SUARA adzan dari jejeran toa yang terpasang di ketinggian menara masjid At-Taqwa Kelurahan Mogolaing, Kecamatan Kotamobagu Barat, terdengar sayup, mendayu beradu dengan suara lalu-lalang kendaraan yang mengisi lorong yang berada tepat di sebelahnya. Sebuah lorong sempit dengan pemukiman padat penduduk di jantung Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara, tempat Sriyana Momintan (48) bermukim.
Bersama keluarganya, di lorong ini, Sriyana berjuang menghadapi situasi yang sungguh memaksanya menguras pikiran dan air mata. Mencoba bertahan di tengah keterasingan dari lingkungan sejak lima bulan lalu.
Siang itu, Selasa (1/9/2020), Sriyana menceritakan apa yang diri dan keluarganya alami. Kala itu keponakannya, LH, seorang pria berusia 34 tahun, dinyatakan positif covid-19. Sejak itu, senyum ramah dan sapa orang-orang berubah menjadi kaku, menyiratkan ketakutan, dan terlihat marah. Lorong tak ubah “penjara’’ bagi keluarganya.
Waktu itu, tak ada yang berani mendekat, terutama di sekitar komplek rumah. Jika nekat keluar rumahpun Sriyana akan dihindari. Tak jarang dia mendapat perlakukan tidak enak. Banyak orang terang-terangan berlaku sarkas.
Tekanan kian terasa berat, tak semua anggota keluarga sekuat Sriyana. Ibunda dari LH, (tidak ingin disebutkan inisialnya), yang merupakan kakak kandung Sriyana, begitu terpukul bahkan sempat melakukan percobaan bunuh diri. Warga Kotamobagu ini bahkan sempat berniat membalas perlakukan sarkas orang-orang terhadap keluarga mereka.
Selain menenangkan diri, tak banyak yang bisa dilakukan. Doa tak putus dilafalkan dari bibir Sriyana, berharap Tuhan bisa memberinya kesabaran. Sriyana menuturkan dia butuh kekuatan, sebab dirinya mulai payah menahan tekanan orang-orang.
Masih segar tertanam diingatannya, bagaimana segalanya terjadi. Hanya dengan hitungan detik, informasi yang bertebaran di media sosial telak “memukul’’ Sriyana dan keluarganya. Sungguh sulit dipercaya, Covid-19 yang selama ini hanya diketahui lewat televisi, kini benar-benar ada di Kotamobagu dan menimpa pula keluarganya. Yang lebih melukai hatinya, kabar itu justru diketahui dari postingan yang berseliweran di beranda akun Facebook miliknya.
Sriyana ragu dan bertanya-tanya, seingat dirinya, LH tidak pernah memberitahu apa-apa, padahal mereka sering bertemu di rumah ibunya. Sriyana merasa memiliki kedekatan tersendiri dengan LH. Segala remeh temeh cerita kehidupan LH hampir tidak ada yang luput darinya, apalagi jika sampai kejadian seserius ini.
Kebinggungan kian memuncak, Sriyana dan keluarga merasa tidak mendapat informasi apapun dari pemerintah setempat bahkan pengurus RT dan RW, soal kebenaran LH positif terinfeksi covid-19. Namun justru nama dan alamat LH beserta empat orang yang dikabarkan terinfeksi covid-19 terlanjur tersebar di berbagai media sosial.
“Usai sholat, saya membuka Facebook. Saya syok melihat nama dan alamat LH, berada di daftar orang-orang yang dinyatakan positif corona. Tak lama telepon genggam saya berbunyi, keluarga mulai heboh dan bertanya-tanya tentang kebenaran itu,” kenang Sriyana.
Bocornya Data Pasien Covid-19 Kotamobagu
Hari itu, Kamis, 23 April 2020 aktifitas di jalanan Kotamobagu mendadak sepi. Tiba-tiba warga takut keluar rumah. Sejak pagi lini masa media sosial dihebohkan oleh daftar nama, lengkap dengan alamat beberapa warga Kotamobagu yang dinyatakan positif terjangkit virus covid-19.
Sebelumnya, kasus positif covid-19 belum sampai di Kotamobagu. Kota Manado sebagai ibukota provinsi Sulawesi Utara sudah sebulan lebih dulu menemukan kasus positif. Kotamobagu berjarak kurang lebih 200 KM dari Manado, dan tak ada bandara udara sebagai pintu masuk orang-orang dari luar Sulawesi Utara.
