bar-merah

Kegundahan dari ladang Meraseh

Mahakam Hulu
Amai Ding dan Yek Tipung sedang mencari ikan. (Foto: Ronny A. Buol)
Ini adalah bagian ketiga dari 11 tulisan catatan perjalanan yang dilakukan Ronny A. Buol ke pedalaman Kalimantan pada 2016 lalu. Bagian sebelumnya dapat dibaca di: Bergantung pada ces

Usai menjala ikan di sungai Meraseh, cabang sungai Mahakam di bagian hulu, Amai Ding (72) dan Yek Tipung (66), melepas letih di pondok yang mereka bangun di atas ladang di tepi sungai yang berair jernih itu.

Sebagaimana kebiasaan Dayak Bahau yang bermukim di sepanjang tepi sungai, Amai Ding dan Yek Tipung mulai membuka lahan pada bulan Juni. Mereka menebas pohon besar dan membabat pohon-pohon kecil.

Amai Ding tinggal di Data Suling, kampung Long Isun. Jarak antara Long Isun dan ladang mereka di Meraseh cukup jauh. Ces (sampan khas Dayak pedalaman) menjadi transportasi utama untuk pergi ke ladang.

Penduduk Data Suling sering meninggalkan rumah mereka berminggu-minggu dan hidup di ladang yang menjadi sumber pangan mereka. Usai ditebas dan dibabat, pohon-pohon itu akan dibiarkan mengering selama kurang lebih tiga minggu. Setelahnya, mereka akan membersihkan ladang dengan cara membakar.

Mereka tak punya presisi ukuran ladang. Luas ladang diukur dari seberapa banyak bibit padi bisa ditanam. Bibit padi ladang yang siap ditanam disimpan dalam kaleng biskuit berukuran besar.

“Luas ladang yang kita buka diukur dari berapa kaleng padi yang bisa kita tanam,” jelas Amai Ding.

Amai Ding bisa membuka lahan seluas-luasnya sesuai dengan kemampuan tenaganya untuk dijadikan ladang. Hutan adalah warisan leluhur, demikian yang mereka percayai.

Kegiatan menugal (menanam padi) biasanya dilakukan pada bulan Agustus dan September. Dan itu hanya berlangsung setahun sekali. Amai Ding harus memperhitungkan betul luas ladang dan kebutuhan beras selama setahun bagi keluarganya.

Menugal merupakan moment yang dinanti. Sebab orang-orang kampung akan datang membantu secara gotong-royong. Mereka akan menginap di ladang, dan inilah waktu di mana mereka bergembira bersama merayakan anugerah Yang Maha Kuasa.

Sebagaimana orang Dayak Bahau lainnya, Amai Ding tidak sembarang memilih waktu membuka ladang dan menugal. Leluhur mereka telah mewariskan kalender kebudayaan, yang menjadi tolak ukur bagi mereka. Kalender itu bahkan telah menggariskan waktu-waktu penting bagi kehidupan Dayak Bahau. Dan mereka patuh.

Amai Ding dan Tek Tipung berada di pondok mereka. (Foto: Ronny A. Buol)

Hari itu, di pertengahan bulan Oktober, ladang Amai Ding telah selesai ditanami padi. Selain padi, Amai Ding menanami pula berbagai tanaman lainnya seperti sayur-sayuran, pisang, pepaya, semangka, duku, jagung, singkong, tebu, sirih, pinang, bahkan tanaman tahunan seperti cokelat.

Kini mereka sedang menanti ritual Hudoq. Sebuah tradisi dari para leluhur Dayak Bahau, usai menugal dilaksanakan. Seluruh warga Dayak Bahau yang punya ladang wajib mengikuti hudoq. Hudoq biasanya dilaksanakan di setiap kampung. Tapi kali ini sedikit berbeda. Long Tuyoq, ibukota kecamatan akan menjadi tuan rumah gelaran hudoq.

Tradisi ritual leluhur itu, oleh pemerintah kabupaten Mahakam Ulu telah dijadikan event resmi tahunan. Festival Hudoq Pekayang namanya. Sebanyak 13 kampung di kecamatan Long Pahangai akan berpartisipasi di Hudoq Pekayang.

