu tidak pernah ada komplain. Tiba-tiba, kata dia, pada saat penanaman diklaim bahwa lahan tersebut milik dari Tenges Tuera. PLN tidak pernah tahu kalau lahan itu bermasalah.
DLH pun sependapat. Bahwa sesuai koordinat, lokasi penanaman itu tidak masuk di kawasan yang diklaim milik Tenges Tuera. Tapi, kalaupun memang bermasalah, maka PLN siap menghentikan seluruh kegiatan. Masalah gagal atau tidak, menurut Denny tergantung tingkat keberhasilan bibit yang hidup. Dan intinya bahwa PLN sudah punya itikad baik merestorasi kembali ekosistem mangrove yang sudah kritis.
“Atau solusi lain kita akan coba kolaborasi dengan pemilik lahan. Atau skenario terburuk PLN akan cari lokasi baru. Karena intinya PLN peduli dengan lingkungan yang rusak,” tegas Denny.
Sabdar Gobel membenarkan keterlibatan dirinya saat pemilihan lokasi. Dia pun berdalih, tak tahu bahwa lahan tersebut bermasalah. Sebagai orang yang peduli terhadap kelestarian lingkungan, ia hanya melihat kondisi hutan bakau di Baturapa yang kritis akibat pembabatan secara besar-besaran sekitar tahun 2005 silam. Sehingga perlu ditanami kembali.
“Dasar itulah sehingga saya anggap perlu dilakukan restorasi kembali. Sebagai penggiat lingkungan saya merasa terpanggil untuk memperbaiki kawasan itu,” tegas Sabdar.
Di sisi lain, terkait persoalan lahan yang bermasalah, dosen di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (F-PIK) Unsrat Manado, Dr. Ir. Ridwan Lasabuda, M.Si yang melakukan penelitian terkait ekosistem mangrove di kawasan Teluk Labuan Uki yang di dalamnya termasuk kawasan pesisir desa Baturapa Satu, juga mempertanyakan bagaimana proses sertifikat kepemilikan itu bisa keluar. Sebab menurut Ridwan, dari hasil penelitian, area itu adalah bagian dari ekosistem mangrove.
“Untuk membuktikannya sederhana saja. Tanam bibit mangrove di situ. Jika tumbuh berarti itu memang habitat mangrove,” kata Ridwan, saat ditemui di kampus Unsrat.
Menurutnya, tak apa jika memang ada alih fungsi di zona pemanfaatan. Asal ada upaya konversi di lahan lainnya. Misal, ambil sekian, tanam kembali sekian. Salah satu dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Ridwan dengan mahasiswanya adalah soal valuasi ekologis, yang menghitung nilai mangrove.
“Harus ada nilai ekologis agar saat alih fungsi, konversinya bisa ditetapkan,” sahut Ridwan.
Menetapkan nilai valuasi itu menurut Ridwan tidaklah gampang. Berbagai pihak harus duduk bersama, membahas dan menetapkan standar. Kalau sudah didapat ini akan mudah untuk menilai apakah layak diberikan izin alih fungsi atau tidak.
“Kalau keuntungan dari alih fungsi itu lebih rendah dari nilai valuasi, mending tidak diberikan izin,” sentilnya.
Ridwan juga mengkritisi upaya Pemkab Bolmong yang dinilai belum optimal menangani ancaman rusaknya ekosistem mangrove. Persoalan ini juga sudah dilaporkan pemerhati lingkungan, Sabdar Gobel ke pemerintah Kabupaten Bolmong dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup. Sayangnya, laporan tertulis yang dilayangkan Sabdar pada 12 Agustus 2019 lalu sama sekali tak direspon. Dan lagi-lagi, Sabdar menuding Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bolmong tak serius menangani ekosistem mangrove.
“Kami akan tindaklanjuti laporan itu. Kita akan panggil semua pihak terkait termasuk pemilih lahan Tenges Tuera. Tapi hingga saat ini kami juga masih sibuk dengan berbagai agenda. Jadi belum sempat. Rencananya dalam waktu dekat,” sahut Kepala DLH Bolmong, Adbul Latief, ketika dikonfirmasi.