Simpang siuar informasi soal kebenaran daftar nama yang beredar itu mendapat kejelasan, ketika jelang siang, Satuan Gugus Tugas (Satgas) Percepatan Penanggulangan Covid-19 Kotamobagu melakukan konferensi pers. Satgas mengumumkan secara resmi bahwa lima warga Kotamobagu positif covid-19. Ini adalah kasus covid-19 perdana di Kotamobagu.
Sriyana bercerita, air matanya terus tumpah. Suka cita puasa tahun ini tak lagi dirasa. Kabar soal positifnya LH begitu cepat menjadi topik pembicaraan di warung kopi dan rumah-rumah sekitar lorong.
Bertetangga dengan Sriyana, Hapsa Mokoagow (49), juga tak kalah terkejut. Dirinya mendadak ketakutan. Jangankan mendekati rumah LH, keluar rumahnya saja terasa mengerikan.
“Pokoknya anak-anak juga saya larang keluar rumah. Waktu itu kami belum tahu persis corona seperti apa, selain bahwa dia adalah penyakit menular dan bisa membuat orang meninggal,” kata Hapsa.
Memang, sejak awal April, Dinas Kesehatan (Dinkes) Kotamobagu gencar melakukan rapid test terhadap warga Kotamobagu. Sasaran utamanya adalah warga alumni kegiatan keagamaan di Gowa, Sulawesi Selatan. LH termasuk salah satu yang pergi ke kegiatan di Gowa itu.
Dari hasil rapid test, didapati tujuh orang yang hasilnya reaktif. Ketujuh orang itu kemudian diambil sampel lendir dalam test usap (swab). Sampelnya diperiksa di Balai Besar Laboratorium Kesehatan Makasar, milik Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes RI. Dari daftar hasil pemeriksaan yang di dalamnya ada nama LH inilah yang kemudian, diduga bocor dan ramai dibagikan di lini massa media sosial oleh netizen Kotamobagu dan Sulawesi Utara pada umumnya.
Sebagai kasus pertama positif covid-19 Kotamobagu, kejadian ini sangat menyedot perhatian publik. Wajar saja semua orang ketakutan. Apalagi alamat para pasien tersebar dengan jelas.
“Selain memang dianjurkan untuk belum berpergian, secara pribadi saya takut ke Kotamobagu, beberapa kelurahan warganya ada yang positif corona. Kotamobagu jadi seperti zona merah,” kata Yuningsih Patilima, (36), warga Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, dalam kesempatan terpisah.
Semuanya merasa takut, tak terkecuali tenaga medis. Jika merunut transfer data, dugaan kebocoran sangat mungkin ada di lingkup stakeholder di Kotamobagu.
“Saya sendiri tahu dari seseorang teman yang keluarganya bekerja di Dinkes. Menurutnya, dia diberitahu agar jangan dulu keluar rumah, menghindari beberapa wilayah yang menjadi alamat pasien positif covid. Dia juga bilang dia mengingatkan agar ibunya tidak berintaraksi dengan orang lain, terutama yang tidak dikenal,” kata salah seorang jurnalis Kotamobagu yang enggan disebutkan namanya.
Kebocoran itu kian ramai, apalagi sejumlah pejabat di pemerintahan Kotamobagu, dan beberapa awak media, yang mendapatkan salinan copian data tersebut, sempat ikut membagikan ke group-group WhatsApp. Dengan cepat, data ini kemudian dibagikan berkali-kali oleh banyak orang, hingga ke media sosial.
“Saya hanya dikirimkan copian datanya saja, itu juga sudah dari tangkapan layar, bukan lagi seperti yang lain yang masih dalam bentuk file (format pdf-nya),” ucap jurnalis lainnya yang juga tidak ingin namanya disebutkan.
Kepala Dinkes Kotamobagu, yang juga Juru Bicara Satgas Covid-19 Kotamobagu, dr Tanty Korompot, tak menampik kebocoran data ini. Meski demikian, dia enggan mengakui jika kebocoran ini terjadi dari pihaknya.
“Tentu kejadian ini sangat disayangkan. Bagaimana data (by name, by address) tanpa filter tersebar begitu saja di media sosial dan menjadi konsumsi publik. Namun, saya yakin. Tidak ada upaya dengan sengaja membocorkan, apalagi itu dari pihak kami,” ucap Korompot, ditemui di Ruang Kerjanya di Dinkes Kotamobagu, Selasa (1/9/2020).