“Tapi kami tetap akan menggelar hudoq kawit di kampung. Itu sudah jadi titah leluhur,” jelas Amai Ding.

Hutan yang terampas

Semestinya Amai Ding dan Yek Tipung bergembira, karena Yang Maha Kuasa melalui alam telah memberikan segalanya. Mereka hanya perlu bekerja dan berupaya mengolah alam untuk keberlangsungan hidup mereka.

Tapi Amai Ding tak bisa menyembunyikan kegundahan hatinya. Sambil menemani Yek Tipung yang sedang memomong cucu mereka, Jaang, orang tua ini menceritakan kegelisahannya.

“Hutan kini telah banyak berubah, kayu banyak ditebang dan dijual. Dulu untuk menebang kayu harus ada musyawarah adat. Tak sembarang. Tapi kini, sembarang orang bisa tebang kayu,” ujar Amai Ding dengan wajah muram.

Musyawarah adat kampung hanya bisa mengijinkan warga menebang pohon untuk keperluan kayu di kampung atau membangun rumah. Setiap kampung di Dayak Bahau dulunya punya batas teritori hutan adat mereka.

Tapi kini, orang luar kampung bisa datang menebang pohon tanpa bermusyawarah. Mereka mengantongi ijin dari kabupaten, tanpa mengindahkan klaim hutan adat kampung. Padahal sama halnya dengan sungai, hutan bagi Dayak Bahau adalah jantung kehidupan.

Rumah ladang Amai Ding dan Yek Tipung. (Foto: Ronny A. Buol)

“Sekarang, kalau butuh kayu, kami malah beli ke kampung lain, padahal kami punya hutan dengan pohon yang begitu banyak. Itu dulu,” tambah Amai Ding.

Warga kampung sebenarnya berusaha protes terhadap ekspansi para perambah hutan dan perusahaan yang mengantongi ijin HPH. Tapi mereka tak tahu harus menyampaikan protes itu ke mana.

“Orang kabupaten tidak pernah ke sini untuk larang orang menebang pohon sembarangan,” kata Amai Ding.

Ekspansi pembukaan lahan untuk perkebunan sawit juga menambah kegelisahan Amai Ding dan warga kampung Long Isun. Beberapa kejadian telah meneror mereka. Salah satu pemuda kampung yang menentang rencana itu, bahkan pernah ditangkap aparat dan dibawa ke kabupaten.

Walau kini pemuda kampung itu telah dipulangkan, tapi itu menjadi sebuah intimidasi bagi warga Long Isun untuk melepas hak adat mereka terhadap hutan.

“Kami tidak perlu lain. Hidup sekarang sudah lebih dari cukup. Asal bisa buka ladang, menanam padi, mencari ikan dan berburu di hutan. Alam ini telah memberi kami hidup dan makan. Kami tidak butuh lebih,” jelas Amai Ding.

Orang Dayak Bahau diajarkan turun-temurun untuk mengambil secukupnya saja dari alam. Sebuah kearifan yang diwariskan agar alam tetap terjaga. Bagi mereka, alam adalah bagian dari siklus hidup yang harus dihormati.

Di tengah kegelisahan akan masa depan yang tak bisa ditebak itu, Amai Ding tetap bersemangat mempersiapkan diri menyambut Hudoq Pekayang. Terlebih bagi Yek Tipung, perempuan pewaris tradisi Dayak, kuping panjang ini akan menjadi bagian dari ritual tahunan yang dinanti seantero orang Dayak Bahau itu.

Pasangan suami isteri yang hidup harmonis dengan alam ini, segera bersiap pulang ke kampung. Demikian pula anak-anak mereka, seperti Bu Doq yang berladang di Gah Buaq Nyurak di tepi sungai Lengaseh, anak sungai Meraseh, akan pulang ke kampung. Mempersiapkan hudoq adalah kegembiraan bagi mereka.

Bersambung

Baca bagian 4: Dari Gaharu Sawit Hingga Hutan



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com