GORONTALO, ZONAUTARA.com – Provinsi Gorontalo sebenarnya dikenal juga sebagai daerah penghasil amongo atau tikar anyaman. Namun keberadaannya nyaris hilang digilas perkembangan zaman.
Padahal masyarakat Gorontalo sendiri mengenal dua macam tikar, yakni amongo ti’ohu yang berbahan dari purun danau dan amongo tiladu yang berbahan pandan duri. Dari fungsinya juga, amongo banyak difungsikan sebagai alas tidur serta ritual keagamaan dan ritual adat, salah satunya prosesi adat Molonthalo atau 7 bulanan bagi ibu yang mengandung.
Seiring berjalannya waktu, keberadaan amongo ini sudah mulai sulit ditemukan. Bahkan masyarakat Gorontalo sendiri sudah jarang juga menggunakannya karena cenderung menggunakan karpet atau tikar berbahan plastik buatan pabrik.
Penggunaannya untuk sekadar alas tidur maupun dalam kegiatan tradisi dan ritual adat tidak lagi ditemukan amongo. Selain sudah mulai tersingkirkan produk modern serta menurunnya minat masyarakat, persoalan lainnya adalah tidak adanya generasi penerus kerajinan tangan khas Gorontalo ini.
Seperti penuturan Dina Tunda. Perempuan 79 tahun yang tinggal di Dusun III, Desa Meranti, Kecamatan Tapa, Kabupaten Bone Bolango, mengaku sudah sekitar enam bulan tidak lagi Mohalamo atau menganyam tikar yang sudah digelutinya sejak usia 15 tahun.
“Saya sejak usia 15 tahun sudah menjadi penganyam tikar. Tahu menganyam dari orang tua. Sekarang sudah sekitar enam bulan ini tidak menganyam lagi. Tidak ada yang berminat membeli. Kalaupun ada, hanya pesanan orang tertentu saja,” tutur Dina ditemui di kediamannya, Selasa (15/09/2020).
Saat usia remaja, imbuhnya, masih banyak warga di sekitar yang menjadi pembuat tikar. Namun lama kelamaan bahkan saat ini hanya tinggal satu-dua orang saja. Mereka kebanyakan memilih ke profesi lain, seperti berkebun atau bertani. Di desa lainnya juga dirinya beranggapan sudah mulai kurang.
Dina juga mengaku, menjadi penganyam tikar juga sempat ditularkan ke anak perempuannya. Namun sekali lagi lantaran perkembangan zaman, anaknya pun memilih bekerja di kebun saja.
“Kebetulan juga kita dapat bantuan sapi dari pemerintah. Jadi kita tidak mohalamo lagi, melainkan berkebun dan beternak,” imbuhnya.
Selain itu, katanya lagi, persoalan lainnya juga adalah bahan baku untuk membuat tikar. Tahun 80-an hingga 90-an masih banyak membudidayakan tanaman ti’ohu (purun danau) yang memang banyak digunakan untuk anyam-anyaman. Namun saat ini keberadaannya juga sudah sangat kurang. Banyak petani yang mengalihkan lahannya untuk tanaman padi.
Memang, kata Dina, selain tanaman purun, masyarakat di wilayah lain, terutama yang ada di sekitar Danau Limboto, ada juga yang menggunakan peyapeya (pandan duri atau pandan semak) sebagai bahan untuk membuat tikar.
Selain tanaman purun, bahak baku lainnya yang mulai sulit didapatkan adalah kasumba atau pewarna. Dina mengaku, setelah bersusah payah jalan kaki sekitar 6 kilometer ke Pasar Kamis, Tapa, belum tentu bisa mendapatkan bahan tersebut.
“Di pasar, bahan baku serta penjualnya juga sudah kurang. Bahkan pedagangnya tinggal satu orang saja. Dia pun tidak menjual lengkap seperti tempo dulu. Kadang hanya ada ti’ohu kering dan kasumba hanya ada dua warna saja. Bahkan kadang kosong. Jadi dari pada sudah susah, lebih baik beralih di bidang lain saja,” ungkap Dina.
Dengan kondisi seperti sekarang ini dirinya mengaku sulit untuk meneruskan profesi turun temurun dari keluarganya.