Dinkes telah melakukan tracking ke petugasnya untuk mencari tahu sumber kebocoran data, namun tidak menemukan hal yang membenarkan jika kebocoran terjadi dari Dinkes.
“Klarifikasi kami lakukan dengan memanggil pihak rumah sakit, sebab kebocoran data ini tidak bisa dibenarkan, buktinya penyebaran itu dari luar. Kita telusuri, dari pihak kita tidak ada yang mengakui. Memang Dinkes butuh by name by address untuk kebutuhan tracing contact. Tapi, soal data yang tersebar, itu bukan dari kita. Pun jika itu terjadi di Dinkes, Dinkes itu cakupannya luas, ada Dinkes provinsi. Sebab di sanalah sumber sebelum diturunkan hingga ke tingkat bawah,” jelas Korompot.
Dinas Komunikasi dan Informasi (Diskominfo) Kotamobagu pun menggelak bertanggungjawab terhadap kebocoran data pasien covid-19 ini. Padahal Diskominfo punya tanggungjawab mengatur lalu lintas informasi di lingkup Pemerintah Kotamobagu.
Secara terpisah Kepala Diskominfo Kotamobagu Ahmad Yani Umar, mengaku hanya sebatas membantu instansi teknis untuk penyebaran informasi ke masyarakat, termasuk membuat peta sebaran. Peta sebaran dibuat hanya berdasar data dari Dinkes.
“Kami tidak pernah tahu data itu mereka dapat bagaimana, dan diolah bagaimana. Kominfo dalam hal ini hanya sebatas memfasilitasi, agar selalu ada informasi soal covid di kelurahan/desa, sampai kami membuat peta sebaran dan akhirnya membuat website, atas permintaan Kemendagri,” jelas Yani.
Menurut Yani kemungkinan kebocoran karena peretasan system juga agaknya dianggap berlebihan dan sangat tidak mungkin.
“Untuk ukuran Kotamobagu, masih sedikit yang menguasai IT, sehingga rasanya tidak mungkin, apalagi yang bocor adalah data by name by address,” ujar Yani.
Saling lempar tanggungjawab itu, juga terjadi di Satgas Percepatan Penanganan Covid-19 Kotamobagu. Ketua Satgas Covid-19, Refly Mokoginta mengatakan, pihaknya tidak menerima data secara detil, yang mencantumkan nama dan alamat lengkap. Satgas hanya sebatas mengetahui jumlah kasus, dan kemudian merilisnya. Jadi kalau ada kebocoran, itu kemungkinan kecil terjadi di pihaknya. Kemungkinan kebocoran terjadi di instansi teknis.
“Kami juga mempertanyakan itu ke Dinkes, kenapa bisa bocor sebelum kami merilis jumlah kasus, padahal yang tahu data itu hanya pihak Dinkes saja. Saat itu kami hanya bisa mendorong percepatan pengumuman jumlah kasus setelah mengetahui kebocoran, agar tidak menjadi polemik bagi masyarakat,” ujar Refly.
Sebagai koordinator penanganan covid-19 di tingkat provinsi, Satgas Covid-19 Provinsi Sulut juga membantah, kebocoran terjadi di pihak mereka.
Juru bicara Satgas Covid-19 Sulut, dr Steaven Dandel sewaktu dihubungi mengatakan, kebocoran terjadi diakibatkan tanpa sengaja data dikirimkan oleh pemangku kepentingan di Kotamobagu di salah satu WhatsApp grup (WAG).
Meski sebelumnya juga sempat terjadi kebocoran data di Manado, Dandel dengan tegas membantah sumber kebocoran terjadi di provinsi. Menurut Dandel, berdasarkan SOP, hasil laboratorium hanya dikirim ke dua orang, satu orang di Dinkes Provinsi dan satu lagi di Bidang P2P di Dinkes Kabupaten/Kota yang warganya dinyatakan positif. Setelah dari Dinkes, data itu kemudian diteruskan ke direktur rumah sakit tempat pasien dirawat atau akan menjalani perawatan.
Dandel menjelaskan, aliran informasi data kasus covid-19 dari sejak pengambilan sampel swab test hingga pemberitahuan ke pasien dan stakeholder terkait, punya satu sistem aplikasi tersendiri yang disebut Allrecord.