Berdasarkan dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bolaang Mongondow, kawasan hutan bakau di desa Baturapa Satu itu merupakan bagian dari 51,11 hektar kawasan budidaya.
Tanggapan berbeda datang dari Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran Kerusakan Lingkungan Hidup, Pengelolaan Sampah B3, DLH Kabupaten Bolmong, Deasy Makalalag. Menurutnya, DLH tidak terlibat dalam penentuan lahan restorasi. Yang tentukan itu pihak PLN dan pemerhati lingkungan. Bahkan DLH menyayangkan kerana harusnya PLN berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten melalui DLH dalam hal penentuan lokasi untuk dijadikan kawasan konervasi.
“Termasuk berkoordinasi dengan pihak kehutanan yang notabene paham tentang kawasan-kawasan hutan mangrove (lahan kritis yang perlu dilakukan konservasi),” kata Deasy.
Menurut Deasy, saat itu pihak DLH hanya menerima laporan sekaligus diundang oleh PLN untuk menghadiri acara penanaman 1000 pohon mangrove. Dalam laporannya, PLN mencantumkan titik koordinat lokasi yang akan ditanami.
“Jadi kami minta ahli GIS (geographic information system) untuk melihat kembali koordinat. Baik milik Tenges Tuera dan koordinat yang ditentukan PLN. Dan hasilnya memang lokasi keduanya berbeda. Sehingga kita tidak lagi mempersoalkan itu dan penanaman dilaksanakan,” jelas Deasy.
* * *
Johans Masabare pulang rumah. Dia tak harus mengeluh, meski dia tahu betul bahwa semakin bakau hilang, semakin susah dia mencari ikan. Tapi sebagai warga biasa, dia tak bisa berbuat apa-apa, selain kesungguhan dan niat baik dari semua pihak merestorasi ekosistem mangrove di desanya.
Pun, demikian dengan Agustinus Budiman. Meski saban saat dia melihat ada kerusakan di bentang kawasan pesisir desanya, dia hanya bisa menelan ludah pahit. Bahkan, laporan aktivis lingkungan Sabdar pun tak digubris pemerintah, apalagi keluhannya.
Maka Johans dan Agustinus hanya berharap, niat baik Sangadi mereka menjadikan kawasan mangrove sebagai destinasi ekowisata bisa bersambut gayung dengan kesadaran PT. PLN (Persero) Area Kotamobagu mengevaluasi restorasi setengah hati ini.
Sebagaimana dua nelayan di pesisir Teluk Labuan Uki ini, tentu juga kita semua berharap, apa yang dilakukan oleh PLN tak sekadar memenuhi laporan berkelanjutan perusahaan dalam menerbitkan Sustainable Reporting. Pun berharap, klaim Tenges Tuera di lahan itu, bisa diselesaikan oleh Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow.
Demi mereka, yang menggantungkan hidup dari lestarinya mangrove.
TAMAT.
Marshal Datundungon, penerima pendanaan liputan untuk tema Sustainability Reporting dari AJI dan GRI. Saat ini Marshal menjadi Kontributor di Zonautara.com dan juga jurnalis di Harian Posko Manado. Ini merupakan Liputan Mendalam kedua yang dikerjakan Marshal yang terbit di Zonautara.com.
Editor untuk liputan ini :
- Neno Karlina Paputungan, mengikuti pelatihan meliput isu laporan berkelanjutan serta menulis story telling yang diselenggarakan AJI dan GRI, dan menggelar Pelatihan Jurnalistik Expanding Media Coverage and Advocacy Dialogue with Media on Sustainability Reporting di Kotamobagu pada Februari 2020. Salah satu pesertanya adalah Marshal yang mengerjakan liputan mendalam ini. Neno saat ini sebagai jurnalis di Totabuan.news.
- Ronny Adolof Buol, Pemimpin Redaksi Zonautara.com