ZONAUTARA.com – Meskipun hampir lima tahun sejak masuk Prioritas Porgram Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2016-2019 namun perjalanan pembahasan rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) masih terkatung-katung.
RUU PKS sempat dimasukkan kembali menjadi Prioritas Prolegnas DPR RI 2020-2024, tapi pada 2 Juli 2020, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mengeluarkan RUU PKS dari dari Prolegnas Prioritas 2020 berdasarkan keputusan Komisi VIII DPR RI selaku pembahas RUU P-KS selama ini.
Hal tersebut membuat proses advokasi dan pengawalan RUU PKS ini harus dimulai lagi agar RUU ini masuk kembali ke dalam daftar Prioritas Prolegnas Tahun 2021. Keputusan DPR menuai reaksi kekecewaan dari korban, keluarga korban, pendamping dan masyarakat pemerhati hak-hak perempuan korban kekerasan seksual.
RUU PKS menjadi harapan yang tertinggi dari masyarakat agar menjadi solusi dari persoalan kekerasan seksual yang selama ini terus terjadi dan membuat setiap orang berpotensi menjadi korban maupun pelaku kekerasan seksual. Hal lain yang membuat RUU PKS mendesak untuk segera diproses dan disahkan adalah meningkatnya data kasus kekerasan seksual di Indonesia.
Data Komnas Perempuan mencatat 406,178 kasus kekerasan terhadap perempuan dalam Catatan Tahunan (Catahu) 2019, di mana kasus Kekerasan Seksual di ranah publik sebanyak 2.521 kasus dan di ranah privat ada 2.988 kasus. Kekerasan seksual juga di alami oleh perempuan dengan disabilitas, anak, lansia, dan perempuan dengan HIV/AIDS.
Data Forum Pengada Layanan (FPL) tahun 2020 yang dihimpun dari 25 organisai lembaga layanan, menyatakan bahwa selama pandemi Covid-19, terdapat 340 kasus kekerasan seksual.
Hari ini kekerasan seksual juga semakin beragam modusnya, sehingga kebijakan dan aturan hukum yang ada saat ini tidak mampu menjawab dan memenuhi rasa keadilan bagi korban kekerasan seksual. Dampaknya 10 persen kasus kekerasan seksual tidak bisa diproses hukum.
Sembilan bentuk kekerasan seksual belum semuanya dikenali dalam KUHP dan UU lainnya. KUHAP belum mengatur secara khusus hak perlindungan korban dan pembuktian masih menjadi beban korban yang telah terpuruk karena tindakan kekerasan yang dialami.
Praktik budaya dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual yang berdampak pada reviktimisasi korban dan melangengkan praktik kekerasan seksual masih terjadi di Indonesia seperti Papua, NTT dan Sulawesi. Kondisi ini tidak dapat diubah jika kebijakan nasional tidak mengintervensi.
Untuk mendorong pemenuhan hak perempuan korban kekerasan seksual mendapatkan keadilan, pemulihan, dan penanganan, Jaringan Masyarakat Sipil Untuk Advokasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Prioritaskan RUU PKS Dalam Prolegnas 2021 mendorong DPR RI untuk membahas RUU PKS agar kembali menjadi Undang-Undang prioritas pada Prolegnas 2021 yang harus di bahas dan disahkan dalam Sidang Paripurna DPR RI pada tanggal 9 Oktober 2020 mendatang.
Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU PKS menyampaikan beberapa tuntutan, yaitu:
1. Mendorong Pimpinan Badan Legislasi DPR RI untuk berkomitmen penuh mewujudkan keadilan bagi korban kekerasan seksual dengan memasukkan kembali RUU PKS dalam prioritas Prolegnas 2021.
2. Untuk memastikan optimalisasi RUU P-KS segera dibahas dan disahkan, maka masyarakat sipil mendorong Ketua dan pimpinan DPR-RI memutuskan dan memastikan pembahasan RUU PKS dilakukan di Baleg DPR RI.
3. Menuntut DPR-RI untuk memastikan RUU PKS mengakomodir 6 elemen kunci dalam substansi :
(1) Melindungi hak-hak korban untuk mengakses keadilan sehingga mendapatkan proses peradilan yang berkeadilan;
(2) Mencakup pencegahan, penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban serta pemidanaan pelaku;
(3) Memberikan kepastian hukum terhadap bentuk-bentuk kekerasan seksual: pelecehan seksual; eksploitasi seksual; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan aborsi; perkosaan; pemaksaan perkawinan; pemaksaan pelacuran; perbudakan seksual; dan penyiksaan seksual;
(4) Mencakup juga pemidanaan khusus bagi pelaku korporasi, pelaku yang menghambat, bertindak lalai menjalankan kewajiban untuk penanganan kasus kekerasan seksual, serta sanksi administratifnya;
(5) Memberikan ruang partisipasi masyarakat dalam melakukan pencegahan tindak kekerasan seksual; (6) Menegaskan pengaturan layanan pemerintah maupun layanan negara yang sinergi dengan masyarakat dan LSM sebagai upaya pemulihan korban.
4. Mendesakkan DPR RI untuk melakukan pembahasan RUU PKS secara transparan, partisipatif dan inklusif dengan membuka akses diskusi, memberikan ruang bagi kelompok masyarakat sipil dan korban kekerasan seksual dari kelompok marjinal untuk memberikan masukannya.
5. Menuntut kepada Pemerintah RI dan DPR RI melakukan kerja-kerja kolaboratif dan koordinatif dengan masyarakat sipil untuk mengawal substansi RUU PKS yang mengakomodir kebutuhan dan kepentingan perempuan korban kekerasan seksual, serta mensosialisasikan pentingnya RUU PKS untuk perlindungan korban agar masyarakat bersama-sama mendukung pembahasan RUU PKS.
6. Menghimbau kepada berbagai elemen masyarakat untuk terus memperkuat sinergi kerja mengawal proses pembahasan RUU PKS di DPR RI juga melakukan dialog-dialog terbuka untuk mendukung perjuangan RUU PKS menjadi kebijakan substantif.