“Kalau sampelnya diambil untuk kepentingan diagnostik, misalnya ada pasien yang punya gejala dan masuk rumah sakit, dan dinyatakan suspek, maka sistem pengambilan sampel dan pemeriksaan sampel diberlakukan sama seperti pengambilan sampel laboratorium lainnya di rumah sakit. Cuma alurnya menjadi panjang, karena dalam hal ini bukan laboratorium rumah sakit yang periksa, tapi laboratorium luar. Beda lagi kalau pemeriksaan swabnya untuk kepentingan survailens aktif atau screening. Prosedurnya adalah pemberian informasi dan edukasi massal kepada target, kemudian pengambilan sampel dan pemeriksaan laboratorium. Hasilnya kemudian akan disampaikan secara kolektif ke stakeholder terkait, baik negatif atau positif, demi kepentingan containtment penyakit dan pelacakan,” jelas Dandel.
Dandel sendiri sangat menyayangkan kebocoran data ini, walau mengingat dalam kepentingan penanggulangan penyakit menular, sebenarnya data bisa dishare kepada pihak-pihak yang akan membantu untuk mempercepat penghentian penularan, berdasarkan regulasi yang ada, tetapi orang yang menerima data tersebut, tidak bisa membagi lagi ke pihak lainnya.
“Data by name by address dibagi ke petugas surveilans, dan hanya data kumulatiflah yang dibagi ke seluruh masyrakat,” kata Dandel.
Dandel meragukan kemungkinan kebocoran peretasan system, sebab peretasan tergantung seberapa kuat firewall Kemenkes.
Saling tuding dan lempar tanggungjawab stakeholder itu, nyatanya tak membantu Sriyana. Dirinya mengakui karena kebocoran data itu, kakaknya nyaris merenggang nyawa bunuh diri karena tak tahan stigma.
Sebagai warga negara, harusnya keponakan Sriyana memiliki hak dilindungi sebagaimana pada Pasal 57 ayat 1 Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyebutkan, setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan. Dan Pasal 32 Undang-undang nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, poin i, yang berbunyi; Pasien berhak, mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya.
Selain itu, usulan pemerintah agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang telah disepakati oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) sejak 3 Desember 2019, menjadi Program Legislasi Nasional (Proglenas) 2020-2024, harusnya memperjelas keseriusan pemerintah hingga tingkat bawah (kabupaten/kota) dalam menjaga dan memberikan perlindungan data pribadi.
Dalam RUU itu, pemerintah lewat regulasi turut andil dalam menjaga hak privasi, termasuk melindungi martabat dan integritas warganya dalam mewujudkan amanat Undang-Undang Dasar 1945, yang alinea keempatnya tertulis; “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Ini menjadi salah satu acuan didorongnya RUU PDP, seiring dengan berkembangnya teknologi informasi dan masifnya penetrasi internet.
Protes Keluarga Korban
Beredarnya data pasien covid-19 di Kotamobagu itu, membuat keluarga dan beberapa pihak yang paham tentang kerahasiaan pasien mengajukan protes. Tak hanya Sriyana, bersama puluhan keluarga pasien lainnya, mereka melakukan unjuk rasa dengan mendatangi Dinkes Kotamobagu, Polres Kotamobagu, hingga Rumah Dinas (Rudis) Wakil Walikota Kotamobagu.
Kesemua itu berangkat dari dorongan kesedihan pasien yang merasa tidak dilindungi data pribadinya dan keluarga pasien yang kian terpojok dalam kehidupan bersosial masyarakat.
“Kami tidak bisa membesuk LH saat di rumah sakit. Namun, LH selalu menguatkan kami, dia selalu saja tertawa dan menunjukkan seolah baik-baik saja. Dia lakukan itu setiap kali berbincang lewat telepon. Tapi kami tahu bahwa dia juga tertekan, sebagaimana kami semua. Syukurlah dia beragama dengan kuat,” ujar Sriyana.
Saat protes diajukan, Dinkes Kotamobagu menangkis dan menjawab bahwa pihaknya telah berusaha bekerja berdasarkan regulasi, dan meyakinkan keluarga pasien bahwa tidak ada unsur kesengajaan dalam kejadian kebocoran data itu.
“Hasilnya sama saja. Barangkali karena kami orang kecil, tak ada yang benar-benar bisa kami lakukan selain pasrah,” cerita Sriyana.
Sriyana tidak tahu apapun tentang Pasal 32 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 yang mengatur tentang rumah sakit, apalagi soal RUU PDP, namun batinnya menggugat, merasa tidak dilindungi sebagai warga, dan menuntut keadilan.
Upaya Sriyana tak membuahkan hasil, hingga saat ini tidak ada pertanggung-jawaban yang kongkrit dari pemerintah.
