MANADO, ZONAUTARA.com – Sejumlah akademisi representasi sejumlah perguruan tinggi di Sulawesi Utara (Sulut) angkat suara mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
Mereka terkumpul dalam diskusi Menggalang Dukungan Terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Dengan Akademisi yang digagas Swara Parampuan di Swiss-belhotel Maleosan Manado, Kamis (27/08/2020).
Gifliyani Nayoan, akademisi Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Manado, mengatakan bahwa RUU PKS adalah perjuangan untuk kemanusiaan, keadilan dan kesetaraan; perjuangan untuk kemanusiaan perempuan dan laki-laki, bukan semata-mata perjuangan politik.
Dijelaskannya, dunia dan lingkungan pendidikan kampus tidaklah steril dari persoalan kekerasan seksual. PT perlu mempertimbangkan dan bahkan wajib menyediakan mekanisme dan Standard Operational Procedure dalam pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Selain itu, menurut Gifliyani, PT perlu mempertimbangkan pengintegrasian perspektif keadilan gender atau pengarusutamaan gender dalam kurikulum pengajaran maupun dalam kegiatan intra/ekstra kurikuler; perlu mengaktifkan kajian dan penelitian terkait persoalan kekerasan seksual baik di lingkungan dunia Pendidikan dan masyarakat.
“PT perlu mendukung proses pengesahan RUU PKS sebagai payung hukum demi pewujudan dunia Pendidikan atau kampus bebas kekerasan seksual,” ujarnya.
Elisabeth Editha Winokan yang hadir sebagai pembicara pada acara itu mengatakan, pada dasarnya kekerasan seksual tidak hanya membuat korban terluka secara fisik tetapi juga psikis. Hal itu juga akan dialami oleh keluarga dan saksi korban, mereka akan mengalami penderitaan yang berlapis dan bersifat jangka panjang akibat kekerasan seksual.
“Sistem hukum belum menjamin perlindungan bagi perempuan dari kekerasan seksual, dan belum menyediakan jaminan atas pemenuhan hak-hak korban dan keluarga korban sedangkan kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia terus meningkat,” ujarnya.
Selain itu, imbuhnya, penyelesaian kasus kekerasan seksual selama ini seringkali merugikan bagi perempuan korban. Tidak adanya sistem pemidanaan dan penindakan terhadap beberapa jenis kekerasan seksual selama ini.
“Korban dan keluarga akan mendapat dukungan proses pemulihan dari negara agar tercipta bentuk payung hukum yang lebih memperhatikan kebutuhan korban pasca-mengalami pelecehan seksual,” kata Elisabeth.
Edi Gunawan, akademisi Institut Agama Islam Negeri Manado, mengatakan bahwa RUU PKS merupakan terobosan dalam mengakomodir kebutuhan dan kepentingan korban. KUHP lebih banyak memuat tentang perlindungan terhadap hak-hak tersangka, sedangkan pengaturan tentang PKS sangat sedikit, sehingga banyak kasus yang tidak dapat diproses.
“Konstruksi sosial masyarakat Indonesia yang sebagian besar masing menggunkan paradigma patriarki, seringkali perempuan tidak didengar yang berimplikasi bagi perempuan korban kekerasan seksual direviktimisasi atau berulang,” terang Edi.
Menurutnya, kita perlu adanya pembaruan hukum. Diusulkannya RUU PKS merupakan upaya perombakan terhadap sistem hukum untuk untk mengatasi kekerasan seksual yang sistemik.