bar-merah

Kondisi psikologis dan perubahan perilaku warga akibat pandemi Covid-19

zonautara.com
Great Erick Kaumbur, dosen Psikologi di FIP Unima di Tondano.(Image: Richard Fangohoy)

MANADO, ZONAUTARA.com – Penerapan protokol pencegahan Covid-19 telah dilakukan Satgas Penanganan Covid-19 dalam upaya menekan laju penyebaran virus yang dilaporkan pertama kali muncul di Wuhan, China. 

Sejumlah kebijakan diambil pemerintah guna mencegah penyebaran Covid-19 yang masih masif terjadi. Masyarakat pun diminta agar berdiam di rumah, atau melakukan pekerjaan dari rumah dan membatasi kerumunan massa.

Dosen Psikologi di Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Manado (Unima) di Tondano, Great Erick Kaumbur, mengatakan bahwa ketika pertama kali mendengar atau mengetahui Covid-19, setiap orang pasti mengalami ketakutan. Pada awal masa pandemi di Manado, rasa ketakutan itu muncul, sehingga pola penerapan protokol kesehatan cukup mudah dilakukan masyarakat karena informasinya juga mudah didapatkan.

“Karena faktor-faktor resiko yang muncul ketika kena Covid-19, maka orang lebih mudah patuh mengikuti protokol kesehatan,” ujar Great, Rabu petang (14/10/2020).

Great mengungkapkan, setelah beberapa bulan berlalu dan hingga saat ini, yang terjadi kemungkinan muncul rasa bosan. Jadi warga itu sebenarnya sekarang sudah berada pada fase bosan melakukan protokol kesehatan.

Kebosanan tersebut, lanjutnya, jika dicermati dari sisi perilaku warga terlihat pada mulai acuh tak acuh terhadap penerapan protokol pencegahan Covid-19. Hal inilah yang perlu diwaspadai.

“Karena kalau misalnya ketidakpedulian warga dikarenakan rasa bosan yang ada, maka besar pula kemungkinan faktor risiko berkembangnya Covid-19,” jelas dosen FIP Unima ini.

Dosen yang mengambil S1 di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga ini menyebutkan, selain rasa bosan yang dialami masyarakat, pengaruh lainnya yaitu faktor ekonomi. Menurutnya, terdapat sejumlah pekerjaan yang dilakukan ketika pemberlakuan social distancing, misalnya work from home atau bekerja dari rumah.

“Tapi ada beberapa pekerjaan yang memungkinkan orang untuk harus tetap aktif di lapangan (tempat kerja, red),” kata Great.

Ia menyatakan pandangan psikologis terhadap penerapan protokol kesehatan saat ini yaitu masyarakat sudah melek teknologi, mulai dari orang yang berusia muda hingga tua. Akan tetapi baginya, akan sangat sia-sia kalau teknologi itu tidak digunakan.

“Apa yang terjadi saat ini adalah bahwa penerapan teknologi untuk implementasi protokol kesehatan atau penyadaran publik ini masih kurang di Manado,” tutur dosen yang melanjutkan S2 di Universitas Tujuh Belas Agustus Surabaya ini.

Namun, ada sejumlah daerah yang mulai melakukan penyadaran bagi publik terkait penerapan protokol kesehatan, meski kurang intens untuk dilakukan.

“Selain itu juga, informasi tentang perkembangan Covid-19 sudah tidak terlalu besar, bukan berarti bahwa kita butuh informasi itu untuk menakut-nakuti warga,” sebut Great.

Ia pun menyarankan agar paradigma perkembangan Covid-19 yang menakuti masyarakat diubah. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memberikan informasi yang jelas tentang Covid-19 dan bahayanya melalui media, sehingga menjadi penting dan memudahkan orang untuk mengetahuinya.

“Orang kalau misalnya diberikan informasi Covid-19 terus-menerus di sosial media, tiap kali buka dapat info begini-begitu, orang akan lebih mudah memahami atau masuk ke dalam pikirannya,” ujarnya.

Sementara itu, dosen Antropologi Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado Mahyudin Damis turut menjelaskan pola perubahan perilaku manusia di Indonesia akibat pandemi Covid-19. Ia mengatakan, Antropologi itu melihat suatu fenomena atau kasus di mana suatu hal yang terjadi.

Bicara pola perubahan perilaku, menurutnya, itu relatif. Contohnya bisa saja pola perubahan di Manado bisa lain, atau berbeda degan pola perubahan perilaku yang terjadi di Surabaya atau di Jakarta.

“Bahkan berbeda pula bagi masyarakat yang tinggal di desa-desa yang zonanya hijau,” ungkapnya.

Mahyudin mengatakan, harus dipastikan bahwa masyarakat sudah paham atau sudah pada tingkat kesadaran akan pentingnya protap Covid-19 itu.

“Itu kita kenal ada 3 yakni, pakai masker, jaga jarak dan rajin cuci tangan pakai sabun degan air mengalir,” ujarnya.

Belum lagi jika bicara soal kontribusi pemerintah atau pihak-pihak yang terkait degan penanganan kesehatan terkait pandemi ini. Perlu dilihat juga apakah sudah maksimal atau belum penyediaan alat untuk mencegah penularan Covid-19 ini.

Dia mencontohkan, banyak tong yang disediakan pemerintah di berbagai tempat. Tong ini berisi air, berapa hari kemudian air dan sabunnya tidak ada.

“Kemudian phisycal distancing, pakai masker, seperti apa pelaksanaannya di lapangan,” ujarnya.

Mahyudin mengatakan, faktor-faktor inilah yang membedakan pola perubahan perilaku masyarakat di berbagai tempat. Kemudian seiring berjalannya waktu pula, daerah-daerah yang gencar melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar pasti memberi dampak sosial dan budaya terhadap daerah-daerah di sekitarnya. Bahkan bisa lebih luas lagi karena media informasi begitu masif memberitakannya.

“Meskipun dari pihak pemerintah masih banyak kelemahannya dalam menangani pandemi Covid-19 ini, namun manusia itu juga punya strategi-strategi beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang dihadapi demi untuk survival,” ujarnya.

Dia berharap, dengan hasil dari strategi individual yang dilaksanakan itu bisa bertemu dengan saat di mana masyarakat Indonesia divaksinasi Covid-19, sehingga pandemi ini bisa diatasi.

Penulis: Richard Fangohoy & Ardiansyah Mustafa/detikmanado.com



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com