“Jangankan pertanggung-jawaban, bantuan di masa pandemi saja kami hanya sekali menerimanya. Kami hanya bisa pasrah dan berharap keadilan dari yang kuasa, mengilhaminya sebagai cobaan, walau hati kami sakit,” keluhnya.
Waktu itu ketika menemui aksi demo, Dinkes hanya menyampaikan permohonan maaf sebagai ungkapan rasa bertanggungjawab secara moral. Sebagai instansi teknis, Dinkes tak bisa berbuat banyak saat menerima protes dari keluarga pasien.
Situasi Terkini Covid-19 di Kotamobagu
Seiring berjalannya waktu, kebocoran data yang terjadi membawa dampak tersendiri. Sejak dinyatakan sembuh dan LH bisa pulang ke rumah, keluarga Sriyana masih merasakan bagaimana stigma sebagai penderita covid-19 sangat lekat, bukan saja pada LH, tapi hampir seluruh keluarganya.
“Pernah ketika ke pasar, saya diteriaki dengan kalimat ‘keluarga corona’. Ada juga, yang berpapasan di jalan, meski dengan jarak dua meter dan sudah menggunakan masker, langsung mengambil kain, atau segera lari terbirit-birit,” kenang Sriyana.
Keadaan ini membuat orang-orang takut memeriksakan diri ke rumah sakit. Sebab, bukan hanya Sriyana, bahkan orang-orang sekomplek, turut merasakan stigma. Sehingga, walau sakit parah, banyak orang lebih memilih berdiam di rumah ketimbang ke fasilitas kesehatan.
“Lorong kami sudah diberi nama lorong corona. Jadi kami yang tinggal di lorong kalau keluar atau berpergian pasti tidak nyaman setiap ditanya asal kami dari mana. Kalau ada anggota keluarga yang sakit, kami biasanya berdiam diri di rumah saja, tak berani memeriksakan diri. Takutnya diklaim corona,” kata Meli, nama samaran tetangga Sriyana.
Beberapa orang yang paham berusaha berinteraksi meski tetap dengan rasa cemas. Memilih bertegur sapa dari jarak tertentu.
“Kasihan juga, tapi mau bagaimana. Memang corona bisa sembuh, tapi kan kalau terjangkit dan diperlakukan protab, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Lagian tidak semua daya tahan tubuh sama kuat, jujur saya masih takut, walau tidak tega kalau menghindar,’’ kata salah satu warga lainnya, yang tinggal tidak jauh dari lorong lokasi Sriyana.
Saat ini kasus covid-19 di Kotamobagu masih terus bertambah. Hingga, Senin, (7/9/2020) total sudah 54 orang yang positif terinveksi covid-19, delapan orang masih dalam perawatan dan empat orang meninggal dunia.
Upaya Pemerintah
Belajar dari kejadian bocornya data pasien itu, Dinkes Kotamobagu merespon dengan menyurati semua petugas medis untuk evaluasi. Dalam surat itu, ditegaskan bahwa bagi petugas yang lalai dan sengaja membocorkan data pasien harus bertanggungjawab secara pribadi. Jika ada pihak yang keberatan, maka petugas yang membocorkan harus berhadapan dengan hukum.
Tindakan ini diambil, sebagai bentuk perbaikan dan upaya untuk mengantisipasi kemungkinan terulangnya kebocoran data pasien lagi. Jika merunut standar operasional prosedur (SOP), seharusnya peluang kebocoran data sangat kecil. Prosedur dari awal sebenarnya sudah sangat ketat. Pasien pertama-tama dirapid test, jika hasilnya reaktif dilanjutkan dengan swab test. Setelah itu, sampel swab akan dikirim ke laboratorium pemeriksa. Hasilnya kemudian diberitahukan ke Dinkes provinsi, barulah setelahnya, data itu dikirimkan ke Kepala Dinkes dan Direktur Rumah Sakit.
“Namun sejak kejadian itu (kebocoran data), semua sudah dikirimkan langsung ke rumah sakit, setelahnya rumah sakit koordinasi ke kita, bahwa ini nama-nama yang sudah positif melalui Bidang Penyakit Menular,” ucap Korompot.
Selain itu, ramainya respon tentang kebocoran data ini, membuat Dinkes melakukan sosialisasi ke semua pihak yang terkait, untuk lebih memperhatikan kerahasian data, sebagai bentuk memperketat SOP penanganan data pasien covid.
Hal ini didukung penuh Satgas Covid-19 Kotamobagu, tindakan seperti penguatan dan koordinasi dengan pemerintah wilayah (desa/kelurahan) dilakukan, agar mengantisipasi masyarakat tidak mengucilkan keluarga pasien.
“Kami meminta pemerintah di wilayah untuk tetap persuasif. Berusaha agar kemudian tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, sambil terus memberikan edukasi kepada masyarakat, bahwa covid-19 bukanlah aib,” jelas Ketua Satgas Kotamobagu, Refly Mokoginta.
Meski mengaku tidak bisa berbuat banyak dalam menghentikan penyebaran pembagian berulang data pasien covid-19 yang bocor di laman madia sosial, aksi saling dukung untuk perbaikan ini juga dilakukan Diskominfo Kotamobagu.
Diskominfo terus berupaya mengikuti segala pengembangan kebijakan dan program Badan Siber dan Persandian Negara (BSPN), sehingga paham soal perlindungan data. Diskominfo mengaku punya SOP sendiri dalam melindungi data pemerintah, termasuk memiliki firewall dan rutin melakukan back up data, sebagai upaya perlindungan data pemerintah kota.
Daripada saling memojokkan, Diskominfo Kotamobagu menilai kebocoran data ini, tidak bisa sepenuhnya disalahkan ke Dinkes Kotamobagu. Lebih baik berupaya memperbaiki agar tidak terjadi kebocoran di masa datang, terutama mengurangi human error.
“Di provinsi saja, Jubir Satgas Covid-19 Sulut, juga beberapa kali salah menyebutkan asal pasien. Yang tadinya dikatakan kasus di Kotamobagu, ternyata setelah disesuaikan Nomor Induk Kependudukan (NIK), justru tidak sesuai. Dan itu kembali diklarifikasi, “kata Kadis Kominfo Kotamobagu, Ahmad Yani Umar.
Sementara itu, dr Steaven Dandel sebagai Jubir Satgas Covid-19 Sulut mengatakan pihaknya lebih menitikkberatkan pada advokasi untuk mengatasi kejadian itu.
“Kebocoran terlanjur terjadi, maka yang paling mungkin dilakukan harusnya adalah upaya pendampingan pasien dan keluarganya, untuk meminimalisir stigma,” ujar Dandel.
* * *
Kendaraan masih keluar masuk melintasi lorong. Dari gapura lorong, sekilas tak ada yang berubah. Siklus kehidupan terus berputar, seiring suara adzan toa masjid yang masih terdengar setiap memasuki waktu sholat. Adaptasi kebiasaan baru (new normal) mulai diberlakukan. Corona tidak lagi semengerikan dulu saat semua orang takut keluar rumah. Meski kasus positif terus bertambah, tetapi orang-orang seakan tak peduli lagi dengan anjuran jaga jarak, bahkan penggunaan masker mulai dianggap sesuatu yang menganggu.
Sama seperti warga lain, Sriyana dan keluarga harus melanjutkan hidup. Namun segalanya tak lagi sama. Kebocoran data ini telah merenggut banyak hal. Kebebasan Sriyana dalam berkehidupan sosial kini tersandera oleh stigma. Jauh lebih dalam, lorong yang sebelumnya kental dengan nuansa kekeluargaan, penuh dengan semangat gotong royong tergilas oleh ketakutan penghuninya.
Kisah pilu Sriyana bersama keluarga dan empat pasien covid-19 lainnya, yang nama-nama mereka sempat beredar luas, terlupakan. Publik kini telah disibukkan dengan isu Pilkada, stakeholder sibuk dengan urusan lainnya, sementara mereka yang data pribadinya pernah terekspose hanya bisa pasrah dicap sebagai “keluarga corona”.
Berangkat dari kasus Sriyana, penting agar ada regulasi yang bisa memberi rasa aman bagi setiap warga. Untuk itu, pengesahan RUU PDP adalah sebuah keniscayaan.
Laporan ini didanai dari Hibah Liputan Jurnalis: Praktik Pengelolaan Data Pribadi di Daerah: Pengayaan Dalam Pembahasan Rancangan Undang-Undang Data Pribadi, kerjasama AJI Indonesia dengan Kemitraan.
Neno Karlina Paputungan
Neno saat ini bekerja sebagai wartawan di Totabuan.news, media yang dioperasikan dari Kotamobagu. Laporan ini merupakan kali kedua fellowship liputan yang dikerjakan Neno. Sebelumnya dia juga mengerjakan liputan soal sustainable reporting.